Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk mengamalkan Din-Nya, diin al-Islaam. Berpegangteguh pada buhul tali akidah dan syari’at-Nya. Diantaranya perintah Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 208)
Dan tak samar bahwa memahami ayat-ayat
al-Qur’an, harus didasari oleh ilmu. Diriwayatkan Imam Abu Dawud dan
Imam al-Tirmidzi dari Jundub bin ‘Abdullah yang berkata: Rasulullah SAW
bersabda:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan pendapatnya, meski pendapatnya benar ia tetap salah.” (HR. al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (juz. 5/ hlm. 200), lihat pula Musnad Abu Ya’la (III/90) dan al-Mu’jam al-Kabiir (II/163)).
Dan Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu maka bersiap-siaplah mengambil tempatnya di neraka.” (HR. at-Tirmidzi (V/199, 200), dan ia berkata: hadits ini hasan shahih)[1]
Maka dari itu memahami firman Allah yang
agung dalam surat al-Baqarah ayat 208 pun wajib dipahami berdasarkan
ilmu. Bagaimana kita memahami ayat ini? Para ulama menjelaskan sebagai
berikut:
Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 208)
Latar Belakang Turunnya Ayat Ini
Ayat yang agung ini turun berkaitan
dengan ‘Abdullah bin Salam dan sahabat-sahabatnya yang baru masuk Islam
dari agama sebelumnya, Yahudi. Mereka sudah masuk Islam namun masih
mengagungkan dan melaksanakan sebagian syari’at Taurat, maka turunlah
ayat ini. Lebih rincinya, para ulama menjelaskan sebagai berikut:
Imam al-Alusi menjelaskan:
أخرج غير واحد عن ابن عباس رضي الله تعالى
عنهما أنها نزلت في عبد الله بن سلام وأصحابه ، وذلك أنهم حين آمنوا بالنبي
صلى الله عليه وسلم وآمنوا بشرائعه وشرائع موسى عليه السلام فعظموا السبت
وكرهوا لحمان الإبل وألبانها بعد ما أسلموا ، فأنكر ذلك عليهم المسلمون ،
فقالوا : إنا نقوى على هذا وهذا ، وقالوا للنبي صلى الله عليه وسلم : إن
التوراة كتاب الله تعالى فدعنا فلنعمل بها ، فأنزل الله تعالى هذه الآية.
“Dikeluarkan lebih dari satu riwayat
dari Ibn ‘Abbas r.a. bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah bin
Salam dan para sahabatnya, hal itu karena mereka ketika sudah beriman
kepada Nabi SAW dan syari’atnya mereka pun masih beriman pada
syari’at-syari’at Musa a.s., maka mereka mengagungkan hari Sabtu,
membenci memakan daging unta dan meminum susunya setelah mereka masuk
Islam, maka kaum muslimin mengingkari perbuatan mereka itu, mereka
berkata: “Sesungguhnya kami masih memelihara amalan ini dan ini,” lalu
mereka pun mengadu kepada Nabi SAW: “Sesungguhnya kitab Taurat adalah
Kitabullah, maka izinkan kami untuk mengamalkannya” maka turunlah ayat
ini.”[2]
Penjelasan hampir serupa dituturkan oleh Imam al-Baghawi yang menjelaskan:
نزلت هذه الآية في مؤمني أهل الكتاب عبد
الله بن سلام النضيري وأصحابه، وذلك أنهم كانوا يعظمون السبت ويكرهون لحمان
الإبل وألبانها بعد ما أسلموا وقالوا: يا رسول الله إن التوراة كتاب الله
فدعنا فلنقم بها في صلاتنا بالليل
“Ayat ini turun berkenaan dengan
orang-orang beriman (sebelumnya) dari kalangan ahli kitab (Yahudi) yakni
‘Abdullah bin Salam An-Nadhiriy (Yahudi Bani Nadhiir) dan
sahabat-sahabatnya, hal itu karena mereka saat itu masih mengagungkan
hari Sabtu dan membenci memakan daging unta dan susunya setelah mereka
masuk Islam, mereka berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Taurat
adalah Kitabullah maka izinkan kami membacanya dalam shalat kami ketika
malam.”[3]
Penafsiran Para Ulama (Al-‘Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil & Ulama Lainnya)
Dalam menafsirkan ayat yang agung ini para ulama menjelaskan:
Pertama, frase ayat (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) ”wahai orang-orang yang beriman”
merupakan seruan kepada orang-orang yang meninggalkan kekufuran dan
memeluk Islam. Sebagaimana dijelaskan al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin
Khalil Abu ar-Rasythah dalam kitab tafsirnya.[4]
Kedua, frase ayat (ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً) “masuklah kalian ke dalam Islam seluruhnya” yakni masuklah ke dalam Islam seluruhnya (totalitas). Hal ini dipahami dari penjelasan sebagai berikut:
Makna Kata As-Silm dalam Ayat Ini
Apa makna kata as-silm (السِّلْمِ) dalam ayat ini? al-Hafizh al-Qurthubi menukil pendapat Ibn ‘Abbas dan Mujahid bahwa kata as-silm dalam ayat ini bermakna Al-Islam, begitu pula Adh-Dhahhak, Ikrimah, Qatadah, Ibn Qutaybah, as-Saddiy dan az-Zujaaj[5]. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh al-Hafizh ath-Thabari, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh al-Qurthubi.[6] Dan diadopsi pula oleh Imam Syihabuddin al-Alusi.
Al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil pun menuturkan:
فـ (السِّلْمِ) هنا الإسلام كما فسره ابن
عباس -رضي الله عنه- والمقصود من الإسلام كله أي الإيمان به كله دون
استثناء والعمل بشرعه دون غيره
“Maka kata as-silm dalam ayat ini adalah al-Islam, sebagaimana
ditafsirkan oleh Ibn ‘Abbas r.a. dan maksudnya adalah keseluruhan
ajaran Al-Islam yakni beriman terhadapnya tanpa pengecualiaan dan
mengamalkan seluruh syari’atnya tanpa yang lainnya.”[7]
Yakni berakidah dengan akidah islamiyyah
secara sempurna tanpa terkecuali dan mengamalkan syari’at islam tanpa
syari’at lainnya. Maka ayat ini jelas menolak konsep sekularisme yang
memisahkan atau mengenyampingkan peran agama dalam mengatur kehidupan,
sebagaimana didefinisikan al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani ketika
beliau mengkritik pemahaman sesat ini, sekularisme (al-‘ilmaaniyyah) yakni:
فصل الدين عن الحياة
“Pemisahan agama dari kehidupan”[8]
Imam al-Alusi menuturkan:
والمراد من السلم جميع الشرائع بذكر الخاص وإرادة العام بناءاً على القول بأن الإسلام شريعة نبينا صلى الله عليه وسلم
“Dan maksud dari kata as-silm
mencakup seluruh syari’at Islam dengan penyebutan yang khusus namun
maksudnya umum berdasarkan pendapat bahwa al-Islam adalah syari’at Nabi
kita Muhammad SAW.”
Dalam syair al-Kindi dituturkan:
دَعَوْتُ عَشِيرَتِي للِسِّلم لَمّا … رَأيْتُهمُ تَوَلَّوا مُدْبِرين
Makna lis-silm dalam syair di
atas yakni “kepada al-Islam”, ini dijelaskan al-Hafizh ath-Thabari dan
Imam asy-Syawkani. Jadi sudah jelas bahwa kata as-silm dalam ayat ini bermakna Islam.
Perincian Tafsir Syaikh ’Atha bin Khalil: Makna As-Silm dalam Ayat Ini Bukan Perdamaian dengan Musuh
Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil lebih jelasnya menuturkan: “Tidak sah menafsirkan kata as-silm pada ayat yang mulia ini dengan makna perdamaian dengan musuh, hal itu karena kata as-silm
(secara bahasa) disebutkan bermakna islam dan perdamaian, yang berarti
bahwa kata ini (secara bahasa-pen.) memiliki lebih dari satu makna, maka
ia termasuk lafzh musytarak (satu kata banyak makna) yakni termasuk mutasyabih
(samar), dan memilih salah satu dari dua makna inilah yang dikehendaki,
dipahami berdasarkan indikasi-indikasi yang berkaitan dengan maknanya
dalam ayat-ayat yang muhkamah (jelas). Maka apabila kata as-silm dalam ayat ini dimaknai perdamaian, maka makna frase ayat ini yakni “masuklah kamu ke dalam perdamaian dengan musuh dalam segala bentuknya” dan di sisi lain perintah dalam ayat ini bermakna wajib berdasarkan indikasi “dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan” konsekuansi pemahaman ini, perdamaian yang sempurna dengan musuh hukumnya fardhu bagi orang-orang beriman, padahalpemahaman
ini jelas bertentangan dengan kejelasan ayat-ayat tentang peperangan
(jihad) yang mewajibkan orang-orang beriman untuk memerangi kaum kafir
hingga din itu seluruhnya hanya untuk Allah dan hal tersebut terwujud
dengan masuk ke dalam Islam, atau membayar jizyah dan tunduk pada hukum-hukum Islam.”[9]
Apa dalilnya? Syaikh ’Atha bin Khalil mendasarkannya pada dalil-dalil ayat: QS. Al-Anfaal: 39 dan QS. At-Tawbah: 29. Dan hadits:
الجهاد ماض إلى يوم القيامة
“Jihad itu akan senantiasa ada hingga hari kiamat kelak” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud dan Al-Bayhaqi)
Lalu asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil
merincinya: “Dan semuanya mengandung faidah pada abadinya peperangan
(jihad) dengan kaum kafir demi meninggikan kalimat Allah dan menundukkan
kaum kafir terhadap hukum-hukum Islam, dan hal ini menjelaskan bahwa
kata as-silm dalam ayat yang mulia ini bermakna Al-Islam dan bukan
perdamaian dengan musuh karena pertentangan makna yang terakhir
disebutkan ini (perdamaian) dengan kejelasan ayat-ayat peperangan
terhadap musuh, dan ayat yang muhkam merupakan hakim (pemutus) atas ayat
yang mutasyabih, maka maknanya telah ditentukan dalam ayat ini yakni
al-Islam yakni masuk ke dalam Islam seluruhnya.”
Lebih lanjut Syaikh ‘Atha bin Khalil pun menuturkan bahwa kata as-silm yang ada dalam ayat Al-Qur’an dengan makna perdamaian,
disebutkan dalam dua ayat: pertama, dalam surat al-Anfal dan yang
lainnya dalam surat Muhammad, dan dengan mengkaji keduanya menjadi jelas
kedudukannya ketika kata as-silm bermakna perdamaian.
Pertama, Ayat dalam surat Al-Anfaal [8]: 61:
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Kedua, Ayat lainnya yakni pada QS. Muhammad [47]: 35:
فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
Makna Kata Kaaffah dalam Ayat Ini
Lalu apa makna kaaffah (كافّة)
dalam ayat yang mulia ini? Diantaranya Ibn ‘Abbas, Qatadah, Adh-Dhahhak
dan Mujahid sebagaimana penuturan Al-Hafizh Abu Ja’far Ath-Thabari
bermakna jamii’an (جميعًا) yakni keseluruhan. Maka sangat mengena apa yang dituturkan oleh Imam Mujahid –rahimahullaah- yakni:
ادخلوا في الإسلام جميعًا
“Masuklah kalian ke dalam Islam seluruhnya.”[10]
Lebih lengkapnya, Al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan:
كافةً) حال من (السلم) أي السلم كله بمعنى
الإسلام كله. وأصل (كافّة) من اسم الفاعل (كافّ) بمعنى مانع من كفَّ أي
منع. فقولك (هذا الشي كافّ) أي مانع لأجزائه من التفرّق، فكأنك قلت مجازًا
(هذا الشيء جميعه أو كله) بعلاقة السببية
“Kaaffah adalah keterangan dari lafazh as-silm yakni as-silm keseluruhannya yang artinya al-Islam keseluruhannya. Dan asal-usul kata kaaffah dari ism al-faa’il (kaaffun) artinya yang menghalangi, dari kata kerja kaffa yakni mana’a (mencegah). Maka perkataan anda: “Hal ini kaaffun”
yakni yang mencegah untuk dibagi-bagi ke dalam pecahan, maka
seakan-akan anda mengatakan secara kiasan (hal ini semuanya atau
seluruhnya) dengan hubungan sababiyyah.”[11]
Al-Hafizh al-Qurthubi menjelaskan:
و ( كَافَّةً ) معناه جميعاً ، فهو نصب على
الحال من السِّلم أو من ضمير المؤمنين؛ وهو مشتق من قولهم : كففت أي منعت ،
أي لا يمتنع منكم أحد من الدخول في الإسلام
“Dan kata kaaffah artinya adalah keseluruhan, ia dibaca nashab sebagai kata keterangan dari kata as-silmi atau dari kata ganti kata al-mu’miniin;
yakni turunan dari perkataan mereka: كففت yakni terhalang, yakni tidak
boleh ada seorangpun di antara kalian yang terhalang dari upaya memasuki
Al-Islam.”[12]
Imam al-Alusi mengatakan:
وكافة في الأصل صفة من كف بمعنى منع ،
استعمل بمعنى الجملة بعلاقة أنها مانعة للأجزاء عن التفرق والتاء فيه
للتأنيث أو النقل من الوصفية إلى الإسمية كعامة وخاصة وقاطبة ، أو للمبالغة
“Dan kata kaaffah pada asalnya adalah sifat dari kata kerja kaffa
yang artinya menghalangi, penggunaan dengan makna kalimat ini dengan
keterkaitan bahwa ia adalah yang menghalangi untuk dibagi-bagi dalam
pembagian, dan tambahan huruf taa’ di dalamnya untuk ta’niits (mu’annats) atau mengubahnya dari kata sifat menjadi kata benda seperti kata ‘aamat[un], khaashat[un] dan qaathibat[un], atau sebagai superlatif (penguatan).”[13]
Makna Frase Ayat “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”
Menafsirkan frase ayat “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”,
para ulama menjelaskan bahwa frase ayat ini mengandung larangan tegas
dan informasi pasti tentang musuh yang nyata bagi kaum muslimin yakni
syaithan. Dan al-‘Alim asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil menjelaskan bahwa
frase ayat “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan” merupakan indikasi (qariinah) wajibnya perintah Allah dalam ayat yang agung ini untuk berislam secara totalitas. Beliau menyatakan:
والأمر للوجوب بقرينة (وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
“Dan perintah dalam ayat ini merupakan kewajiban berdasarkan indikasi (“dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”)”
Al-Hafizh Abu Ja’far Ath-Thabari menegaskan:
اعملوا أيها المؤمنون بشرائع الإسلام كلها،
وادخلوا في التصديق به قولا وعملا ودعوا طرائق الشيطان وآثاره أن تتبعوها
فإنه لكم عدو مبين لكم عداوته. وطريقُ الشيطان الذي نهاهم أن يتبعوه هو ما
خالف حكم الإسلام وشرائعه، ومنه تسبيت السبت وسائر سنن أهل الملل التي
تخالف ملة الإسلام
“Laksanakanlah aturan-aturan syari’at
Islam seluruhnya, dan masuklah ke dalam pembenaran atasnya baik
perkataan maupun perbuatan dan tinggalkanlah jalan-jalan syaithan dan
pengaruhnya untuk mengikuti jalan-jalannya karena sesungguhnya ia adalah
musuh yang nyata bagi kalian dengan permusuhannya. Dan jalan syaithan
yang dilarang Allah untuk mereka ikuti adalah yang menyelisihi hukum
Islam dan aturan-aturannya, di antaranya mengagungkan hari Sabtu dan
seluruh ajaran-ajaran pengikut agama lain yang bertentangan dengan
ajaran Islam.”
Al-Hafizh al-Qurthubi memaparkan bahwa frase ayat “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan” merupakan larangan, ini sudah sangat jelas. Beliau pun menguraikan:
وقال مقاتل : استأذن عبد الله بن سَلاَم
وأصحابه بأن يقرءوا التوراة في الصلاة ، وأن يعملوا ببعض ما في التوراة؛
فنزلت { وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشيطان } فإن اتباع السُّنّة أولى
بعد ما بُعث محمد صلى الله عليه وسلم من خطوات الشيطان . وقيل : لا تسلكوا
الطريق الذي يدعوكم إليه الشيطان؛ { إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ }
ظاهر العداوة؛ وقد تقدّم
“Muqatil berkata: ‘Abdullah bin Salam
dan sahabat-sahabatnya meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk membaca
sebagian isi Taurat dalam shalat dan mengamalkan sebagian syari’at
Taurat; maka turunlah ayat ini: “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”
karena mengikuti jalan Sunnah jelas selamat setelah diutusnya Muhammad
SAW daripada mengikuti langkah-langkah syaithan (yang pasti celaka).
Dikatakan pula yakni: janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan
syaithan pada kalian.[14] (Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian) yang menampakkan permusuhan; telah dijelaskan pula sebelumnya.”[15]
Lihat:
Islam Mengecam Segala Bentuk Perbuatan Mengikuti Iblis dan Syaithan
[2] Lihat: Ruuh Al-Ma’aaniy fii Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Azhiim
[3] Lihat: Ma’aalim At-Tanziil
[4] Lihat: At-Taysiir fii Ushuul At-Tafsiir, Al-‘Alim Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah.
[5] Lihat: Zaad Al-Muyassar, Imam Ibn Al-Jawziy.
[6] Lihat: Al-Jaami’ li Ahkaam Al-Qur’aan.
[7] Lihat: Al-Taysîr fî Ushûl Al-Tafsîr (Sûrah Al-Baqarah), Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah, Beirut: Dar al-Ummah. Cet. II: 1427 H/ 2006.
[8] Lihat: Nizhaam Al-Islaam, al-‘Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
[10] Lihat: Jaami’ al-Bayaan fii Ta’wiil Al-Qur’aan, Al-Hafizh Abu Ja’far Ath-Thabari.
[11] Lihat: At-Taysiir fii Ushuul At-Tafsiir, Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah. Lebih lanjut beliau menjelaskan:
ثم ألحقت (التاء) باسم الفاعل لنقله من الفاعلية من (كفّ) إلى اسم (كافّة) بمعنى الكل والجميع
[12] Lihat: Al-Jaami’ li Ahkaam Al-Qur’aan, al-Hafizh al-Qurthubi. Lihat pula penjelasan dalam tafsir Fat-h al-Qadiir karya Imam asy-Syawkani. Lalu beliau pun menjelaskan lebih jauh:
والكفّ المنع؛ ومنه كُفَّة القميص بالضم
لأنها تمنع الثوب من الانتشار؛ ومنه كِفَّة الميزان بالكسر التي تجمع
الموزون وتمنعه أن ينتشر؛ ومنه كفُّ الإنسان الذي يجمع منافعه ومضارّه؛ وكل
مستدير كفّة ، وكل مستطيل كُفّة
[13] Lihat: Ruuh Al-Ma’aaniy
[14] Pernyataan serupa dituturkan Imam asy-Syawkani dalam kitab tafsir-nya, Fat-h al-Qadiir.
[15] Lihat: Al-Jaami’ li Ahkaam al-Qur’aan, al-Hafizh al-Qurthubi.