• Masa Perintah Iltizam Dalam Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka
Tafsir penjelas dari Masa ini adalah Hadits Tentang Masa Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, Masa Ghariban, Tongkat Estafet Kepemimpinan sebelum di bai’atnya Imaam Mahdi di Akhir Zaman.
Masa Pembai’atan atas seorang Hamba Allah yang dha’if, yang sama-sama semata-mata hanya mencari Ridha serta Maghfirah Allah Ta’ala. Dimana setelah sekian lama merindukan kembalinya muslimin pada kejayaannya, Keluar dari keterpurukannya. Dan Sempat berkiprah di dunia Politik, yang mana pada saat itu mungkin hanya dengan cara seperti itu minimal Islam dan Ummat Islam di Indonesia bisa kembali jaya.Kembali merasa khawatir akan nasib muslimin yang tiada pernah merasakan kemenangan setiap pergulatan melalui system Parlementer dengan Demokrasinya.
Menyeru dan terus menyeru hingga akhirnya mengadakan pertemuan-pertemuan di Sunda Kelapa dan, Kekhawatiran ini pun disampaikan oleh Beliau dalam setiap pertemuan dan mendapatkan sambutan hangat dari musyawirin yang hadir saat itu. Namun akhirnya setelah keadaan semakin alot, peserta pun semakin berkurang, tersisalah Sembilan orang yang masih tetap gelisah, setelah membuka, membaca, membahas, mengkaji terus menerus.dan meyaqininya (Ditentang AL JAMA’AH, AL IMAMAH, Al BAI’AH), timbulah kekhawatiran terhadap ancaman Allah bagi orang yang telah meyaqini, (setelah mendengar maka ada kewajiban tha’at) dari ‘ilmu yang telah didapat, namun keluar dari tempat /majlis ‘ilmu itu tanpa berwujud sebuah ‘amal nyata.
Maka akhirnya sepakatlah untuk dapat meng’amalkannya dan terjadilah pembai’atan sementara.
Meng’amalkan Iltizam Dalam Jama’ah Muslimin Yang ada Imaamnya Yang diangkatnya dengan cara Mubaya’ah sesuai Sunnah/Syari’at.
Dan diumumkanlah keseantero dunia. Dan sambil terus menerus mencari, Barangkali kemungkinan sekalipun kecil, ada yang telah meng’amalkan syari’at Al Jama’ah Al Imamah ini terlebih dahulu. Maka Imaam dan ma’mum saat itu hingga kapanpun insya Allah akan melebur masbuq didalamnya.Bahwa Jama’ah Muslimin telah ditetapi kembali setelah sekian lama ditinggalkan oleh muslimin, yang shabar dan ikhlash dalam pecahan-pecahan.
Dikarenakan kondisi masa yang semakin menebal dakhannya, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Shahabat Hudzaifah Ibnul Yaman. Maka kekhawatiran inilah yang dirasakan oleh kesembilan hamba Allah pada masa itu. Dimana adanya kekahawatiran mengikuti seruan Du’atun ‘Ala Abwabi Jahannam, khawatir ikut dilempar ke neraka Jahannam karena mengikutinya, khawatir yang mana kulitnya seperti kulit kita, Perkataan yang keluar dari lisannya seperti dari Lisan Kita (muslimin pada masa Rasulullah), Mereka Rajin Beribadah, Yang Wajib maupun yang Sunnah, Membaca Al Qur an dengan Fasih, dan Hafalannya sempurna (30 Juzz), beserta memahami isi makna dan menguasai banyak kitab-kitab tafsir (hingga halaman, bab dan perkataan ‘ulamanya). Bersikap santun, ramah kpd tetangga, lebih tua, sesame dan pada pemuda. Disukai banyak ummat, fakir miskin tersantuni dlsb. Namun seruannya tiada lain menyeru kepada seruan Jahiliyyah, Menyeru kepada fanatic ‘Ulama dan Golongan, Seruannya kepada Ashobiyah.
Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai da'i atau du'at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jama' dari da'a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. (Lihat 'Aunil Ma'bud XI/317).
Ketahuilah wahai kaum muslimin, …
Bahwa yang disebut Jama'ah Muslimin adalah Al Jama’ah. Yang tergabung didalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang diangkat dengan cara syari’at Mubaya’ah, yang melaksanakan hukum-hukum Allah.
Jama’ah Muslimin adalah Jama’ah Yang diperintahkan untuk muslimin beriltizam didalamnya dalam memegang teguh Tali (Agama) Allah.
Jama’ah Muslimin adalah Yang Mengangkat Allah, Rasul dan Orang Yang Beriman Menjadi Pelindung/Pemimpin, Mereka itulah Hizbullah.
Atsar Shahabat Ali Bin Abi Thalib :
Wallahi Al Jama’atu Mujama’atu ahlul Haq Wain Qallu, Wal Furqatu Mujama’atu ahlul Bathil wain katsaru…
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari Rahimahullah yang menyatakan : "Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jama'ah adalah Sawadul A'dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas'ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika 'Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama'ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan".
• Mejauhi Semua Firqah Bila Tidak Menemukan Jama’ah Muslimin Yang Meng’amalkan Syari’at Bai’atul Imarah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jama'ah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami' (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasisme. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemadzhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahannam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah dirubah ...!
Dengan catatan : Bila keadaannya sendirian, tiada yang bergeming di seru untuk dapat meng’amalkan Al Jama’ah Al Imamah, Tidak ada Yang Berbai’at, tidak menginginkan dirinya jadi Imaam atau Ma’mum, Tidak membai’at dan tidak ada yang mau mengulurkan tangannya untuk di bai’at, Bershabar dan tetap IKHLASH lillahi ta’ala dalam Firqah-Firqah yang ada, maka tinggalkanlah, jauhilah semua firqah yang ada tsb , sekalipun masuk hutan tinggal sendirian didalamnya, meng’amalkan Al Jama’ah sendirian, hanya makan/menggigit akar kayu, bahkan hingga menemukan Ajalnya. Dalam hadits tentang masa kepemimpinan muslimin berbunyi Tsumma Sakata (kemudian Rasul Diam=Tidak ada Kepemimpinan muslimin setelah Imam Mahdi).
• Jalan Penyelesaiannya :
Hadits riwayat 'Irbadh Ibnu Sariyah.
"Artinya : Barangsiapa yang masih hidup diantara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barangsiapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian". (Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)
Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits 'Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah Ash Shahihah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridlwanalahu Ta'ala 'alaihim manakala muncul Fitnah Ikhtilafan Katsira / Fitnah Akhir Zaman. Ya’ni Dengan cara :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk Iltizam dalam Jama’ah Muslimin dan Imaam Mereka, manakala terdapat penyeru-penyeru yang dapat menjerumuskan ke neraka Jahannam Dengan ciri-ciri yang mana shahabat Hudzaifah ibnul Yaman saja mengharapkan petunjuk dari Rasulullah, tindakan apa yang harus dia lakukan manakala terdapat hal yang demikian karena khawatir/takut menimpa dirinya. Karena Sunnahnya Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin salah satu bagiannya adalah : Sunnah Kekhilafahan ‘Ala Minhajin Nubuwwah.
Adapun manakala tidak ada Jama’ah Imamah, dan keadaannya sendirian, maka tinggalkanlah semua firqah yang ada hingga memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu.
Di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta'adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara dzahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih dahsyat.
Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh dajjal.