Kamis, Mei 31, 2012

RIWAYAT DITETAPINYA KEMBALI JAMA'AH MUSLIMIN (HIZBULLAH) – KHILAAFAH 'ALAA MINHAAJIN NUBUWWAH (4)

Penyelesaian Darul Islam

Di bawah Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX, T.N.I. melakukan tindakan militer, memerangi D.I. Pertempuran terjadi antara TII dan TNI.

Menghadapi S.M. Kartosuwiryo, Pemerintah selain melakukan tindakan militer, juga menempuh jalan lain untuk menyelesaikan masalah Darul Islam dengan N.I.I.nya. Dalam menyelesaikan masalah Darul Islam dan N.I.I. ini, Pemerintah RIS membentuk sebuah panitia Interdepartemental Penyelesaian Darul Islam, "terdiri dari Zainul Arifin (Departemen Agama), Makmun Sumadipradja (Departemen Dalam Negeri) dan Kolonel Sadikin (Pertahanan). Di samping itu didirikan dua panitia lain, yang satu diketuai Wachid Hasyim, yang lain diketuai Raden Wali al-Fattaah." (C. Van Dijk (CVD), Darul Islam, 102, 103).

Ke Cakrabuwana

Dalam menyelesaikan masalah Darul Islam tersebut, para pemuka Muslimin menghendaki cara damai, seperti halnya Wali Al-Fattaah dan Mohammad Natsir serta pemimpin Islam lainnya. Dalam usaha damai itu, Wali Al- Fattaah naik gunung ke Cakrabuwana untuk menemui S.M. Kartosuwiryo yang dahulu pernah berada dalam PSII, kemudian berpisah karena politik hijrah S.M. Kartosuwiryo, dan kembali lagi bersama ketika Indonesia merdeka dan bersama lagi dalam Masyumi, tetapi berpisah lagi karena S.M. Kartosuwiryo naik gunung mendirikan Darul Islam dan N.I.I.

Perbedaan pendapat dan keyakinan tentang "hijrah" inilah yang memisahkan mereka. Wali Al Fattaah, yang berjuang bagi kemerdekaan Indonesia bersama tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin Muslim lainnya, lebih menitikberatkan pada persatuan dan kesatuan Muslimin di bawah pimpinan ALLAH dan Rasulnya yang bersifat rahmatan lil 'alamin dalam beribadah kepada ALLAH. Bukan Negara Islam. Tidak ada Negara di dalam Islam. Karena Islam itu bersifat universal, rahmatan lil 'alamin, menyebarkan rahmat untuk seru sekalian alam, tidak terbatas pada territorial atau batas-batas wilayah.


Sedangkan Negara adalah ciptaan karya pikir otak kuffar dan musyrik Barat, kapitalis maupun komunis yang memecah belah ummat Islam di negeri-negeri Muslim menjadi negara-negara kecil dengan kefanatikan nasionalismenya (ashobiyah) hingga mudah dikuasai dan diperbudak kuffar Salabis dan Komunis.
"Salahlah pendapat yang mengatakan, bahwa Agama (Islam) itu mempunyai batas-batas negara," kata Wali Al Fattaah menegaskan dalam suatu wawancara dengan wartawan. (APB,30-6-1958).

Islam rahmatan lil 'alamin, tidak bisa dipaksa menjadi suatu negara yang kerdil. Negara itu sendiri berasal dari ciptaan orang-orang musyrik, dimulai dari zaman Yunani Purba (Socrates, Plato, Aristoteles) 500-400 sM, diikuti oleh kuffar Barat (Eropa) berikut dengan perangkat kepartaian politik mulai dari Inggris (abad ke-17) dan seterusnya.

ALLAH berfirman: "…dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik (yang mempersekutukan ALLAH), yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (Al-Qur'an, surah Ar-Ruum, ayat 31-32).

Ayat ini menunjukkan larangan berfirqah-firqah, sekaligus menunjukkan bahwa Muslimin itu harus bersatu dalam satu pimpinan, pimpinan ALLAH dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, Surah Ali Imran, ayat 103.

Inilah perbedaan yang pokok antara Wali Al-Fattah dan S.M. Kartosuwiryo. Meskipun demikian, Wali Al-Fattaah berusaha menemui S.M. Kartosuwiryo untuk memberikan nasehat kepadanya agar kembali. Tidak melakukan sesuatu yang menyebabkan ummat menjadi korban.
Wali Al-Fattaaah tidak menginginkan adanya pertikaian dan permusuhan di kalangan para pemimpin Muslim dan ummat Islam. Ia ingin ummat Islam itu bersatu, bersaudara, saling kasih sayang sebagaimana diperintahkan ALLAH dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Wali Al Fattaah bersama Syaikh Muhammad Ma'sum, Ustadz Abdul Djabar, Ustadz Mohammad Djauzi (penerjemah Al-Qur'an ke bahasa Jawa), Ustadz Soebadi dll., telah mewujudkan kehidupan di bawah pimpinan ALLAH dan Rasul dengan sebutan mereka itu adalah Hizbullah, kaum yang berpihak kepada ALLAH sejak akhir dari zaman Belanda di Yogyakarta (1940-1941).
C. Vand Dijk dalam Rebellion Under The Banner of Islam (terjemahan Grafiti Pers, Cetakan I, 1983: Darul Islam, sebuah pemberontakan, 103-104), mengungkapkan usaha Wali Al-Fattaah menemui S.M. Kartosuwiryo itu dalam suatu usaha damai tanpa melakukan kekerasan.
"Wali al-Fattaah … merasa lebih kerasan dalam kalangan Islam modernis, dan selama bertahun-tahun adalah tokoh penting Muhammadiyah. Dalam perjuangan-perjuangan kekuasaan dalam PSII sebelum Perang, pendiriannya sangat berbeda dari pendirian S.M. Kartosuwirjo dan rekan-rekannya, walaupun…keduanya telah meninggalkan PSII, Wali al-Fattaah dua kali malahan, hal yang demikian mereka lakukan pada tahun yang berbeda-beda."
"Peristiwa kedua menyebabkan Wali al-Fattaah meninggalkan PSII pada Desember 1938, dan menjadi salah seorang pendiri bersama partai Islam baru yang kecil, Partai Islam Indonesia atau PII, politik hijrahlah yang memisahkan. Berbeda dengan S.M. Kartosuwirjo yang didepak dari PSII kira-kira setahun kemudian karena menolak mengubah sikapnya tentang hijrah, Wali al-Fattaah dan kawan-kawannya (Dr. Sukiman, K.H.Mas Manshur dll.) meninggalkan PSII justru karena mereka merasa partai ini masih terlalu banyak menekankan pada prinsip hijrah pada waktu itu." (Pluvier 1953:116-117).
"Bagaimanapun, pada tahun 1950 Wali Al Fattaah yakin, ia dapat membujuk S.M. Kartosuwirjo, kata van Dijk. Usahanya menemui S.M. Kartosuwirjo barangkali adalah atas prakarsanya sendiri, tetapi dengan persetujuan diam-diam dari Pemerintah. Seperti juga kebanyakan anggota Masyumi, termasuk Perdana Menteri Natsir kemudian, dia yakin bahwa segala-galanya harus dilakukan untuk mengakhiri pemberontakan Darul Islam melalui perundingan." (Van Dijk, D.I.:103)

Di Cakrabuwana

Dari Jakarta, Wali Al-Fattaah berangkat ditemani pembantu-pembantunya. Tujuan ke Cakrabuwana menemui S.M. Kartosuwiryo, agar ia turun gunung dan insaf. Bagi mereka yang menyerah dan insaf akan diberi pengampunan. Tetapi ketika tempat perundingan di setujui, komandan TII Oni Qital dan pasukannya membawa Wali Al-Fattaah dan pembantunya ke tempat lain. Di puncak Gunung Cakrabuwana itu Wali Al-Fattaah terserang sakit malaria. Ia ditandu turun dari gunung itu. Media-media pers menceritakan tentang peristiwa itu. Berbagai versi laporan mengekpose berita tentang misi Wali Al Fattah itu. Dalam Seri Batjaan Pradjurit 405-JA-7 berjudul Darah tersimbah di Djawa-Barat, Gerakan Operasi Militer V, cetakan ke-2, 1968, disusun oleh Anne Marie The, halaman 9-10, menyebutkan:
"Sebuah missi Pemerintah (waktu kabinet Natsir) pimpinan Wali Alfattah dikirim untuk berunding dengan S.M. Kartosuwirjo. Dijelaskan oleh missi bahwa bagi mereka jang menjerah dan insaf akan panggilan Revolusi 1945 akan diberikan pengampunan. Tempat penampungan akan disediakan. Tetapi dengan sombong S.M. Kartosuwrjo menolak missi Pemerintah tersebut. Dikatakan olehnja bahwa: "ia hanja mau berunding dengan pedjabat Pemerintah jang tinggi, tidak dengan jang lain."

Van Dijk mengatakan:

"Wali al-Fattaah (setelah mengusahakan pertemuan dengan pemimpin2 utama Islam pada 14 Mei 1950) bersama dengan tiga orang pembantunya yang menyertainya -- Tasik Wira, Muslich (Muslikh) dan Zainuddin – berhasil mengadakan hubungan dengan Darul Islam, ketika mereka diantar ke Cipamuruyan, di Gunung Cakrabuwana, sebelah utara Ciawi, salah sebuah benteng Darul Islam. Mereka disambut dengan segala kehormatan dan diperlakukan sebagai tamu penting. Para utusan dikawal pasukan TII, dengan pengertian bahwa keamanan mereka tidak dapat dijamin bila pasukan Pemerintah menyerang pangkalan itu. Berikutnya dilaporkan dari Cipamuruyan, dari sini rombongan itu akan menuju ke Selawi, dekat Amtralina, tempat yang disetujui S.M. Kartosuwrjo untuk menemui mereka."

"Sesudah itu tak ada suatu berita pun yang terdengar tentang Wali al-Fattaah untuk sementara. Sebelumnya telah diatur bahwa apa pun yang terjadi, ia akan kembali 27 Mei (1950). Tetapi ketika tanggal itu tiba masih tidak ada juga berita tentang dia. Akhirnya ada berita dua minggu kemudian tentang dia, pada 14 Juli Palang Merah Darul Islam menyampaikan sepucuk surat dari S.M. Kartosuwirjo kepada para pejabat yang menyatakan Wali al-Fattaah mendapat serangan malaria dan minta dijemput. Dia diselamatkan pasukan Pemerintah sesudah dilakukan serangan atas posisi-posisi Darul Islam pada 19 Juli (M 24-6-1958, 1-7-1950).

"Pada akhir 1950 sebenarnya S.M. Kartosuwirjo memberitahukan kepada Wali al-Fattaah bahwa ia bersedia berunding hanyalah berdasarkan pengakuan sebelumnya atas Negara Islam (N 13-12-1950).

Gagal

S

elama 66 hari (14 Mei-19 Juli) Wali Al-Fattaah terkatung-katung berada di gunung Cakrabuwana tanpa hasil karena antara lain hal-hal sebagaimana tersebut di atas. Laporan-laporan menyebutkan ia menderita kekurangan makan, tubuh lemah dan terserang malaria. Ia menderita selama dua bulan dalam missi maksud baiknya itu. Van Dijk menyebutkan, "kegagalan misi Wali al-Fattaah dan sikap keras S.M. Kartosuwirjo mungkin sebagian disebabkan tingkah Tentara Republik Indonesia Serikat. Pada saat Wali al-Fattaah berusaha utama Islam pada 14 Mei 1950) bersama mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimin Darul Islam, Tentara ini melanjutkan serangan atas S.M. Kartosuwirjo, serta anak buahnya."
"Menurut seorang tokoh terkemuka Islam, Affandi Ridhwan, ketua GPII daerah Jawa Barat, bahkan Tentara menyerang pasukan-pasukan Darul Islam dua jam sebelum S.M. Kartosuwirjo dan penasehat utamanya ketika itu, Sanusi Partawidjaja, akan berangkat ke tempat pertemuan dengan Wali al-Fattaah.
"Dalam pertempuran berikutnya beberapa orang tewas, di antaranya Toha Arsjad, Menteri Penerangan Negara Islam Indonesia (PR 26-2-1953). Informasi yang bertalian diungkapkan Affandi Ridhwan selama persidangan perkaranya pada tahun 1953, sesudah dia ditangkap dengan tuduhan menyokong Darul Islam. Demikian Van Dijk (h.105)."
Kemudian ia (Wali Al Fattaah), kata Van Dijk, menduga bahwa S.M. Kartosuwiryo dulu bersedia berjumpa degan dia mengingat kekalahan yang diderita Darul Islam, tetapi Oni, panglima TII, telah mengacaukan rencana yang demikian (damai/pen.) dengan menyuruh pasukannya membawanya ke tempat lain dari semula, tempat dia diharapkan akan berjumpa dengan S.M. Kartosuwirjo. Dia (Wali Al-Fattaah/pen.) hilang selama beberapa waktu karena ini (M 24-6-1958, 1-7-1950/CVD.104). Setelah peristiwa itu, pada 24 Agustus 1950 Wali Al Fattaah ditunjuk sebagai Ketua Interdepartemental Penyelesaian Darul Islam. (SK Mendagri. No.585, 25-8-1950, Hr Kedaulatan Rakyat 24-8-1950; Nasional 25-8-1950).

D.I. tandingan

D.I. rupanya tidak sendirian. Ada D.I.-D.I. lainnya yang meruwetkan situasi. Orang tidak tahu mana yang asli dan mana yang gadungan. D.I.-D.I. gadungan inilah, menurut laporan, yang melakukan penggarongan dan terror terhadap penduduk hingga D.I. asli terkena getahnya sehingga berita-berita yang tersiar berat sebelah. "Tindakan militer terhadap Darul Islam dilakukan sesudah sultan Hamengkubuwono IX menjadi menteri pertahanan. Peristiwa itu menjadi ruwet, pertama, disamping D.I. yang sebenarnya, terdapat pula gerombolan-gerombolan yang sebagian terdiri dari kaum petualang dan penjahat-penjahat dan sebagian lagi terdiri dari orang-orang yang didorong oleh ideologi politik dan semuanya ini melakukan perbuatan-perbuatan terror dengan berkedok D.I. (PM. Pasaribu, Encyclopaedia Politica (EP) I (AG), Tintamas Djakarta, 1960: 111).

Menurut P.M. Pasaribu, ada tiga (3) D.I. waktu itu. Pertama D.I. S.M. Kartosuwiryo (asli), kedua D.I. gerombolan petualang dan penjahat, ketiga D.I. Ideologi Politik. Dua yang terakhir ini yang membuat terror berkedok D.I. sebenarnya. Di samping itu menurut laporan lainnya, juga ada D.I. buatan Belanda. Mungkin juga PKI mengambil bagian dalam kekacau-balauan itu, karena PKI pernah menyelusup ke Sarekat Islam, kemudian diusir oleh Sarekat Islam yang berjuang menentang golongan Atheis itu. Setelah memberontak terhadap Pemerintah R.I. di Madiun (1948) dimana banyak kyai dan ulama serta Ummat Islam menurut laporan dibunuh oleh komunis pimpinan Muso itu, PKI bangkit lagi dan tidak dilarang oleh Pemerintah, malah menyeru Pemerintah untuk melakukan aksi militer terhadap D.I. S.M. Kartosuwiryo bersama PNI dan Murba mendesak Presiden Soekarno untuk mencap D.I. sebagai pengacau negara.

Bagaimanapun S.M. Kartosuwiryo adalah seorang Muslim, ia sholat, puasa, sejak dididik oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto di Surabaya seperti juga Soekarno.Keduanya mempunyai mentor politik yang sama, yang paling terkemuka pada masanya, pemimpin Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto. (VD.DI.13). Kesalahan S.M. Kartosuwiryo dalam pandangan Pemerintah adalah dia membuat negara baru setelah berdirinya Negara Republik Indonesia. ***

PERWUJUDAN

Jama'ah Muslimin (Hizbullah)

Penelitian kembali

Sesudah Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta, disusul dengan Kongres Muslimin Seluruh Indonesia (1369 H /1949 M), Wali Al Fattaah berkumpul bersama sejumlah Muslimin di kediamannya di Margo Kridonggo, No.16, Yogyakarta, membicarakan penyatuan Muslimin.

"Kami berkumpul di Margo Kridonggo, No. 16, di kediaman kami di Yogyakarta waktu itu. Ikhwan-ikhwan kami datangkan untuk membicarakan penyatuan Muslimin secara apa yang kita lihat pada sistem kepartaian," katanya.
Kata-kata "Ikhwan," dimaksudkan oleh Wali Al Fattaah adalah shahabat-shahabatnya dalam perjuangan Islam dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia biasa menyebut kata "ikhwan" itu terhadap sesama Muslim, terutama sahabat-sahabat seperjuangan.
Dalam pertemuan itu hadir antara lain Wali Al Fattaah, Syeikh Muhammad Ma'sum, M. Saleh Suaedy, dan dari kalangan pemuda Mirza Sidharta.
Wali Al Fattaah mengatakan, "Kami membicarakan masalah penyatuan Muslimin secara mendalam, akan tetapi belum menemukan bagaimana caranya menghimpun Ummat Islam menurut contoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami sebelumnya mengatakan, bahwa partai-partai politik Islam, yang ada pada waktu itu, pengambilannya bukan dari Islam, tetapi dari Barat (Eropa)."

"Sebagian dari mereka mengatakan, "Kita dirikan saja partai politik." Kami jawab: "Kalau mendirikan partai politik buat apa? Ini namanya cuma mencari kedudukan saja melewati jalan lain. Tidak apa artinya itu dalam agama."

"Kalau mendirikan partai politik sesudah ada partai politik Islam waktu itu, kami anggap hanya soal kursi, bukan soal prinsip lagi. Maka kami tolak sama sekali usul tersebut."

"Kami terus mencari yang Haq, meneliti secara cermat dan mendalam bagaimana caranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghimpun Muslimin dalam memperhambakan diri kepada ALLAH Subhanahu wa Ta'ala dengan ikhlas dan bersih dari dorongan-dorongan atau pengaruh-pengaruh politik."

"Ini untuk persaksian sejarah, lain tidak. ALLAH mengetahuinya dan para ikhwan (rekan-rekan seperjuangan Wali Al Fattaah dalam pergerakan Islam dan kemerdekaan R.I.) yang masih hidup juga bisa menyaksikan jalan sejarahnya," kata Wali Al-Fattaah dalam ceramahnya pada Musyawarah Alim Ulama dan Zu'ama, Organisasi-Organisasi Islam Tingkat Puncak Seluruh Indonesia di Aula Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, 25-27 Jumadil Awwal 1394 H (15-17 Juni 1974 M).

Al Jama'ah diwujudkan

Wali Al-Fattaah bersama Syaikh Muhammad Ma'sum (ahli hadits), Kyai Sulaiman Masulili dan lain-lainnya memfokuskan diri menyimak dan mendalami dalil-dalil qath-iy dari Al- Qur'an dan Al-Hadits serta tarikh perihidup Rasulullah, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Secara terus menerus beliau-beliau itu mengkaji, menela'ah dan mendalami dalil-dalil menyangkut Ijtimaiyah, kemasyarakatan Islam, masyarakat Wahyu, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Ternyata banyak hadits-hadits yang menyebutkan wajibnya Muslimin hidup berjama'ah, berkhilafah dan bai'at untuk menegakkan Syariat Islam itu

"Alhamdulillah, dengan pertolongan ALLAH Subhanahu wa Ta'ala sampailah pada tahun 1372 H. (1953 M.), yang pada awal tahun itu sudah mulai nampak bintik-bintik terang dimana ALLAH mengurniakan pengertian bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama-sama ummat beliau berhimpun mengamalkan Wahyu-wahyu ALLAH, dan bagaimana bentuk kesatuan serta wujud kemasyarakatan Islam itu," kata Wali Al-Fattaah dan menambahkan bahwa bentuk kemasyarakatan Islam itu adalah AL-JAMA'AH, mereka itulah kaum yang berpihak kepada ALLAH atau HIZBULLAH.

Akhirnya dengan taqdir serta idzin dan pertolongan ALLAH semata-mata, setelah berulangkali dimusyawarahkan, pada awal tahun 1372 H (1953 M) Wali Al-Fattaah bersama Hadimus Sunnnah Syaikh Muhammad Ma'sum dan sejumlah kaum Muslimin lainnya MENETAPI AL-JAMA'AH dengan sebutan pada waktu itu ialah HIZBULLAH berbentuk JAMA'AH, JAMA'AH MUSLIMIN.

Adapun dalil mendasari ditetapi Al Jama'ah itu antara lain adalah (teks terjemah dikutip sesuai aslinya pada waktu itu, yang disiarkan suratkabar Abadi/pen.):

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ. (القران سورة ال عمران : 102 – 103 )

"Hai orang2 jang beriman, takutlah kamu kepada Allah dengan sebenar2 nja. Kamu djangan mati hendaknya, melainkan di dalam Islam".
"Berpeganglah kamu sekalian kuat2 pada tali Allah, djanganlah bertjerai-berai; ingatlah kerunia Allah jang dilimpahkan atasmu ketika kamu bermusuh2an dahulunja, maka dipersatukan-Nja hatimu memeluk agama Islam, dan djadi bersaudaralah kamu dengan ni'mat jang tersebut, ketika kamu sudah dekat ditepi lobang neraka, maka Allah melepaskan kamu dari padanja; demikianlah Allah menerangkan ajat2Nja kepada kamu, mudah2an kamu mendapat petundjuk". (Al-Qur'an, Surah Ali Imran: 102-103)

Abdullah bin Mas'ud rodliallahu 'anhu, ia berkata: "Yang dimaksud dengan kalimat "jami'an" dalam firman ALLAH: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا adalah ا لجـما عـة "Al Jama'ah." * "Sesungguhnya ALLAH memerintahkan menjalin kasih sayang dan melarang berfirqah-firqah, karena firqah itu menimbulkan kerusakan, sedang Al Jama'ah itu membawa keselamatan." (Al-Jami' li ahkamil Qur'an, Muhammad Ibnu Ahmad Al-Anshary Al-Qurtuby, Daru Ihya it-turatsi Al-Araby Beirut: Juz 4: 159.

Telah menceritakan kepada kami Al-Mutsanna, ia berkata telah menceritakan kepada kami Amr bin 'Am, ia berkata telah menceritakan kepada kami Hasyim dari 'Awam dari Sya'bi dari Abdullah tentang Firman ALLAH Ta'ala: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا beliau berkata حَبْلِ اللهِ adalah اَلْجَمَاعَةُ . "JAMA'AH". (Tafsir Jamiul Bayan, Ibnu Jarir At-Thobari, Juz 4 halaman 21).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الجَمَاعَةَ ثَمَّ مَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَةً.(رواه البخارى و ميلم).

"Hadits dikeluarkan oleh Sjaichani dari Abi Hurairah r.a.: "Barang siapa keluar dari ketha'atan dan mentjeraikan Djama'ah Muslimin lalu ia mati, matinya itu mati djahilijah".

Adapun nama HIZBULLAH itu sendiri merupakan nama sifat dan sikap Mu'minin yang termaktub di dalam Kitab Suci Al-Qur'an, Surah Al-Maidah ayat 55-56 dan Al-Mujadalah, ayat 22 sebagaimana tersebut di atas.

Wali Al Fattaah dan Syaikh Muhammad Ma'sum menggunakan kalimat MENETAPI AL-JAMA'AH, karena AL JAMA'AH itu sudah ada sejak masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dimana beliau dan kaum Muslimin dahulu hidup ber-Jama'ah. Jadi AL-JAMA'AH itu bukan suatu nama yang dikarang-karang, tetapi nama yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam sendiri melalui hadits-hadits beliau. Jadi AL JAMA'AH itu bukan didirikan, karena AL JAMA'AH itu bukan organisasi ciptaan manusia.

Wali Al Fattaah pada waktu itu dibai'at oleh sejumlah kaum Muslimin sebagai Imaam Jama'ah Muslimin (Hizbullah). Sebelumnya Wali Al Fattaah meminta Syaikh Mohammad Ma'sum menjadi Imaam. "Pak Wali ketika itu minta Syaikh Mohd. Ma'sum menjadi Imaam. Tetapi beliau menolak dan membai'at pak Wali menjadi Imaam. "Wali saja jadi Imaam, karena lebih banyak tahu (tentang medan). Saya mendukung," kata Muhyiddin Hamidy kepada penulis. (Waktu itu bapak Muhyiddin Hamidy, yang belakangan menjadi Imaam, berusia 19 tahun. Beliau termasuk salah seorang Muslim yang awwal menetapi Al-Jama'ah). (Keterangan beliau ini dikonfirmasi kembali oleh penulis pada beliau di Masid At Taqwa, Shuffah, Awal Dzulhijjah 1430 H.).

Pada hari Jum'at pagi 8 Rabiul Akhir 1372 H (23 Januari 1953 M), di kediaman Wali Al-Fattaah di Cideng Timur No.53, Jakarta, berlangsung mubayaah lima (5) Muslimin membai'at Wali Al-Fattaah sebagai Imaam Jama'ah Muslimin (Hizbullah). Mereka adalah: Al-Ustadz Ilyas Datuk Madjoindo (Sumatera Barat), Kyai Sulaiman Masulili (Sulawesi Selatan), Ustadz S. Machmud (Jakarta), Hartono dan Wardiman (Jawa Tengah). (Wali Al-Fattaah, Catatan Harian, 1372 H/1953 M).

Kongres Alim Ulama di Medan

Kerinduan Wali Al-Fattaah bagi terwujudnya satu kesatuan Ummat Islam dengan satu pimpinan di bawah pimpinan ALLAH dan Rasul-Nya, disampaikannya dalam seruannya kepada para pemuka ummat dalam Kongres Alim Ulama dan Muballighin Seluruh Indonesia di Aula Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, 27-28 Jumadil Akhir 1372 (14-21 Maret 1953 M).

Dalam kongres tersebut, Wali Al-Fattaah menyerukan agar Ummat Islam kembali kepada pimpinan ALLAH dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Majalah AL-ISLAM Medan,No. 16 Tahun ke-I, Djumadil Achir 1374/ Pebruari 1955, halaman 16-17 (bundle halaman 272-273) mengutip seruan Wali Al-Fattaah itu. Berikut kutipannya dalam ejaan lama bahasa Indonesia (j=y, j=dj, kh=ch, c=tj).
Ia berkata: "…Kami tegaskan, apabila organisasi-organisasi Islam, baik jang berpolitik ataupun tidak, kembali kepada pimpinan ALLAH dan Sunnah Rasul, Insja ALLAH, mereka itu sendirinja akan bersatu. Akan tetapi kalau perdjuangan mereka itu hanya dengan mengutamakan pendapat daripada hukum Agama, sekalipun katanja ichlas, djuga tidak ichlas, sehingga gelap gulita di keliling ummat, menjebabkan mereka mentjari djalannja sendiri-sendiri, mentjoba mentjari pendapat-pendapat lain jang lebih baik. Oleh karenanja untuk dapat memperlengkap soal ini, saja harap marilah kita bersatu dengan berpegang pada Tali ALLAH dan Sunnah Rasul. Kalau hanja dengan pendapat sadja, kita tidak akan mentjapai persatuan itu."

Dalam kongres di Aula Universitas Islam Sumatera Utara, Medan itu, hadir para pemuka, ulama dan muballigh, antara lain: Menteri Agama R.I. K.H. Fakih Usman, Sjafi'i Tgk. Sutan, H. Mohd. Ali Nurdin (Sumatera Barat), H. Mohd. Abduh (Makassar), H. Darwis Djambek (Sumatera Tengah), H. Abd. Halim Hasan (Sumatera Timur), H. Abu Bakar Bestari (Palembang), Jahja Badin (Atjeh Utara), H. Zainuddin Hamidi (Pajakumbuh), Ahmad Jusuf (Kalimantan Timur), H.S. Muntu (Makassar), Abd. Manan Malik (Labuan Batu), A. Husin Al-Mudjahid (Atjeh), M. Arsjad Thalib Lubis (Medan), Rangkajo Rahmah el-Junusijah (Sumatera Tengah), H. Adnan Lubis, Kjai H. Imam Gazali (Solo), Syeikh Suleiman Arrasuli (Bukittinggi), Isa Anshary (Djawa Barat), Tgk. Abd. Wahab (Atjeh), Muhammad El Habsji (Sunda Kecil), Kjai H. Ramli (Sulawesi), M. Hanafi Goebed (Kalimantan), H.M. Saleh Suaedy dan Wali Al-Fattaah (Djakarta) Pembicara lainnya dalam kongres itu adalah Menteri Agama R.I. K.H. Fakih Usman, Sjafi'i Tgk. Sutan, H. Mohd. Ali Nurdin (Sumatera Barat), H. Mohd. Abduh(Makassar), Wali Alfatah (Wali Al Fattaah) (Jakarta), Hadji Darwis Djambak (Sumatera Tengah), H. Abd. Halim Hasan (Sumatera Timur), H. Abu Bakar Bestari (Palembang) dan Yahya Badin (Atjeh Utara).

Perilah Khilafah, dalam kongres yang membahas tentang Pemilihan Umum (Pemilu) itu, disinggung dengan contoh memilih khalifah dalam konteks Pemilu 1955. Wali Al-Fattaah mengatakan, "Ini lain. Memilih chalifah ini di kalangan Muslimin sendiri. Dengan sekadar agama dapat ini diselesaikan. Djadi ini saja rasa bukan tempatnja contoh ini dikenakan kepada pemilihan umum".

"Djuga mengenai pimpinan jang satu… itu tidak mungkin selama mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat sadja dan tidak dikembalikan kepada Qur'an dan Hadits." (Al-Islam, No.6 Tahun ke-1, Jumadil Akhir 1374, Februari 1955 M, halaman 16-17, bundle halaman 272-273: Kongrees Alim Ulama/ Muballighin seluruh Indonesia di Medan (III).

Sambutan Muslimin

Wali Al-Fattaah dan sejumlah Muslimin yang telah menetapi Jama'ah Muslimin (Hizbullah) pada 8 Rabiul Akhir 1372 H (23 Januari 1953 M) secara runtin mengadakan pengajian di Cideng Timur 53 Jakarta dan Tanah Abang, Jakarta. Jama'ah didakwahkan kepada kaum Muslimin. Ustadz Buchori, seorang pemuka dan Takmirul Masjid At-Taqwa di Petojo Sabangan, Jakarta, berbai'at menetapi Jama'ah Muslimin (Hizbullah) di Cideng Timur.

Kaum Muslimin lainnya yang telah menetapi Jama'ah adalah Ustadz Zainul Maliki, Ustadz Amin Basha, dan Ustadz M. Bakri Qomar (Jakarta), Ustadz Sa'daman (tokoh Persis Jakarta), Mirza Sidharta (Yogyakarta), Ustadz Dahlan Lanisi (Ternate, Maluku Utara), Ustadz Gaffar Ismail (Sumatera Barat), Abdullah bin Buchori, Abdurrahman bin Buchori, Muhyiddin Hamidy bin Abdul Hamid (Jakarta), Ustadz Muhammad Ali Muhammad (Banda Aceh/terakir rektor IAIN Banda Aceh), Darsono (Jakarta), Ustadz Sulaiman Mahmud (Aceh), Ustadz Mohammad Amin, Ustadz Amir Husin O.S. (Jakarta), Kyai Haji Mohammad Noor (Jakarta), Ustadz SS Jam'an (Senen, Jakarta), Ustadz Ahmad Makarusu (Makassar), K.H. Munawar Khalil (Jawa Tengah), Ustadz Musthafa Sasradasmita (Jakarta), Ustadz Zubeir Hadid (wartawan Pers Biro (PIA) Jakarta dan AFP (kantor berita Perancis di Jakarta). Ustadz Abdul Malik (Sumatera Barat/bai'at setelah dimaklumkan, September 1953). Demikian antara lain nama-nama yang telah menetapi Al-Jama'ah yang diperoleh penulis melalui bapak Muhyiddin Hamidy dan sejumlah ikhwan lainnya dari angkatan pertama (sabiquna awwalun) itu seperti Ustadz Buchori, Abdullah bin Buchori, Ustadz Sa'daman dan lain-lainnya. Selain bapak Muhyiddin Hamidy dan Darsono, semuanya beliau-beliau itu telah pulang ke rahmatullah. Semoga ALLAH Subhanahu wa Ta'ala menempatkan beliau-beliau itu di Jannah di Akhirat kelak. Allaahumma amiin.

Menjelang akan dimaklumkannya Al-Jama'ah ini secara terbuka ke Dunia Islam secara luas, Ustadz Buchori mengirim surat kepada Wali Al-Fattaah daftar nama kaum Muslimin di Petojo Sabangan II dan III tertanggal 15 Agustus 1953 M (5 Dzulhijjah 1372 H.) sebanyak 19 orang Muslimin dari Petojo Sabangan, Jakarta, yang akan diundang dalam acara tersebut. Ustadz Buchori dan Abdullah bin Buchori mengatakan di kediamannya di Petojo Sabangan III/52 Jakarta (1977), dari jumlah tersebut, 11 orang telah berbai'at kepada Wali Al-Fattaah.
Mereka adalah, Supardi, Said, Hashim Siregar, Dasimin, Moh. Isah, Taseri, Moh. Ali, Sahbudin (Saud), Sudjaei, Surija dan Awil.
Demikian nama-nama kaum Muslimin yang telah berbai'at menetapi Al-Jama'ah, Jama'ah Muslimin (Hizbullah) dari 8 Rabiul Akhir 1372 H (23 Januari 1953 M) hingga menjelang dimaklumkan di Jakarta.


Tidak ada komentar: