Jumat, Juli 27, 2012


Waspadalah, Yahudi Sudah Punya Perwakilan di Indonesia!

“Yahudi pakai cover atau samaran. Cara yang paling ampuh adalah dengan informasi, yaitu media massa” (Munarman)

Tidak lama setelah matinya Gus Dur (Abdurrahman Wahid) (30/12/2009) yang dikenal gigih berupaya untuk membuka hubungan dengan Yahudi, ternyata pihak Yahudi segera meresmikan perwakilannya di Indonesia.
Indonesia-Israel Public Affair Committee (IIPAC)(Komite Urusan Publik Indonesia-Israel) diresmikan di Indonesia pada Jumat (29/1/2010) dengan pendirinyaBenjamin Ketang. Adanya IIPAC adalah untuk memfasilitasi investor Yahudi dari seluruh dunia untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Lembaga ini diyakini akan berperan dalam Pilpres 2014 di Indonesia.
Dengan hadirnya IIPAC di Indonesia, Israel tanpa perlu kedutaan, sesungguhnya sudah melancarkan jalan untuk mencengkeram Indonesia. Oleh karena itu, butuh ekstra kewaspadaan untuk menangkal siasat dan strategi busuk Yahudi. Umat Islam hendaknya bersatu dan kembali kepada ajaran-ajaran Islam dan syariah agar tidak mudah disusupi pemikiran yang menyimpang.
Adanya IIPAC adalah untuk memfasilitasi investor Yahudi dari seluruh dunia untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Komite Urusan Publik Indonesia-Israel ini diyakini akan berperan dalam Pilpres 2014 di Indonesia. Hal ini disampaikan Munarman (Koordinator Tim Advokasi Forum Umat Islam) dalam Semiloka “Menyingkap Jaringan Yahudi di Indonesia” Ahad (31/1/2010).
Munarman, yang sempat masuk bui karena kasus aksi unjuk rasa FPI dan AKKBB beberapa tahun lalu, mengatakan, jaringan Yahudi sudah ada sejak dulu. “Yahudi pakai cover atau samaran. Cara yang paling ampuh adalah dengan informasi, yaitu media massa,” ungkap Munarman.
Selama ini, masyarakat sudah ditipu dengan berbagai kebohongan dan propaganda pencucian otak oleh Illuminati, para petinggi Freemasonry. Tak tanggung-tanggung, Munarman membeberkan tiga tokoh sejarah Indonesia yang dipandang pahlawan oleh sebagian besar masyarakat yang ternyata adalah anggota Freemason. Ketiga tokoh itu adalah K.H. Dewantara, M. Yamin, dan Sultan Hamid dari Kalimantan. Hebatnya, gerakan Boedi Oetomo yang diakui sebagai pergerakan pemuda pertama di Indonesia rupanya digagas oleh anggota Freemasonry. Tragis.

Umat Islam hendaknya bersatu dan kembali kepada ajaran-ajaran Islam dan syariah agar tidak mudah disusupi pemikiran yang menyimpang…

Di sisi lain, Jerry D. Gray, yang juga tampil sebagai pembicara mengungkapkan, media massa AS hampir semuanya dikuasai oleh Yahudi. Setidaknya, ada enam media massa besar di AS yang masuk dalam jejaring Yahudi, yakni CNN, Fox News, Washington Pos, CBS, ABC dan NBC. Sayangnya, enam media itu mampu menggiring opini publik dan mengantarkan kebohongan ke seluruh dunia. Jerry yang pernah menjadi Tentara Angkatan Udara AS itu menyayangkan sikap masyarakat dunia yang masih mengelu-elukan AS. “Paling lama, tiga tahun lagi AS bakal bangkrut. Tidak ada sungai yang bersih di Amerika, sungainya tidak bersih, apalagi ikannya?!” ungkap Jerry yang sudah resmi menjadi WNI itu.
Selain Jerry dan Munarman, semiloka tersebut juga menghadirkan Herry Nurdi (mantan Pimred Sabili) dan K.H. Cholil Ridwan (Ketua MUI Pusat). Beberapa fakta kebohongan Yahudi terungkap di semiloka yang digelar di Masjid Baytul Karim, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat ini antara lain sebagai berikut.
  • Gempa bumi di Aceh yang menyebabkan tsunami ternyata bukan gempa bumi biasa, melainkan seperti bom nuklir yang diledakkan di dalam laut. Hal ini terlihat dari perbedaan penentuan titik gempa. Menurut CNN, pusat gempa berkekuatan 8,9 SR itu terletak di sebelah utara Aceh, sementara menurut BMKG Indonesia, pusat gempa ada di sebelah barat Sumatra dan hanya 6,4 SR. Selain manipulasi berita itu, kapal induk AS juga ternyata sudah siap siaga di perairan Sumatra hanya selang 4 hari setelah kejadian.
  • Logo burung garuda yang menjadi simbol negara dan Pancasila ternyata adalah simbol dari Dewa Horus.
  • Gedung Bappenas yang terletak di Jalan Imam Bonjol ternyata bekas loji Yahudi yang konon sering digunakan sebagai tempat menyembah setan.
  • Pesawat yang ditabrakkan ke gedung kembar WTC pada peristiwa 11/9 adalah pesawat milik US Force.
  • Yahudi yang bermigrasi ke Amerika pertama kali juga telah meracuni penduduk asli Amerika, yaitu Indian, dengan memberikan selimut yang sudah ditempelkan virus cacar. Dengan pemberian selimut yang seolah-olah memberikan bantuan kemanusiaan itu, ternyata Yahudi menyimpan siasat licik dengan memusnahkan bangsa Indian dari Amerika.
Sudah jelas bahwa Yahudi hanya membawa kehancuran dan mempersiapkan dunia untuk Dajjal. Dengan hadirnya IIPAC di Indonesia, Israel tanpa perlu kedutaan, sesungguhnya sudah melancarkan jalan untuk mencengkeram Indonesia. Oleh karena itu, butuh ekstra kewaspadaan untuk menangkal siasat dan strategi busuk Yahudi. Umat Islam hendaknya bersatu dan kembali kepada ajaran-ajaran Islam dan syariah agar tidak mudah disusupi pemikiran yang menyimpang. Dengan persatuan umat dan pemahaman yang benar, kita lihat, apakah lobi Yahudi pada 2014 akan berhasil?!

Pancasila, Ideologi Talmud Yahudi??

Garuda Pancasila
Aku lelah mendukungmu
Sejak Proklamasi, selalu berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apa?
Rakyat makmur adilnya kapan?
Prihatin bangsaku
Tidak maju, maju……
Tidak maju, maju……
Tidak maju, maju…..
(Dipelesetkan oleh almarhum Harry Roesli dari lagu kebangsaan Garuda Pancasila)
Selama ini, Pancasila diyakini sebagai made in Indonesia asli, produk pemikiran yang digali dari rahim bumi pertiwi. Kemudian, berhasil dirumuskan sebagai ideologi dan falsafah bangsa oleh Bung Karno, hingga menjadi rumusan seperti yang kita kenal sekarang.
Sejauh mana klaim di atas memperoleh legitimasi historis serta validitas akademik? Adakah bangsa lain dan gerakan ideologi lain yang telah memiliki Pancasila sebelum Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang BPUPKI, 1 Juni 1945?
Sebagai peletak dasar negara Pancasila, Bung Karno mengaku, dalam merumuskan ideologi kebangsaannya, banyak terpengaruh pemikiran dari luar. Di depan sidang BPUPKI, Bung Karno mendiskripsikan pengakuannya:
“Pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran pada saya, ‘jangan berpaham kebangsaan, tapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia”.
Tetapi pada tahun 1918, kata Bung Karno selanjutnya, alhamdulillah ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan A. Baars itu. Sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan di hati saya oleh pengaruh buku tersebut.”
Pengakuan jujur Bung Karno ini membuktikan, sebenarnya Pancasila bukanlah produk domestik yang orisinal, melainkan intervensi ideologi transnasional yang dikemas dalam format domestik.
Sebagai derivasi gerakan Zionisme internasional, Freemasonry memiliki doktrin Khams Qanun yang diilhami Kitab Talmud. Yaitu, monoteisme (ketuhanan yang maha esa), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Yahudi), humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Yahudi), demokrasi (dengan cahaya Talmud suara terbanyak adalah suara tuhan), dan sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi). (Syer Talmud Qaballa XI:45).
Tokoh-tokoh pergerakan di Asia Tenggara juga merujuk pada Khams Qanun dalam merumuskan dasar dan ideologi negaranya. Misalnya, tokoh China Dr. Sun Yat Sen, seperti disebut Bung Karno, dasar dan ideologi negaranya dikenal dengan San Min Chu I, terdiri dari: Mintsu, Min Chuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme.
Asas Katipunan Filipina yang dirumuskan oleh Andreas Bonifacio, 1893, dengan sedikit penyesuaian terdiri dari : nasionalisme, demokrasi, ketuhanan, sosialisme, humanisme. Begitupun, Pridi Banoyong dari Thaeland, 1932, merumuskan dasar dan ideologi negaranya dengan prinsip: nasionalisme, demokrasi, sosialisme, dan religius.
Sedangkan Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia, pada mulanya merumuskan ideologi dan dasar negara Indonesia yang disebut Pancasila terdiri dari: nasionalisme (kebangsaan), internationalisme (kemanusiaan), demokrasi (mufakat), sosialisme, dan ketuhanan.(kutipan Artikel ini pernah dimuat di majalah Gatra, 19 Mei 2011, dengan judul asli: “Benang Merah Pancasila dan Zionisme dalam Talmud Yahudi”)
So… ngapain juga kita mau menjadikan dasar agama orang yahudi menjadi dasar negara ini, sangatlah tidak etis. kita sebagai negara yang mayoritas Muslim sepantasnyalah menjadikan Islam sebagai ideologi negara ini. apalagi penerapan ideologi ini tidak akan mendzalimi agama lain yang minoritas dinegeri ini. Karena saat Rasulullah menerapkan Syari’ah di Madinah terbukti bisa menaungi kaum nasrani maupun yahudi.
Dan ingatlah janji Allah bagi negeri yang penduduknya mau bersyari’ah Islam, Allah SWT berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 96:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Wallahu a’lam bisshawab.

Jejak Freemason Indonesia : Theosofi dan Penghinaan Terhadap Islam

Selain ajaran Theosofi yang merusak akidah Islam, para aktivis Theosofi di Indonesia pada masa lalu banyak terlibat dalam berbagai aksi pelecehan terhadap ajaran Islam. Ironisnya, mereka adalah orang-orang yang disebut dalam buku-buku sejarah sebagai tokoh-tokoh nasional.
Dalam buku “Sejarah Indonesia Modern”, sejarawan MC Ricklef menyatakan,Theosofi di Indonesia pada masa lalu banyak terlibat dalam berbagai aksi pelecehan terhadap Islam. Bukan hanya ajarannya yang banyak berseberangan dengan akidah Islam sebagaimana banyak dipaparkan oleh penulis pada tulisan beberapa edisi lalu, namun juga para aktivis Theosofi yang merupakan elit-elit nasional pada masa lalu, juga banyak melakukan pelecehan terhadap Islam. Para aktivis Theosofi yang umumnya elit Jawa penganut kebatinan, menganggap Islam sebagai agama impor yang tidak sesuai dengan kebudayaan dan jati diri bangsa Jawa.
A.D El Marzededeq, peneliti jaringan Freemason di Indonesia dan penulis buku“Freemasonry Yahudi Melanda Dunia Islam” menyatakan tentang gambaran elit Jawa dalam kelompok Theosofi dan Freemasonry pada masa lalu. Marzededeq menulis, “Perkumpulan kebatinan di Jawa yang berpangkal dari paham Syekh Siti Jenar makin mendukung keberadaan Vrijmetselarij (Freemason). Para elit Jawa yang menganut paham wihdatul wujud (menyatunya manusia dengan Tuhan, red) yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar, kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi-Freemasonry, baik secara murni ataupun mencampuradukkannya dengan kebatinan Jawa…” (hal.8)
Para elit Jawa dan tokoh-tokoh kebangsaan yang tergabung sebagai anggota Theosofi-Freemason di Indonesia pada masa lalu kerap kali berada di balik berbagai pelecehan terhadap Islam. Misalnya, mereka menyebut ke Boven Digul lebih baik daripada ke Makkah, mencela syari’at poligami, dan menyebut agama Jawa (Gomojowo) atau Kejawen lebih baik daripada Islam. Penghinaan-penghinaan tersebut dilakukan secara sadar melalui tulisan-tulisan di media massa dan ceramah-ceramah di perkumpulan mereka. Penghinaan-penghinaan itu makin meruncing, ketika para anggota Theosofi-Freemason yang aktif dalam organisasi Boedi Oetomo, berseteru dengan aktivis Sarekat Islam.
Pada sebuah rapat Gubernemen Boemipoetra tahun 1913, Radjiman Wediodiningrat, anggota Theosofi-Freemason, menyampaikan pidato berjudul “Een Studie Omtrent de S.I (Sebuah Studi tentang Sarekat Islam)” yang menghina anggota SI sebagai orang rendahan, kurang berpendidikan, dan mengedepankan emosional dengan bergabung dalam organisasi Sarekat Islam. Radjiman dengan bangga mengatakan, bakat dan kemampuan orang Jawa yang ada pada para aktivis Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang ajaran Islam yang dianut oleh para aktivis Sarekat Islam. Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917, ketika umat Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar organisasi ini memperhatikan aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas menolaknya. Radjiman mengatakan, “Sama sekali tidak bisa dipastikan bahwa orang Jawa di Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.”
Anggota Theosofi lainnya yang juga aktivis Boedi Oetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, juga melontarkan pernyataan yang melecehkan Islam. Adik dari dr. Tjipto Mangoekoesomo ini mengatakan, “Dalam banyak hal, agama Islam bahkan kurang akrab dan kurang ramah hingga sering nampak bermusuhan dengan tabiat kebiasaan kita. Pertama-tama ini terbukti dari larangan untuk menyalin Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Rakyat Jawa biasa sekali mungkin memandang itu biasa. Tetapi seorang nasionalis yang berpikir, merasakan hal itu sebagai hinaan yang sangat rendah. Apakah bahasa kita yang indah itu kurang patut, terlalu profan untuk menyampaikan pesan Nabi?”
Goenawan Mangoenkoesomo adalah diantara tokoh nasional yang hadir dalam pertemuan di Loji Theosofi Belanda pada 1918, selain Ki Hadjar Dewantara, dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo. Apa yang ditulis Goenawan di atas dikutip dari buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-Mei 1918 yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda. Dalam buku yang sama, masih dengan nada melecehkan, Goenawan menulis, “Jika kita berlutut dan bersembahyang, maka bahasa yang boleh dipakai adalah bahasanya bangsa Arab…”
Organisasi kepemudaan yang bercorak kebatinan Jawa pada masa lalu juga tak lepas dari pengaruh Theosofi-Freemason. Sejarah mencatat, organisasi kepemudaan ini disusupi kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam.
Dalam catatan sejarah, keluarnya Syamsuridjal dari keanggotaan Jong Java (Perkumpulan Pemuda Jawa) dan kemudian mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/ Perhimpunan Pemuda Islam) adalah karena organisasi Jong Java menolak untuk mengadakan kuliah atau pengajaran keislaman bagi anggotanya yang beragama Islam dalam organisasi ini. Sementara, agama Katolik dan Theosofi justru mendapat tempat untuk diajarkan dalam pertemuan-pertemuan Jong Java. Pada masa lalu, Jong Java adalah organisasi yang berada dalam pengaruh kebatinan Theosofi.
Sosok yang dianggap berpengaruh dalam menyingkirkan Islam dari organisasi Jong Java adalah Hendrik Kraemer, utusan Perkumpulan Bibel Belanda yang diangkat menjadi penasihat Jong Java. Sejarawan Karel Steenbrink dalam “Kawan dalam Pertikaian:Kaum Kolonial Belanda Islam di Indonesia 1596-1942″ menulis bahwa Kraemer adalah misionaris Ordo Jesuit yang aktif memberikan kuliah Theosofi dan ajaran Katolik kepada anggota Jong Java. Di organisasi pemuda inilah, Kraemer masuk untuk menihilkan ajaran-ajaran Islam. (Lihat, Karel Steenbrink, hal.162-163)
Selain Syamsuridjal, permintaan agar Islam diajarkan dalam pengajaran di Jong Java juga disuarakan Kasman Singodimedjo. Kasman bahkan mengusulkan agar Jong Java menggunakan asas Islam dalam pergerakan dan menjadi pionir bagi organisasi-organisasi pemuda lain, seperti Jong Sumatrenan, Jong Celebes, dan Pemuda Kaum Betawi. Kasman beralasan, Islam adalah agama mayoritas di Nusantara, dan mampu menyelesaikan segala sengketa dalam organisasi-organisasi yang saat itu banyak terpecah belah. Karena tak disetujui, maka pada 1 Januari 1925, para pemuda Islam mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/Perkumpulan Pemuda Islam) di Jakarta. Dengan menggunakan kata “Islam”, JIB jelas ingin menghapus sekat-sekat kedaerahan dan kesukuan, dan mengikat dalam tali Islam.
Dalam statuten JIB dijelaskan tentang asas dan tujuan perkumpulan ini: Pertama, mempelajari agama Islam dan menganjurkan agar ajaran-ajarannya diamalkan. Kedua, menumbuhkan simpati terhadap Islam dan pengikutnya, disamping toleransi yang positif terhadap orang-orang yang berlainan agama. Dalam kongres pertama JIB, Syamsuridjal dengan tegas menyatakan, “Berjuang untuk Islam, itulah jiwa organisasi kita.”
Untuk mengkonter pelecehan-pelecehan terhadap Islam, para pemuda Islam yang tergabung dalam JIB kemudian mendirikan Majalah Het Licht yang berarti Cahaya (An-Nur). Majalah ini dengan tegas memposisikan dirinya sebagai media yang berusaha menangkal upaya dari kelompok di luar Islam yang ingin memadamkan Cahaya Allah, sebagaimana yang pernah mereka rasakan saat masih berada di Jong Java. Motto Majalah Het Licht yang tercantum dalam sampul depan majalah ini dengan tegas merujuk pada Surah At-Taubah ayat 32: “Mereka berusaha memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.”
JIB dengan tegas juga mengkonter pelecehan terhadap Islam, sebagaimana dilakukan oleh Majalah Bangoen, majalah yang dipimpin oleh aktifis Theosofi, Siti Soemandari. Majalah Bangoen yang dibiayai oleh organisasi Freemason pada edisi 9-10 tahun 1937 memuat artikel-artikel yang menghina istri-istri Rasulullah. Penghinaan itu kemudian disambut oleh para aktivis JIB dan umat Islam lainnya dengan menggelar rapat akbar di Batavia.
Sebelumnya, pada 1926, dua tahun sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, para aktivis muda yang berasal dari Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) dan Jong Vrijmetselaarij (Pemuda Freemason) sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan kepemudaan. Pada tahun yang sama, mereka berusaha mengadakan kongres pemuda di Batavia yang ditolak oleh JIB, karena kongres ini didanai oleh organisasi Freemason dan diadakan di Loge Broderketen, Batavia. Alasan penolakan JIB, dikhawatirkan kongres ini disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam. Apalagi, Tabrani, penggagas kongres ini adalah anggota Freemason dan pernah mendapat beasiswa dari Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah lembaga beasiswa yang dikelola aktivis Theosofi-Freemason.
Pada tahun 1922, sebagaimana ditulis oleh A.D El Marzededeq dalam “Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan Perkembangannya Hingga ke Indonesia” disebutkan bahwa di Loge Broderketen, Batavia, juga pernah terjadi aksi pelecehan terhadap Islam oleh salah seorang aktivis Freemason yang memberikan pidato pada saat itu dengan mengatakan, “Islam menurut mereka itu merupakan paduan kultur Arab, Yudaisme, dan Kristen. Indonesia mempunyai kultur sendiri, dan kultur Arab tidak lebih tinggi dari Indonesia. Mana mereka mempunyai Borobudur dan Mendut?
Para aktivis nasionalis sekular, terutama mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem pemerintahan. Negara tak perlu diatur oleh agama, cukup dengan nalar dan moral manusia.
Paham kebangsaan yang diusung oleh kelompok nasionalis sekular pada masa lalu di negeri ini adalah ideologi “keramat” yang netral agama (laa diniyah) dan kerap dibentur-benturkan dengan Islam. Kelompok nasionalis sekular, sebagaimana tercermin dalam pemikiran Soekarno dan para aktivis kebangsaan lainnya yang ada dalam organisasi seperti Boedi Oetomo, adalah mereka yang menolak agama turut campur dalam sistem pemeritahan. Mereka berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem berbangsa dan bernegara. Mereka menjadikan Turki sekular di bawah pimpinan Mustafa Kemal At-Taturk sebagai kiblat dalam mengelola pemerintahan.
Kiblat kelompok kebangsaan kepada Turki Sekular tercermin jelas dalam pernyataan tokoh Boedi Oetomo, dr Soetomo yang mengatakan, “Perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas, bahwa cita-cita “Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.” Dengan rasa bangga, saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1937, Soetomo mengatakan,”Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto khawatir, para aktivis Islam yang dituduh memiliki agenda mengobarkan Pan-Islamisme di Nusantara itu bisa menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk dalam PPKI, kata Tjipto, maka cita-cita kebangsaan akan hancur.
Pernyataan Tjipto Mangoenkoesomo makin memperjelas sikap kalangan pengusung paham kebangsaan atau nasionalis sekular yang berusaha membendung segala upaya dan cita-cita Islam dalam pergerakan nasional dan pemerintahan di negeri ini. Sebelum kemerdekaan, perdebatan soal Islam dan kebangsaan antara kelompok nasionalis sekular yang diwakili oleh Soekarno dan kawan-kawan dengan kelompok Islam yang diwakili A. Hassan, M. Natsir, dan H. Agus Salim begitu menguat ke publik. Berbagai polemik tentang dasar negara menjadi perbincangan terbuka di media massa. Kelompok Islam menginginkan negara yang nantinya merdeka, menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Sementara kelompok nasionalis sekular berusaha memisahkan agama dan pemerintahan. “Manakala agama dipakai buat memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja, orang-orang zalim, dan orang-orang tangan besi,” kata Soekarno mengutip perkataan Mahmud Essad Bey.
Sarekat Islam (SI), sebagai organisasi pergerakan yang mengusung cita-cita Islam, melalui tokohnya HOS Tjokroaminoto memang menyerukan kepada SI untuk melancarkan gerakan tandzim guna mengatur kehidupan rakyat di lapangan ekonomi, sosial, budaya, menurut asas-asas Islam. Sedangkan H. Agus Salim, selain menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme, juga menyerukan tentang kekhilafahan Islam dan Pan-Islamisme, sehingga berdiri apa yang disebut dengan Central Comite Chilafat. Nasionalisme dalam pengertian Salim adalah memajukan nusa dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.
Mohammad Natsir dalam Majalah Pembela Islam tahun 1931 menulis bahwa kelompok yang ingin memisahkan agama dari urusan negara adalah kelompok ”laa diniyah” (netral agama). Natsir menegaskan, ada perbedaan cita-cita antara kelompok kebangsaan dan para aktivis Islam tentang visi negara merdeka. Natsir menyatakan, kemerdekaan bagi umat Islam adalah untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan undang-undang Islam, untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya, dan untuk semua makhluk Allah umumnya. Natsir menyindir kelompok nasionalis sekular dengan mengatakan, “Pergerakan yang berdasarkan kebangsaan tidak akan ambil pusing, apakah penduduk muslimin Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85% dari penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama. Kristen boleh, Theosofi bagus, Budha masa bodoh.”
Sementara kelompok kebangsaan, terutama mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason, mengampanyekan bahwa nasionalisme yang dibangun di negeri ini harus sesuai dengan doktrin humanisme, di mana manusia berhak menentukan hukum buatan sendiri yang bertujuan untuk mengabdi kepada kemanusiaan, tanpa campur tangan agama manapun. Van Mook, tokoh Freemason di Hindia Belanda ketika itu, dalam sebuah pidato di Loge Mataram, Yogyakarta, tahun 1924, mengatakan, “Freemasonry membimbing nasionalisme menuju cita-cita luhur dari humanitas.”
Paham humanisme yang dibawa oleh elit-elit kolonial, teruatama mereka yang aktif sebagai anggota Theosofi dan Freemason inilah yang kemudian “ditularkan” kepada “anak-anak didik” para priyai dan elit Jawa yang menjadi abdi kompeni. Mereka mengampanyekan soal kesamaan semua agama-agama, tidak percaya dengan hukum Tuhan dan mempercayai kodrat alam, dan tentu saja sebagaimana trend imperialisme negara-negara Eropa ketika itu, adalah mengampanyekan bahaya “Pan-Islamisme”, semangat solidaritas Islam dunia untuk membangun sebuah pemerintahan.
Karena itu, untuk membendung Pan-Islamisme di Nusantara, apalagi ketika itu banyak tokoh-tokoh Islam yang pulang dari haji dan menimba ilmu di Makkah juga menyuarakan Pan-Islamisme, maka pemerintah kolonial membentuk basis-basis tandingan dengan mendukung berdirinya organisasi-organisasi kebangsaan seperti Boedi Oetomo, Jong Java, dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga merangkul para priyai sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial, memberi keluasan bagi anak-anak keturunan mereka untuk bersekolah di negeri Belanda, dan mendirikan pendidikan-pendidikan netral (neutrale onderwijs), yang berbasis pada pembentukan karakter manusia dengan berpedoman pada hukum kodrat alam.
Tak sedikit dari para elit dan priyai Jawa ketika itu, baik yang aktif dalam organisasi kebangsaan ataupun mereka yang menjabat sebagai residen, asisten residen, wedana, dan sebagainya yang masuk dalam organisasi Theosofi dan Freemason. Bahkan, tak sedikit juga dari mereka yang masuk sebagai anggota Rotary Club, sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk oleh Zionisme Internasional. Pelecehan demi pelecehan terhadap Islam dilakukan oleh para pengusung kebangsaan, seperti pernyataan bahwa ke Boven Digul lebih baik daripada ke Makkah, pergi haji adalah upaya menimbun modal nasional untuk kepentingan asing, Islam adalah agama impor yang berusaha menjajah tanah Jawa, dan sebagainya.

Theosofi-Freemason tidak mempercayai adanya ritual doa kepada Sang Maha Pencipta. Mereka juga tak mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota Theosofi yang mengaku muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan pemahaman yang menyimpang.

Sebagai perkumpulan kebatinan yang meyakini bahwa Tuhan punya banyak nama, dan masing-masing agama hanyalah berbeda dalam memberi nama pada tuhannya, maka penganut Theosofi yang mengaku beragama Islam, menerjemahkan kalimat thayyibah “Laa Ilaaha Illallah” dengan “Tiada Gusti Allah, melainkan Gusti Allah”. Terjemah tersebut kemudian dijelaskan, bahwa pengertiannya ada dua macam: Pertama, kita tidak boleh percaya lain rupa kekuasaan atau lain kekuatan melainkan Gusti Allah punya kekuasaan sendiri. Kedua, yaitu yang Gusti Allah menempati badannya manusia. Keterangan mengenai ini ditulis dalam Majalah Pewarta Theosofi Boeat Tanah Hindia Nederland, 1906.
Makna pertama, meskipun seolah terlihat bagus, bahwa kita tidak boleh percaya kepada kekuasaan dan kekuatan selain yang dipunya Gusti Allah, namun Gusti Allah dalam pandangan Theosofi adalah Tuhan yang dimiliki oleh setiap agama-agama, yang merupakan kesatuan batin dalam keyakinan (esoteris). Tuhan dalam keyakinan Theosofi punya banyak nama: God, Yahweh, Sang Hyang, dan lain-lain, yang pada hakikatnya menurut mereka merujuk pada Zat Yang Satu, meskipun namanya berbeda-beda, meskipun agamanya berlainan rupa. Tokoh sekular pendiri Yayasan Paramadina, Nurcholish Madjid pernah membuat sebuah tulisan dengan judul “Satu Tuhan Banyak Jalan”.
Terjemahan menyimpang tentang kalimat “Laa Ilaaha Illallah” juga pernah dilakukan oleh mendiang Nurcholish Madjid. Ia menerjemahkan kalimat ”Laa Ilaaha Illallah” dengan “Tiada tuhan melainkan Tuhan”. Cak Nur yang merupakan lokomotif gerakan sekular di Indonesia ini membagi tuhan (dengan “t” kecil) dengan Tuhan (dengan “T” besar). Terjemahan Cak Nur dianggap mengacu pada terjemahan ala Barat dan Bibel, yang menyebut Tuhan dengan sebutan “god” (dengan “g” kecil) dan “God” (dengan “G” besar). Dalam Kitab Mazmur 109:1, 2 disebutkan “Tuhan telah bersabda kepada tuhanku.”
Dalam Islam, kata “Allah” adalah lafzhul jalalah (lafazh yang tinggi dan mulia), yang disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 2679 kali, yang semuanya dalam bentuk singular (mufrad) atau tunggal. Allah dalam keyakinan Islam adalah “al-ma’bud bi haqqin”, Zat satu-satunya yang berhak untuk disembah, yang tidak ada bandingan-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak berbilang dan tidak memiliki nama-nama lain, kecuali Al-Asma’ Al-Husna yang merupakan sifat-sifat keagungan-Nya. Kata “Allah” tidak bisa diartikan dengan “Tuhan” sebagaimana kata “al-ilah”. (Lihat, Ahmad Husnan, Jangan Terjemahkan Al-Qur’an Menurut Visi Injil dan Orientalis, Jakarta: Media Dakwah, 1987)
Makna kedua dari kalimat “Laa Ilaaha Illallah” ala terjemah Theosofi, yaitu yang Gusti Allah menempati badannya manusia, adalah keyakinan kufur yang mengacu pada paham wihdatul wujud  atau al-hulul. Paham ini pada masa lalu dikenal di Nusantara dengan istilah ”manunggaling kawula gusti”, yaitu keyakinan bahwa manusia dan Tuhan itu manunggal, sebagaimana keyakinan yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang. Theosofi menyebut manunggalnya manusia dengan Tuhan sebagai pancaran yang disebut dengan istilah “pletik Ilahi (God in being)”.
Manusia sejati (ingsun sejati) dalam keyakinan Theosofi adalah manusia yang mengamalkan lelaku batin sehingga bisa manunggal dengan Tuhan. Manusia sejati adalah pancaran dari gambaran Tuhan. Maka Manusia Sejati harus mengamalkan asas-asas Ilahi, yaitu kasih sayang, kebenaran, dan kesatuan hidup. “Dengan mengenal diri kita sendiri, kita akan mengenal Tuhan, Kasunyatan Hidup, Kebenaran. Tuhan itu Hidup, Jalan, Kebenaran, Kasih. Allah kasih meliputi segala-galanya. Allah adalah semua dalam semua. Kita Hidup, bergerak, dan ada di dalam Dia. “ Inilah yang disebut dengan pletik ilahi atau God in being. (PB Perwathin, No. 5, Tahun VIII, Mei 1973). Sang Kasih, menurut Theosofi, menggabungkan semua dalam kesatuan.
Keyakinan soal manunggalnya hamba dengan Tuhan juga diungkapkan tokoh Boedi Oetomo, dokter Soetomo. Dalam buku “Kenang-kenangan Dokter Soetomo” yang dihimpun oleh Paul W van der Veur, disebutkan bahwa Soetomo pernah mengatakan bahwa pemancaran zat Tuhan,”Itulah sebenarnya keyakinan saya. Itulah keyakinan yang mengalir bersama darah dalam segala urat tubuh saya. Sungguh, sesuai-sesuai benar.” (hal. 30). Soetomo juga mengatakan, “Aku dan Dia satu dalam hakikat, yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar…” (hal.31).
Soetomo sebagaimana para penganut kebatinan Theosofi lainnya, tidak melakukan shalat lima waktu selayaknya umat Islam lainnya, melainkan melakukan semedi, meditasi, yoga, dan sebagainya. “Soetomo lebih mementingkan “semedi” untuk mendapat ketenangan hidup, ketimbang sembahyang,” tulis Paul W van der Veur (hal.31). Karena cukup hanya dengan semedi, maka para penganut kebatinan juga tidak melakukan ritual doa kepada Sang Maha Kuasa. Bagi mereka semedi yang melahirkan sikap eling sudah cukup untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Pendiri Theosofi, Helena Petrovna Blavatsky dalam bukunya “Kunci Pembuka Ilmu Theosofi (The Key to Theosophy)” menyatakan bahwa Theosofi tidak percaya dengan doa, dan tidak melakukan doa. Theosofi mempercayai “doa kemauan” yang ditujukan kepada Bapak di sorga dalam artian esoteris, yaitu Tuhan yang tidak ada sangkut pautnya dengan bayangan manusia, atau Tuhan yang menjadi intisari ilahiah yang dimiliki semua agama. Berdoa, kata Blavatsky mengandung dua unsur negatif: Pertama, membunuh sifat percaya diri manusia yang ada dalam diri manusia sendiri. Kedua, mengembangkan sifat mementingkan diri sendiri.(hal.50).
Dalam Islam tentu berbeda, umat Islam dianjurkan untuk berdoa sebagai sarana memohon pertolongan, memohon perlindungan, mengadukan segala persoalan kepada Allah, Rabbul alamin. Berdoa juga wujud dari sikap rendah hati seorang hamba dengan Tuhannya, selain juga sarana untuk berkomunikasi secara intim dengan Sang Maha Pencipta.“Memohonlah kepada-Ku, maka niscaya Aku akan kabulkan permohonanmu…” (QS. Ghafir: 60). Di ayat lain, Allah berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah [2]: 153)
Selain tidak menjalankan ritual doa, Theosofi-Freemason juga tidak meyakini adanya dosa dan pahala, surga dan neraka, bahkan tidak mengakui adanya hukum Tuhan. Mereka berkeyakinan adanya hukum “kodrat alam”, di mana ganjaran kebaikan dan hukuman bagi kejahatan ditentukan oleh kodrat alam dan hati nurani. Keyakinan Theosofi menyatakan, “Kalau Anda berbuat, maka akan ada orang yang membalas berbuat baik. Kalau Anda berbuat jahat, maka akan ada orang yang membalas kejahatan Anda. That’s all, ini saja.” Inilah yang disebut dengan “kodrat alam.”
Keyakinan ini tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan Islam. Dalam Islam, orang yang berbuat baik, selain dapat balasan dari manusia di dunia, juga akan mendapat balasan pahala dari Allah di akhirat kelak. Begitu juga, jika berbuat jahat, selain mendapat balasan kejahatan di dunia, juga akan mendapatkan dosa di akhirat. Orang Islam yang beriman dan beramal shaleh akan masuk surga, orang-orang yang mengaku Islam namun berbuat kejahatan dan kemusyrikan, apalagi mereka yang di luar Islam atau kafir maka akan mendapatkan balasan di neraka. Inilah hukum Tuhan, karena Islam meyakini ada kehidupan lagi setelah kematian nanti.