بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْجَمَاعَةُ
AL JAMA'AH
I. TA'RIF JAMA'AH
1. Secara Bahasa
الْجَمَـاعَةُ
هِىَ الاِجْتِمَـاعُ وَ ضِدُّهـَا التَّفرُّقُ
Secara bahasa kata Al
Jamaah terambil dari kata Al Ijtima' (perkumpulan) lawan kata dari At
Tafarruq (perpecahan) [1][1]
الْجَمَـاعَةُ هِىَ الاِجْتِمَـاع وَ
ضِدُّهـَا الفِرْقَـةُ
Secara bahasa kata Al Jamaah terambil dari kata Al Ijtima' (perkumpulan), dan lawan
kata dari Al Firqoh (Golongan) [2][2]
2. Secara
Istilah
وَ
الْجَمَـاعَةُ طَائِفَةٌ مِنَ النَّـاسِ يَجْمَعُهَـا عَرْضٌ وَاحِدٌ
Al Jamaah bermakna : Sekelompok Manusia yang berkumpul
dalam satu tujuan [3][3]
3. Secar
Syara'
Ma'na syar'an Al Jama'ah adalah sebagaimana yang diberikan
oleh Ahlul ‘Ilmiy, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam memberikan
definisi-nya. Sedang maksud definisi yang mereka berikan adalah definisi untuk
makna Al-Jama'ah dalam arti Jama'atul-Muslimin, bukan yang lain.
Paling tidak ada 5 makna menurut mereka, yaitu :
1. Jama'ah adalah sawadul a'dhom (jumlah yang terbesar / mayoritas) dari kaum muslimin yang terdiri
dari para mujtahid ummat,
ulama'-ulama-nya, para ahli syari'ah dan ummat yang mengikuti mereka.
Selain mereka yang disebutkan di atas (yang keluar dari jamaah) adalah Ahlul
Bid'ah.
2. Jama'ah
adalah jama'ah-nya para aimmah mujtahidin dari ahli fiqh, ahli hadits
dan ahli ilmu. Dan barangsiapa yang keluar dari mereka maka ia mati seperti dalam keadaan
Jahiliyyah. Karena ulama' adalah hujjah Allah atas seluruh ummat manusia.
3. Jama'ah adalah para shahabat radliyallaahu 'anhum
saja. Yang maksud dari luzumul-Jama'ah disini adalah meng-iltizami
dan mengikuti petunjuk apa saja yang ada pada mereka. Karena merekalah penegak pilar-pilar Ad-Dien dan mereka mustahil
bersepakat dalam kesesatan.
4. Jama'ah adalah jama'ah orang-orang Islam
apabila mereka berkumpul (sepakat) dalam satu masalah, yang wajib bagi yang
lain mengikuti mereka.
Dari empat pendapat pertama ini dapat disimpulkan
yaitu bahwa makna luzumul Jama'ah adalah : Mengikuti Ahlul Ilmy dalam
Al haq dan Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam. Makna inilah yang dimaksud
dengan jama'ah ahlil Ilmi dan ulama' mujtahidin dari kalangan Ahlus-Sunnah.
Merekalah Al Firqoh An Najiyah yang semua orang wajib mengikuti mereka
dalam 'aqidah dan manhaj-manhajnya.[4][4]
5. Jama'ah adalah Jama'atul Muslimin apabila
mereka berkumpul (sepakat) pada satu imam. Maka Rosululah shalallahu
'alaihi wa salam memerintahkan untuk mengiltizami-nya dan melarang dari
memecah belah ummat terhadap apa yang mereka sepakati.[5][5]
II. MASYRU'IYYAH AL JAMAAH
Allah 'Azza wa Jalla dan
Rosul-Nya dalam kitab-Nya dan sunnah rosul-Nya telah menyuruh ummat manusia
agar hidup ber-jamaah, berkumpul, saling membantu, saling meringankan dan
melarang dari berpecah belah, bercerai berai, juga saling menjatuhkan satu sama
lainnya.
Banyak Nash-nash Al Quranul
Karim dan Hadits Rosulullah shalallahu 'alaihi wa salam yang
mengisyaratkan akan hal itu, diantaranya :
1. Firman Allah Azza wa Jalla :
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ
فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ { ال عمران 103}
Ibnu Katsir dalam tafsir Al Quran Al ‘Adhim-nya menyebutkan
tentang maksud ayat di atas yaitu perintah untuk berpegang teguh dengan Al
Quran, berjamaah serta menggalang persatuan dan bersatu, serta larangan untuk
bercerai berai, Beliau menambahkan lagi dengan menyitir hadits dari Abi
Huroiroh, bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda,
إِنَّ
اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَ يَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثاً : يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ
وَ لاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَ أَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا
وَ لاَ تَفَرَّقُوْا وَ أَنْ تَنَـاصَحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ , وَ
يَسْخَطُ لَكُمْ ثَلاَثًا : قِيْل وَقَالَ , وَكَثْرَةَ السُّوأَلِ وَ إِضَاعَةَ
الْمَـالِ {رواه مسلم }
Sesungguhnya Allah ridho
kepada kalian akan 3 hal dan marah akan 3 hal juga. Ia ridho kepada kalian akan
hal ; bahwa kalian beribadah kepada-Nya saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan
sesuatu, agar kalian berpegang teguh dengan tali Allah dan jang bercerai berai,
dan agar kalian saling menasehati orang yang oleh Allah ditaqdirkan memegang
urusanmu. Dan Ia marah kepada kalian akan hal ; Banyak bicara tanpa tahu sumber
dari yang dibicarakan, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta. (HR Muslim) [6][6]
2. Firman
Allah Ta’ala :
وَلاَ
تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَاجَآءَهُمُ
الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلاَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ { ال عمران 105}
Ibnu Katsir berkata, "Allah Ta'ala melarang ummat ini
seperti umat yang terdahulu yang berpecah belah, berselisih, meninggalkan amar
ma;ruf nahi mungkar, serta tidak berani berhujjah terhadap kaum mereka." Lalu beliau menyitir hadits iftiroq
yang di dalamnya hanya ada satu golongan yang masuk jannah, yaitu Al-jamaah [7][7]
3. Sabda
Rasululloh shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
إِنَّ
اَهْلَ الْكتِاَبَىْ افْتَرَقُوْا فِى دِيْنِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ
مِلَّةً , وَ إِنَّ هَذِهِ الْاُمَّةِ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٌ وَ سَبْعِيْنَ
مِلَّةً (يَعْنِى الاَهْوَاء) كُلُّهَا فِى النَّارِ اِلاَّ وَاحِدَةً وَ هِىَ
الْجَمَاعَةُ { احمد و ابو داود و الحاكم عن معاوية }
Sesungguhnya dua Ahlul
Kitab berpecah belah dalam dien mereka menjadi 72 golongan, dan sungguh
ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan -yaitu ahlul ahwa'- kesemuanya akan masuk neraka kecuali satu
golongan, yaitu Al Jama'ah. (Abu Dawud, Ahmad, Hakim dll hadits dari
Mu'awiyah dan Anas radliyallaahu 'anhu)[8][8]
4. Sabda
Rasululloh shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
وَ إِنَّ
بَنِى إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً ,
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِىْ عَلَى ثَلاَثٌ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى
النَّارِ اِلاَّ وَاحِدَةٌ . قَالُوْا : وَ مَنْ هِىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : مَا اَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِى {
الترمذى و الحاكم و غيرهما عن عبد الله بن عمروا بن العاص }
“Dan sesungguhnya Bani Isroil
terpecah menjadi 72 golongan, dan ummat-ku akan terpecah menjadi 73 golongan
yang seluruhnya akan masuk neraka kecuali satu golongan saja". Para
shahabat bertanya, "Siapakah mereka itu ya Rosulullah ?", Rasulullah bersabda,"Yaitu
yang aku dan para shahabatku ada pada mereka ". (HR Tirmidziy, Hakim dari
Abdullah bin Amru bin Al 'Ash)
5. Sabda Rasulullah shallallaahu
'alayhi wa sallam :
تَلْزِمُ
جَمَـاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ إِمَـامَهُـْم { البخـارى و مسلم }
Ber-iltizam-lah pada Jama'atul
Muslimin dan Imam mereka (Al-Bukhoriy dan
Muslim)
6. Sabda
Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam:
عَلَيْكُمْ
بِالْجَماَعَةِ وَ إِيَّاكُمْ وَ الْفُرْقَةَ فَاِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ
الْوَاحِدِ وَ هُوَ مِنَ الْاِثْنَيْنِ اَبْعَدُ , مَنْ اَرَادَ بُحْبُحَةَ
الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمِ الْجَمَاعَةَ { رواه الترميذى و الحاكم و احمد ووافقه
الذهبى و ابن ابى عاصم }
"Aku perintahkan kepada kalian agar berjama'ah
dan jauhilah berfirqoh, maka sesungguhnya syaithon itu bersama seorang yang
sendirian dan ia dari dua orang lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan
tengah-tengahnya (mewahnya) jannah, maka hendaklah ia ber-iltizam kepada
Jama'ah " (Tirmidzi, Hakim, Ahmad dan disepakati Adz Dzahabiy dan Ibnu Abi
'Ashim)
7. Sabda Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa
sallam :
اَمَرَكُمْ
بِخَمْسٍ مَا اَمَرَنِىَ اللهُ بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَ السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ
وَ الْهِجْرَةِ وَ الْجِهَادِ فِى سَبِيْلِ اللهِ فَاِنَّهُ مَنْ خَرَجَ عَنِ
الْجَمَاعَةِ قَيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الاِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ
اِلاَّ اَنْ يَرْجِعَ { احمد والبيهقي 4/320و 202, 5/344, رجاله الصحيح خلا واحد و
هو الثقة }
Aku perintahkan kepada kalian
5 (lima) perkara, yang mana Allah perintahkan hal itu kepadaku, (yaitu agar
kalian) berjama'ah, mendengar, tha’at, hijroh dan berjihad di jalan Allah.
Karena sesungguhnya barang siapa yang keluar dari jama'ah (Jama’atul-muslimin)
sejengkal saja, maka ia telah melepas ikatan Islam dari lehernya, kecuali jika
ia kembali.[9][9] (Ahmad dan Baihaqi, 4/230,202,5/344,
Rijal-nya shohih kecuali satu, tsiqoh.)
III. HAKEKAT AL JAMA'AH
Kalimat Al-Jama'ah
tidak satupun yang terdapat dalam Al-Qur'an Al Karim, namun banyak sekali
terdapat dalam As Sunnah. Dan setiap lafadh jama'ah dalam sunnah pasti
diikuti dengan larangan berpecah-belah
baik secara tersirat maupun tersurat.
Namun seluruh kata Al Jama'ah dan Al Bai'ah
yang terdapat dalam hadits-hadits Rosulullah shalallahu 'alaihi wa salam
adalah bermakna dan mengacu kepada Jama'tul Muslimin, dan tidak satupun
yang mengacu serta menjadi dalil untuk Jama'atul Minal Muslimin
yang ada sekarang ini.
Hakekat Al Jama'ah terdiri
dari dua makna yang berdiri sendiri-sendiri namun saling berkaitan dan
sama-sama memiliki kedudukan yang esensial. Yang jika keduanya terkumpul jadi
satu maka lengkap dan sempurnalah makna jama'ah dan ia baru bisa disebut
sebagai Jama'atul Muslimin.
1.1.
MAKNA YANG PERTAMA
Makna yang
pertama dari makna Jama'ah adalah : Berkumpul (bersepakat) dalam pokok-pokok
yang prinsip dalam Al Quran, As Sunnah
dan Ijma', serta mengikuti apa saja yang terdapat pada para Salafush Sholeh,
dari menetapi Al Haq, mengikuti As Sunnah serta menjauhi bid'ah dan hal-hal
yang baru, yang di ada-adakan. Dan lawan dari Jama'ah dalam makna ini adalah memecah-belah
Ad Dien, dan orang yang menyelisihinya adalah golongan sesat dan Ahlul Ahwa'.
Diantara
nash-nash dalam makna ini adalah, sabda Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa
sallam.[10][10]
إِنَّ اَهْلَ الْكتِاَبَىْ افْتَرَقُوْا فِى دِيْنِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ
وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً , وَ إِنَّ هَذِهِ الْاُمَّةِ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٌ
وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً (يَعْنِى الاَهْوَاء) كُلُّهَا فِى النَّارِ اِلاَّ
وَاحِدَةً وَ هِىَ الْجَمَاعَةُ { احمد و ابو داود و الحاكم عن معاوية }
Sesungguhnya dua Ahlul Kitab berpecah belah dalam dien mereka
menjadi 72 golongan, dan sungguh ummat ini akan berpecah belah menjadi 73
golongan -yaitu ahlul ahwa'- kesemuanya akan masuk neraka kecuali satu
golongan, yaitu Al Jama'ah. (Abu Dawud, Ahmad, Hakim dll hadits dari
Mu'awiyah dan Anas radliyallaahu 'anhu)[11][11]
لاَ يَحِلُّ دَمَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله
وَ اَنِّى رَسُوْلُ اللهِ اِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ , النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَ الثَّيِّبُ الزَّنِى وَ التَّارِكُ
لِدِيْنِهِ وَ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidak halal
darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan aku
adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu tiga perkara : (yaitu) seorang yang
membunuh lalu dibunuh (qishosh), orang yang telah menikah lalu melakukan zina
(dirajam) dan orang yang keluar dari diennyua
yang meninggalkan Jamaah (murtad)
الصَّلاَة ُالْمَكْتُوْبَةُ اِلَى الصَّلاَةِ الَّتِى بَعْدَهُا
كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا . قَالَ : وَ الْجُمْعَةُ اِلَى الْجُمْعَةِ وَ
الشَّهْرُ اِلَى الشَّهْرِ _ يَعْنِى الرَّمَضَان _ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا
. قَالَ بَعْدَ ذاَلِكَ : اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ .
قَاَل : فَعَرَفْتُ اَنَّ ذَالِكَ الْاَمْرَ حَدَثٌ . الإِشْرَاكُ بِاللهِ
وَ نَكْثُ الصَّفَقَةِ وَ تَرْكُ السُّنَّةِ . قَالَ : اَمَّا نَكْثُ الصَّفَقَةِ
اَنْ تَبَايَعَ رَجُلاٍ ثُمَّ تُخَالَفُ اِلَيْهِ تُقَاتِلُهُ بِسَيْفِكَ وَ
اَمَّا تَرْكُ السُّنَّةِ فَالْخُرُوْجُ عَنِ الْجَمَاعَةِ {رواه احمد }
Sholat
wajib yang satu hingga sholat wajib yang lainnya adalah (dapat) menutupi dosa-dosa (pelakunya) antara
keduanya, demikian pula dari bulan ke bulan
-yaitu Ramadhan- menutupi
dosa-dosa antara keduanya." Setelah
itu beliau bersabda, (berkata Abu Huroyroh, "Aku tahu bahwa urusan itu
pasti akan terjadi") kecuali tiga hal (yaitu) syirik kepada Allah,
Nakshush Shafaqoh dan meninggalkan sunnah, adapun Nakshus Shafaqoh adalah kamu
baiat seseorang kemudian kamu menyelisihi ia, kamu perangi dia dengan pedang
(senjatamu) sedang meninggalkan sunnah adalah keluar dari jamaah".[12][12]
Hal ini
juga dikuatkan oleh perkataan para Ahlul-'Ilmiy, diantaranya :
الْجَمَاعَةُ مَا وَفَقَ الْحَقَّ وَ لَوْ كُنْتَ وَحْدَكَ وَ ِفى
طَرِيْقٍ اَخَرٍ : الْجَمَاعَةُ مَا وَ فَقَ طَاعَةَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
Berkata Ibnu
Mas'ud , "Jama'ah adalah yang sesuai dengan Al Haq walaupun keadaan kamu
sendirian". dalam riwayat lain, "Sesungguhnya Jama'ah itu apa saja
yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla". [13][13]
قَالَ اَبُوْ شَامَة : حَيْثُ جَاءَ الْاَمْرُ بِلُزُوْمِ الْجَمَاعَةَ ,
فَالْمُرَادُ بِهِ لُزُوْمُ الْحَقِّ وَ اِتْبَاعُهُ , وَ اِنْ كَانَ
الْمُتَمَسِّكُ بِالْحَقِّ قَلِيْلاً , وَالْمُخَالِفُ لَهُ كَثِيْرًا لِأَنَّ
الْحَقَّ الَّذِىْ كَانَتْ عَلَيْهِ الْجَمَاعَةُ الاُوْلَى مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ اَصْحَابِهِ وَ لاَ يَنْظُرُ اِلَى كَثْرَةِ أَ هْلِ
الْبَاطِلِ بَعْدَهُمْ { الباعث لابى شامة }
Berkata Abu
Syamah, "Sebagaimana perintah untuk berjama'ah, maka yang dimaksud
dengannya adalah meng-iltizami Al-Haq dan mengikutinya, walaupun orang yang
berpegang teguh padanya sedikit dan yang menyelisihi banyak jumlahnya. Karena
Al-Haq adalah yang ada pada jama'ah yang pertama yaitu Nabi shallallaahu 'alayhi wa sallam dan
para shahabatnya, dan tidak diukur dari banyaknya ahlul bathil setelah
mereka" [14][14]
Dan hal
ini yang dikatakan pula oleh Abdullah bin Mubarok, ketika ditanya
tentang siapa jama'ah yang pantas dijadikan panutan, beliau menjawab, "Abu
Bakar dan Umar" dan ketika dikatakan mereka telah wafat, "Lalu
siapakah yang masih hidup ?" Beliau menjawab, "Abu Hamzah
As-Sakriy". Beliau menunjuk Abu Hamzah As Sakry di zamannya karena beliau
seorang Ahli Ilmu, zuhud dan waro'.
Berkata Ishaq
bin Rohuyyah :
اِنَّ الْجَمَاعَةَ عَالِمٌ مُتَمَسِّكُ بِاَثَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ طَرِيْقَتِهِ فَمَنْ كَانَ مَعَهُ وَ تَبِعَهُ فَهُوَ
الْجَمَاعَةُ
"Jama'ah
adalah orang yang mengetahui dan berpegang teguh pada sunnah Nabi dan manhaj-manhajnya, maka barang siapa yang
bersama Rasulullah shallallaahu
'alayhi wa sallam dan mengikutinya maka ia adalah Jama'ah ". [15][15]
Maka
jelaslah bahwa luzumul-Jama'ah dalam makna ini adalah masuk segi ‘ilmiy-nya,
yaitu meng-iltizami Al-Haq, mengikuti sunnah, mengikuti apa saja yang ada
pada Salafush Sholih, dari hal-hal yang dasar dan prinsip seperti
masalah aqidah (i'tiqod), syariah, halal, haram, wala', dan juga keharusan
menjauhi ahlul ahwa' dan ahlul bid'ah yang termasuk didalamnya firqoh sesat.
Lawan dari jama'ah dalam pengertian ini adalah berpecah belah dalam dien.
Dan orang yang menyelisihinya adalah bid'ah dan sesat walaupun ia beriltizam
pada Imam dan membaiatnya. [16][16]
Dan
kumpulan orang yang selalu berpegang teguh kepada Al-Haq ini akan tetap ada
sampai hari Qiyamat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa
sallam :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ قَا ئِمَةٌ بِأَمْرِاللهِ
لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْخَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْ تِيَ أَمْرُ اللهِ
وَهُمْ ظَاهِرُوْنَ عَلَى النَّاسِ {رواه
البخاري }
“Tetap akan
ada sekelompok orang dari ummat-ku yang berpegang (berdiri) di atas perintah
Allah (al-haq) yang mereka tidak mendapatkan madhorot dari orang-orang yang
menghinakan atau menyelisihi mereka hingga datang ketetapan (keputusan) Allah,
sedangkan mereka tetap menang (unggul) di atas manusia. (HR Al-Bukhoriy)
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ
لاَيَضُرُّهُمْ مَنِ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْ تِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَالِكَ
{رواه مسلم }
“Tetap akan
ada sekelompok orang dari ummat-ku yang tetap berada (konsisten) di atas
al-haq, mereka tidak mendapatkan madhorot dari orang-orang yang menghinakan
mereka hingga datang keputusan Allah sedang mereka tetap dalam keadaan
demikian. (HR Muslim)
1.2. KETENTUAN BAGI YANG KELUAR DARI JAMA'AH
BERDASARKAN RUANG LINGKUP INI
a. Barangsiapa
yang keluar berkaitan dengan nash-nash dasar dan men-takwil-kannya,
namun masih mengimani baik secara dhohir maupun bathin dan masih menetapinya
secara global , maka takwilan-nya yang keliru tersebut tidak
mengeluarkan dari millah, akan tetapi memasukkan ia kedalam golongan Ahlu
Bid'ah yang berbeda tingkatannya menurut kesalahan dan ketidak
hati-hatiannya. Kecuali jika ada di antara mereka ke-munafiq-an di dalam hatinya,
maka ia kafir pada hakekatnya.
Bagi mereka berlaku hadits yang pertama (yang
menyebutkan kelompok-kelompok), dan bagi mereka yang bukan munafiq namun masih
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam
hatinya, maka ia tidaklah kafir namun hanya salah dalam takwil.[17][17]
Sebagai contoh adalah golongan
Khowarij yang mereka betul-betul nyata ke-bid'ah-annya, memerangi
ummat Islam serta mengkafirkannya, namun tidak satupun para shohabat baik Ali radliyallaahu
'anhu maupun yang lain yang mengkafirkan mereka, namun mereka dihukumi
orang-orang muslim yang dholim dan mufsid.
b. Barangsiapa yang keluar dari jamaah dengan menolak nash-nash
tanpa mentakwilkannya atau
mentakwilkannya dengan tujuan mengingkari apa yang ia ketahui dari dien, atau
menghalalkan sesuatu yang kaum muslimin telah sepakat keharamannya dan
sebaliknya, seperti yang dilakukan oleh salah satu golongan Syi'ah yaitu Qoromithoh,
maka pernyataannya tersebut menyebabkan mereka murtad, setidak-tidaknya
nifaq akbar, itupun juga menyebabkan mereka murtad dan meninggalkan
Jama'atul Muslimin.
Bagi mereka berlaku hadits
yang kedua, “Meninggalkan diennya memecah belah Jama'ah". Maka tidak diragukan lagi setiap yang
meninggalkan diennya berarti ia meninggalkan Jama'ah, karena ia telah memecah
belah terhadap apa yang telah menjadi
kesepakatan dalam Islam. [18][18]
2.1. MAKNA YANG KEDUA
Dalam makna yang kedua ini, jama'ah
adalah berkumpulnya ummat di bawah seorang Imam dan mentaatinya.
Jama'ah dalam makna ini adalah lawan dari Al-Baghyu (pemberontakan)serta
pemecah belah Islam. Sedang pelakunya diancamakan bughot / ahlul baghyi dan
nakitsun (pelanggar / Janji) walau mereka dari Ahlus Sunnah.
Dalil / nash pada makna kedua
ini adalah :
1. Sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
فَاِنَّهُ مَنْ رَأَى مِنْ
أَمِيْرِهِ شَيْئاً يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبرْ عَلَيْهِ , فَإِنَّهُ لَيْسَ اَحَدٌ
يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوْتُ اِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً {
البخارى و مسلم عن ابن عباس }
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia
senangi pada diri amir-nya, maka hendaknya ia bersabar terhadapnya, karena
sesungguhnya tidak seorangpun yang meninggalkan jama'ah satu jengkal saja
kemudian dia mati, maka ia mati seperti mati dalam keadaan Jahiliyyah (Bukhori
Muslim dari Ibnu Abas radliyallaahu ‘anhuma) [19][19]
2. Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
مَنْ
خَرَجَ عَنِ الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ الْجَمَاعَةِ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً {رواه مسلم عن ابى هريرة }
Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah
belah / meninggalkan Jama'ah (Jama’atul-Muslimin) kemudian mati, maka ia
matinya seperti dalam keadaan Jahiliyyah ". (HR Muslim dari shahabat Abu
Huroyroh)
3. Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
فَاِنَّهُ
مَنْ رَأَى مِنْ اَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرَ عَلَيْهِ , فَإِنَّهُ
لَيْسَ اَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ
عَلَيْهِ اِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً {رواه البخارى و مسلم عن ابن
عباس }
Barang siapa yang melihat pada diri amir-nya sesuatu
yang tidak dia senangi maka hendaknya ia bersabar terhadapnya, karena
sesungguhnya tidak ada seorangpun yang keluar dari sulthon (penguasa / negara)
sejengkal saja kemudian ia mati dalam keadaan demikian, maka ia tidak mati
kecuali matinya seperti dalam keadaan Jahiliyyah ". (Bukhori Muslim dari Ibnu
Abbas)
4. Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
مَنْ
اَتَاكُمْ وَ اَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَىرَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ اَنْ يَشُقَّ
عَصَاكُمْ اَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ {رواه مسلم}
Siapa yang mendatangi kalian
sedang urusan kalian semua berada (kamu serahkan) pada seorang (imam), dan ia
mau memecah belah persatuan atau ia hendak mencerai-beraikan jama'ah kalian
maka bunuhlah ia ". (HR Muslim) [20][20]
5. Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam :
تَلْزِمُ
جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ إِمَاَمَهُمْ
Dari hadits panjang Hudzaifah
bin Al-Yaman bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Iltizami-lah
Jama'atul Muslimin dan Imam mereka ". (Bukhori I/1480)
عَنْ
عُبَادَ بْن الصَّامِت رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَايَعْنَا رَسُوْلَ الله عَلَى
السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَ مَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَ
يُسْرِنَا وَ اَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَ لاَ نُنَازِعَ الاَمْرِ اَهْلَهُ . قَالَ :
اِلاَّ أن تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ الله فِيْهِ بُرْهَانٌ
Dari Ubadah bin Shomit ia berkata, "Kami membaiat
Rasulullah shalllallaahu 'alayhi wa sallam atas dasar sam'u dan thoah, baik
dalam keadaan senang, susah, lapang maupun sempit, mengutamakan di atas urusan kami, serta tidak mencabut
ke-amir-an dari orang yang diserahinya, kecuali apabila kalian melihat
kekafiran yang nyata dan jelas yang kamu memiliki bukti nyata di sisi
Allah". (HR Abu Dawud)
Juga beberapa komentar Ahlul-'Ilmiy diantaranya
:
Imam Ahmad berkata, "(Wajib) mendengar dan taat terhadap
Amirul Mukminin yang baik (al-birr)
maupun yang menyeleweng (al-fajir). dan
peperangan harus tetap pada bersama para Imam baik maupun yang fajir tidak ditinggalkan sampai
hari kiamat " [21][21]
Beliau berkata lagi: "Barangsiapa yang keluar
dari Imam kaum muslimin sedangkan seluruh ummat manusia telah sepakat
mengangkatnya dalam kekholifahan, baik ridho maupun dengan jalan kudeta, maka
sungguh ia telah memecah belah kesatuan kaum muslimin dan menyelisihi As-Sunnah
dari Rosulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam. Apabila ia mati (dan tetap
demikian) maka ia mati seperti dalam keadaan Jahiliyyah, karena tidak halal
bagi siapa saja yang memerangi Imam dan keluar darinya, sedang barangsiapa yang
melakukan hal yang demikian maka ia adalah Ahlul Bid'ah dan meninggalkan sunnah
dan jalan (Islam) ". [22][22]
Al-Bukhory berkata dalam I'tiqod-nya,
“Dan tidak mencabut keamiran dari
orang yang diserahi nya", sebagaimana sabda Nabi :
ثَلاَثٌ
لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ : اِخْلاَصُ الْعَمَلِ للهِ وَ طَاعَةُ وُلاَةُ الاَمْرِ وَ لُزُوْمُ
جَمَاعَتِهِمْ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Ada 3 hal yang hati seorang muslim tidak akan
terbelenggu (gundah) dengannya : ikhlas beramal karena Allah, mentaati
pemimpin, dan ber-iltizam kepada Jama'atul Muslimin, karena sesungguhnya ajakan
mereka akan terlindungi di belakang mereka ".
Kemudian beliau kuatkan lagi
dengan firman-Nya : [23][23]
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ
مِنكُمْ { النساء :59}
Hai orang-orang yang beriman
ta'atilah Allah dan ta'atilah Rosul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu.
Sehingga dari nash-nash
tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian Jama'ah dalam pengertian ini adalah
masuk segi siyasah-nya yaitu kesepakatan untuk berkumpul pada satu Imam dan
menetapi ketaatan terhadapnya selama tidak menyuruh kemaksiyatan kepada Allah,
dan tidak keluar darinya kecuali jika terbukti melakukan kufran bawaahan. [24][24]
2.2. KETENTUAN BAGI YANG KELUAR DARI JAMA'AH BERDASARKAN MAKNA INI
1. Orang yang tidak mau berbai'ah pada Imam, namun mereka bukan
golongan Ahlul-Baghyi, Al-Muharribun, juga bukan golongan Murtadun,
namun mereka hanya tidak berbaiat kepada Imam Jama'atul- Muslimin saja. Hukum
bagi mereka terserah kebijaksanaan Imam.
2. Golongan Ahlul Baghyiy (pemberontak), yaitu golongan
yang keluar dari Jama'ah dengan jalan kudeta (meminta kekuasaan). Dalam hal ini
Al Quran telah memberikan jalan keluar dalam menghadapi fitnah mereka.
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا
عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ
فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ { الحجرات 9}
3. Golongan Al Muharribun (Orang-orang yang diperangi),
yaitu golongan yang keluar dari Jama'ah dengan jalan mengacau keamanan, seperti
Qoththo'ut-Thoriq (perampok) yang merampas harta, berbuat kerusakan di
muka bumi dll. Allah memberikan jalan keluar dalam menghadapi mereka dengan
firman-Nya,
إِنَّمَا جَزَاؤُا الَّذِينَ
يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي اْلأَرْضِ فَسَادًا أَن
يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْتُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ
خِلاَفٍ أَوْ يُنفَوْا مِنَ اْلأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيُُ فِي الدُّنْيَا
وَلَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ {المائدة 33}
4. Golongan Murtaddien, yaitu golongan orang-orang
yang keluar dari Jama'ah sedang mereka kafir terhadap Islam, melawan dienul
Islam dan bahu membahu bersama musuh Islam. Mereka itulah orang-orang murtad
yang telah jelas melepas ikatan Islam dari lehernya. Dan mereka persis seperti
orang-orang murtad dimasa kholifah Abu Bakar radliyallaahu 'anhu, memecah belah
dien dan jelas-jelas memerangi kaum Muslimin. Dan sama seperti orang-orang yang
membunuh sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang beliau kirim
bersama mereka untuk mengajarkan Al Quran dan Dienul Islam.
IV. UNSUR-UNSUR JAMAAH
A. Al-Mutho' (orang yang ditaati)
Sesungguhnya
Allah Ta'ala telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada-Nya,
Rasul-Nya dan Ulil Amri. Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ ف{ النساء :59}
Hai
orang-orang yang beriman ta'atilah Allah dan ta'atilah Rosul(Nya) dan Ulil Amri
diantara kamu.
Yang
dimaksud ulil Amri menurrut Ibnu Katsir : “Yaitu Ulama', secara pasti
wallahu a'lam namun ia bermakna umum pada setiap ulil Amri dari umaro' (para
pemimpin) dan Ulama". Sedang dalam hadits disebutkan :
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ اَطَاعَنِى
فَقَطْ اَطَاعَ الله وَ مَنْ عَصَانِى فَقَدْ عَصَى الله وَ مَنْ اَطَاعَ
الاَمِيْر فَقَدْ اَطَاعَنِى وَ مَنْ عَصَى الاَمِيْرِ فَقَدْ عَصَانِى { متفق
عليه }
"Barang
siapa yang mentaatiku maka ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang
durhaka kepadaku, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah. Dan barangsiapa
yang mentaati amirku maka ia telah mentaatiku, namun barangsiapa yang durhaka
pada amirku, sungguh ia telah durhaka kepadaku". (muttafaqun 'Alaih dari Abi Huroiroh)
Hadits
inilah yang dengan jelas memerintahkan untuk taat pada para ulama' dan umaro'.
Sehingga Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa memerintahkan untuk taat kepada-Nya dalam
artian mengikuti Al Qur'an, taat kepada Rosul-Nya yaitu mengikuti Sunnahnya dan
tetap taat kepada ulil amri selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Dalam hadits lain disebutkan,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قاَلَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَى الله
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : إِسْمَعُوْا وَ أَطِيْعُوْا وَ إِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ
عَبْدٌ حَبَشِىٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ { رواه البخارى }
Dengar dan
taatlah kalian semua walaupun yang memerintah (yang memimpin) kalian seorang
budak Habsyi (Ethiopia) yang kepalanya seakan-akan seperti anggur kering /
kismis (Bukhori, Ahmad dan Ibnu Majah) [25][25]
Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari mengatakan, "Ro'suhu Zabibah" adalah perumpamaan pada kerendahan (hinanya),
jelek bentuk (tubuh-wajah)-nya, dan ia (masuk orang-orang yang) tidak
diperhitungkan [26][26]
Dalam
hadits lain disebutkan ;
عَنْ عُبَادَ ةَ بْن الصَّامِت رَضِىَ الله عَنْهُ : بَايَعْنَا رَسُوْلَ
الله عَلَى السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَ مَكْرهِنَا وَ عُسْرِنَا
وَ يُسْرِنَا وَ اَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَ لاَ نُنَازِع الاَمْرِ اَهْلَهُ . قَالَ :
اِلاَّ أن تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ الله فِيْهِ بُرْهَان
Dari Ubadah
bin Shomit radliyallaahu 'anhu ia berkata, "Kami berbaiat kepada
Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam untuk mendengar dan taat, baik kami
dalam keadaan senang maupun susah,
lapang maupun sempit, mengutamakan diatas urusan kami, serta tidak mencabut
keamiran dari orang yang diserahi, kecuali apabila kalian melihat kufran
bawaahan (kekafiran yang jelas) yang
kamu memiliki bukti nyata di sisi Allah". (HR Abu Dawud)
Al
Khithobi berkata , "Bawaahan dalam kufrun bawaahan adalah yang tersebar dan
nyata. [27][27] Sedang 'indakum minallahi fihi
burhan, menurut Ibnu Hajar yaitu nash ayat atau berita yang benar
dan tidak memerlukan pentakwilan." [28][28]
Menurut Dr.
Muhammad Abdul Qodir Abu Faris bahwa ketaatan pada amir adalah wajib, namun
tidak mutlak kecuali apabila ada 3 syarat dan ketentuannya. Maka apabila
ketiganya terpenuhi ketaatan tetap wajib dan menjadi mutlak, yaitu :
1. Amir dalam menjalankan
tugasnya harus berdasarkan kepada Al Quran dan As Sunah serta meng-aplikasikan
dalam kehidupan. Dalam Al Quran disebutkan ;
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ
مِنكُمْ ف{ النساء :59}
Hai orang-orang yang beriman
ta'atilah Allah dan ta'atilah Rosul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu.
Ali bin
Abi Tholib radliyallaahu 'anhu berkata "Wajib
bagi Imam untuk menghukumi dengan hukum yang Allah turunkan dan melaksanakan
amanat maka jika ia melaksanakan yang demikian wajib bagi rakyat untuk sam'u wa
tho'ah." (Diriwayatkan oleh Abu Ubaid Al Qosim bin Salam).[29][29]
2. Amir dalam menghukumi
diantara manusia harus adil, maka jika ia berbuat adil harus ditaati. Namun
jika mendholimi (dholim), berbuat aniaya, bertindak sewenang-wenang, menindas,
maka tidak wajib taat padanya.
إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا
يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا {النساء :58}
Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknnya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.
3. Amir
tidak menyuruh manusia kepada kemaksiatan, maka jika ia menyuruh kepada
kemaksiatan wajib tidak taat kepadanya. Berdasarkan hadits nabi :
السَّمْعُ
وَ الطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمِعْصِبَّةٍ { رواه البخارى و مسلم }
Adalah menjadi keharusan (kewajiban) bagi seorang
muslim untuk sam'u dan thoa'ah baik terhadap apa yang ia senangi atau apa yang
ia benci selama tidak diperintah untuk berbuat ma'shiyat. (HR Al-Bukhoriy dan Muslim)
اِنَّمَا
الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوْفِ { احمد و البخارى و مسلم }
Ketaatan itu hanya pada
hal-hal yang ma'ruf (HR Ahmad, Bukhori dan Muslim)
لاَ
طَاعَةَ فِى مَعْصِيَّةِ اللهِ { رواه
احمد }
Tidak ada ketaatan dalam hal
bermaksiyat kepada Allah (HR Ahmad) [30][30]
B. Al-Muthi' (orang yang
mentaati)
Tidak
mungkin adanya suatu ketaatan dan orang-orang yang ditaati dapat tegak dan
berjalan tanpa adanya unsur ini. Dan para ulama salaf telah sepakat seperti Muhammad
bin Ka'ab dan Zaid bin Aslam bahwa ayat 58 surat An Nisa' adalah berkaitan
dengan para umaro' agar mereka adil dalam penerapan hukum [31][31] Allah berfirman :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ
نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا {النساء :58}
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknnya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Di sini
ada hak-hak muthi' yang harus dipenuhi oleh mutho', seperti harus
melindungi, menjaga, membela, bersikap ramah, dll. Demikian pula dengan muthi'
kepada mutho' ; mendoakan, menghormati, membela, mendukung, menjaga, menjaga
nama baiknya, keluarganya, dan hartanya. Yang ada timbal balik positif antara
keduanya dan terus menjaganya serta menutup rapat-rapat lobang-lobang
perpecahan dan hal-hal negatif.
C. Ath-Tho'ah (Ketaatan)
Ketaatan
merupakan penyangga / pengokoh dari beberapa penyangga suatu hukum dalam Islam,
dan merupakan dasar dari pelbagai dasar sistem politik Islam. Karenanya tidak
mungkin adanya suatu sistem / peraturan yang baik, negara yang kuat dan kokoh,
tanpa adanya pemimpin, penguasa yang adil, kethaatan dari rakyat kepadanya dan
saling musyawarah antara pemimpin dan rakyat. Betul-lah Umar bin Khoththob
radliyallaahu 'anhu dalam perkataannya :
اِنَّهُ لاَ اِسْلاَمَ اِلاَّ بِجَمَاعَةٍ وَ لاَ جَمَاعَةَ اِلاَّ
بِإِمَارَةٍ وَ لاَ اِمَارَةَ اِلاَّ بِطَاعَةٍ {رواه الدارمى }
Sesungguhnya tidak Islam kecuali dengan jama'ah, dan
tidak ada jama'ah kecuali dengan imaroh, serta tidak ada imaroh kecuali dengan
ketaatan."
Karena sesungguhnya Islam bukan dien perorangan,
Akan tetapi Islam adalah dien Jama'iy, dan Islam belum menjadi kenyataan yang
sesungguhnya, dalam arti kata tegak dan eshtablish hukum-hukumnya, kecuali
dengan adanya Jama'atul Muslimin. Sedangkan jama'ah dan orang-orangnya
tidak akan mungkin dapat hidup tegak kecuali dengan adanya ikatan, peraturan
dan loyal kepada pimpinan. Dan semuanya itu tidak mungkin dapat berjalan
kecuali mutlak diperlukan ketaatan. [32][32]
V. ANCAMAN BAGI YANG TIDAK BERJAMA'AH TATKALA JAMA'ATUL MUSLIMIN TEGAK.
Orang yang
tidak berjama'ah sewaktu tegaknya Jama'tul-Muslimin, maka secara
otomatis ia terkena ancaman Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
dalam beberapa haditsnya, karena ber-iltizam kepada Jama'tul Muslimin
pada waktu ini adalah wajib, Diantaranya :
مَنْ
خَرَجَ عَنِ الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً { مسلم عن ابى هريرة }
Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memecah
belah / meninggalkan Jama'ah (Muslimin) kemudian mati, maka ia matinya seperti
dalam keadaan Jahiliyyah ". (Muslim)
فَاِنَّهُ مَنْ رَأَى مِنْ اَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ
عَلَيْهِ , فَإِنَّهُ لَيْسَ اَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ
شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ اِلاَّ مَاتَ
مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً { البخارى و مسلم عن ابن عباس }
Barangsiapa yang mendapatkan pada diri amirnya sesuatu
yang ia tidak senangi maka hendaknya ia bersabar terhadapnya, karena
sesungguhnya tidak ada seorangpun yang keluar dari sulthon (penguasa / negara)
sejengkal saja kemudian ia mati dalam keadaaan demikian, maka ia tidak mati
kecuali matinya seperti dalam keadaan Jahiliyyah ". (Bukhori Muslim dari Ibnu
Abbas)
مَنْ اَتَاكُمْ وَ اَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَىرَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ اَن
يَشُقَّ عَصَاكُمْ اَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ
Barangsiapa yang mendatangi kalian dan ia mau
memecah belah persatuan atau ia hendak mencerai-beraikan jama'ah kalian sedang
urusan kalian semua berada (kamu serahkan) pada seorang (imam), maka bunuhlah
ia ". (HR Muslim)[33][33]
Maksud dari "Mata miitatan
Jaahiliyyah" adalah perumpamaan ahlul jahiliyyah bahwa mereka
tidak memiliki Imam, bukan mati kafir.
Imam An-Nawawiy berkata, "Maksud dari ماتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً barangsiapa yang keluar dari Jama'ah
Muslimin, maka ia mati seperti dalam keadaan jahiliyyah, mim pada mitatan
adalah kasroh yang artinya sifat matinya berada dalam keadaan kosong tidak
memiliki seorang Imam. [34][34]
Ibnu Hajar berkata, "Maksud dari
kata miitatan Jahiliyyatan adalah kasroh-nya mim, yaitu keadaan matinya seperti
ahlul jahiliyyah di atas kesesatan dan tidak mempunyai Imam yang ditaati. Dan
bukanlah yang dimaksud dengannya adalah mati kafir akan tetapi mati dalam kemaksiatan.
Dan dikuatkan lagi dengan hadits lain bahwa maknanya adalah perumpamaan (At
Tasybih)
مَنْ فَرَقَ عَنِ الْجَمَاعَةِ شِبْرًا فَكَاَنَّمَا خَلَعَ رِبْقَةَ
الإسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ
Barangsiapa yang keluar dari jama'ah sejengkal
saja, maka seakan ia telah melepas ikatan Islam dari lehernya. (At-Tirmidziy,
Al Bazzar, Ath-Thobroni dan Ibnu Khuzaimah).[35][35]
Begitu pula dengan pendapat Imam
Asy-Syaukaniy beliau berkata, "Maksud dari mitatan Jaahiliyyatan
adalah tasybih (perumpaman) bukan suatu hukum." [36][36]
VI.
KEADAAN (HAL) AL FIRQOH AN NAJIYYAH (AHLUS SUNNAH) DAN BEBERAPA KETENTUANNYA
1. Adanya Imam Syar'i, dan Imam ini adalah
Imam Ahlus Sunnah, mengikuti manhaj Ahlus Sunnah dan meng-iltizaminya,
berdakwah kepadanya, mengancam siapa saja yang menyelisihinya dan ia memerangi Ahlul
Ahwa' wal-Bida'
Ini adalah masa
khulafaurrosyidin, yang waktu itu telah menjadi satu makna yang terdapat
dalam jamaah, baik segi 'ilmy maupun siyasinya. Dan ini adalah keadaan
tertinggi yang setiap muslim merindukannya
-juga pada masa sekarang ini-
apabila dapat ter-realisasi-kan pada ummat.
Dan dalam keadaan seperti ini wajib bagi setiap muslim untuk meng-iltizami
jama'ah dan ta'at pada imam dan apa yang diserukan.
2. Adanya imam, tetapi imam ini imam ahlul
bid'ah, tidak meng-iltizami manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah, akan tetapi ia
telah mencampur-adukkan manhaj ahlu bid'ah. Namun di kalangan ummat masih
terdapat kelompok atau jama'ah atau kumpulan -kumpulan yang berbeda tempat,
yang mereka mempunyai suara yang didengar dalam da'wahnya menuju manhaj ahlus
sunnah, dan mereka berpegang teguh dengannya, mendakwahkannya, serta sabar
dalam dakwahnya terhadap apa yang mereka dapati dari ujian dan cobaan.
Masa ini
adalah seperti dimasa Kholifah Al Makmun, yang mengambil madzhab/manhaj
Mu'tazilah, mengharuskan ummat untuk mengikuti madzhabnya dan menguji
mereka yang menolak. Al Makmun adalah imam bid'ah, tetapi dimasanya juga terdapat
kelompok ahlus sunnah yang menolak kebid'ahan, menetapi manhaj ahlus sunnah,
serta tidak menta'ati kholifah dalam hal-hal yang ia serukan seperti i'tizal
(untuk menetapi Madzhab Mu'tazilah)
Dalam keadaan seperti ini kewajiban seorang muslim ada dua, yaitu :
a. Tetap iltizam pada imam dan ia tidak keluar darinya walaupun
ia fasiq -seperti inilah madzhab ahlus
sunnah- akan tetapi wajib tidak
mentaatinya dalam hal-hal kemaksiyatan kepada Allah yang ia serukan. Karena
amir wajib di-taati selama tidak maksiyat kepada Allah
b. Wajib baginya meng-iltizami manhaj ahlus sunnah wal-jama'ah,
bergabung dan menetapi mereka yang menyeru kepada ahli sunnah. hal ini seperti
yang diperintahkan Rasulullah kepada Hudzaifah Ibnul-Yaman:
تَلْزِمُ جَمَـاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ اِمَـامَهُـْم { البخـارى }
Wajib bagi kamu ber-iltizam pada Jama'atul Muslimin dan imam mereka.
3. Tidak adanya imam syar'i, baik imam yang adil maupun yang
fajir. Hal ini seperti yang terdapat pada beberapa masa runtuhnya Islam yang
pernah dilalui umat Islam. Namun demikian masih tetap ada kelompok Ahlus Sunnah
wal Jama'ah, baik individu atau beberapa kelompok.
Maka dalam
hal ini wajib bagi setiap muslim untuk meng-iltizami kumpulan ini, menyeru
kepada Allah bersama mereka, dan mereka
agar berjuang bersama-samam dalam menegakkan kewajibannya yaitu Iqomatud Din
dan dakwah kepada Manhaj Ahlus Sunnah
Dan
disinilah berlaku hadits Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pada
Hudzaifah, “Wajib bagi kamu meng-iltizami Jama'atul Muslimin dan imam
mereka." berkata Hudzaifah, "Seandainya tidak ada Jama'ah dan
imam bagaimana?" Abdul Hadi Al Mishriy berkata, "Kesimpulannya
bahwa itu apabila ada bagi kaum muslimin Jama'ah namun tidak adanya Imam
Syar'iy, maka tetap wajib bagi mereka ber-iltizam kepada jama'ah (kumpulan) ini
". [37][37]
4. Tidak adanya imam
syar'iy bagi kaum Muslimin dan kumpulan yang menyeru kepada manhaj ahlus
sunnah. Dan inilah yang terjadi pada hari-hari terjadinya fitnah yang besar di
beberapa negeri, sehingga kaum muslimin yang ber-iltizam pada manhaj
ahlus sunnah asing / aneh sekali, tidak didapati orang yang menolong dan
melindungi mereka kecuali ahlul bid'ah juga.
Maka dalam keadaan seperti ini wajib bagi setiap muslim mencari kumpulan
orang yang mengiltizami manhaj ahlus sunnah. Namun apabila ia sudah berusaha
mencarinya tetapi ia tidak
mendapatkannya, maka hendaknya ia menyeru kepada Al-Haq dan
mengembangkan seperti kumpulan ini, karena para salaf sendiri menyeru orang
lain di beberapa negeri menuju ahlus sunnah dan mendirikan jama'ah.
Hal ini seperti yang pernah dikatakan oleh Asad ibnu Musa (wafat
tahun 212 H) dalam suratnya kepada Asad bin Al Furot (wafat tahun 213 H)
" ... dan berilah kabar gembira, wahai saudaraku dengan pahalanya, dan
biasakanlah untuk melaksanakan sebaik-baik kebaikan yang ada pada dirimu dari
sholat, shoum, haji dan jihad. Dan dimanakah letaknya amalan-amalan ini dari
menegakkan kitab Allah dan menghidupkan sunnah Rosul-Nya ?" (kemudian
beliau menyebutkan beberapa hadits tentang dakwah dan menghidupkan sunnah, lalu
beliau lanjutkan). "Maka jagalah (ambillah faedahnya) ia dan berdakwahlah
menuju sunnah hingga dengannya engkau mempunyai persatuan dan jama'ah, yang
mereka menggantikan tempat / kedudukanmu apabila terjadi sesuatu denganmu,
sehingga akan terdapat para aimmah setelahmu dan engkau akan mendapatkan
pahalanya hingga hari Qiyamat, sebagaimana yang terdapat dalam atsar,
beramallah berdasarkan atas bashiroh (ilmu dan keyakinan), niat serta hisbah
(amar ma'ruf nahi mungkar)." [38][38]
Dan apabila seorang muslim tidak mendapatkan suatu Jama'ah (kumpulan) dan
belum mendapati orang lain yang menyerunya, maka tidak boleh baginya condong
kepada seseorang dari ahlul bid'ah. Akan tetapi hendaknya ia mengasingkan diri
(i'tizal) sampai Allah menentukan apa yang ia kehendaki, atau sampai mati
sedang ia tetap dalam i'tizal-nya. [39][39]
VII. JAMA'ATU MINAL MUSLIMIN
Rosululllah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda dalam Hadits Hudzaifah
:
عَنْ
حُذَيْفَةِ بْنِ الْيَمَنِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ
يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَ
كُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةً اَنْ يُدْرِكَنِىْ فَقُلْتُ : يَا
رَسُوْلَ اللهِ كُنَّا فِى جَاهِلِيَّةٍ وَ شَرٍّ فَجَاءَ نَا اللهُ بِهَذَا
الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنَ الشَّرِّ . قَالَ : نَعَمْ , قُلْتُ
: وَ هَلْ بَعْدَ ذاَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ , وَ فِيْهِ
دَخَنٌ , قُلْتُ : وَ مَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ : قَوْمٌ يَهْدُوْنَ بِغَيْرِ
هَدْيِى تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَ تُنْكِرُ .
قُلْتُ : فَهَلْ بَعْدَ ذَالِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ , دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ
جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ اِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا , قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ
اللهِ صِفْهُمْ لَنَا , قَالَ : هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ
بِأَْسِنَتِنَا . قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِى إِنْ أَْرَكَنِى ذَالِكَ ؟ قَالَ :
تَلْزِمُ جَمَـاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ ِإمَـامَهُـمْ . قَلْتُ : فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ
كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعُضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ
وَأَنْتَ عَلَى ذَالِكَ { البخـارى }
Dari
Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu 'anhu ia berkata, "orang-orang bertanya
kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam tentang kebaikan, dan aku
bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena aku takut masuk kedalamnya” Aku
bertanya, "Wahai Rosulullah, dahulu kami berada dalam kejahiliyyahan dan
kejahatan, lalu Allah berikan kebaikan ini, apakah setelah kebaikan ini ada
keburukan?". Beliau menjawab, "Ya ada".
“Lalu apakah setelah ada keburukan ada kebaikan lagi ?” Beliau menjawab,
"Ya ada tetapi ada dakhon-nya/kekeruhan (kerusakan dan ikhtilaf)".
Lalu apakah dakhon itu ya Rosulullah ?”. "Yaitu orang-orang yang memberi
petunjuk bukan dengan petunjuk-ku, kamu
tahu mereka tetapi kamu ingkari”. “Lalu setelah kebaikan itu adakah keburukan
lagi ?”, "Ya ada, yaitu penyeru-penyeru (du’at) yang menyeru di pintu
Jahannam, barangsiapa yang menerima ajakan mereka maka akan mereka lemparkan
kedalamnya". “Ya Rosulullah, tunjukkanlah kepada kami ciri-ciri mereka”.
"Mereka (dari golongan yang) berkulit sama dengan kita dan bicara sama
dengan (bahasa) kita pula". “Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku Ya
Rosulullah apabila kau mendapati mereka ?" “Ber-iltizam-lah dengan
Jama'atul-Muslimin dan Imam mereka (Jama’atul-muslimin)". “Lalu bagaimana
kalau tidak ada Jama'ah dan Imamnya ?”, " Tinggalkanlah (asingkanlah
dirimu dari) golongan-golongan yang ada
seluruhnya, walaupun kau harus menggigit pangkal pohon, hingga kamu mati (itu
lebih baik bagimu) sedang kamu dalam keadaan demikian. (Bukhori I/1480)
Hadits ini sering digunakan orang dalam
mewajibkan ummat agar ber-iltizam pada Jama'atul Muslimin. Memang
sabda Rosulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam tersebut agar kita
ber-iltizam kepada Jama'atul Muslimin, bukan dalil untuk ber-iltizam pada
Jama'ah minal Muslimin seperti yang disangka beberapa orang sehingga pemahaman
seperti ini keliru. Juga ada sebagian orang yang mengharamkan (mem-bid'ah-kan)
berdirinya jama'ah-jama'ah minal muslimin
yang mereka anggap firqoh-firqoh sesat yang dilarang oleh Rosulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam, sehingga pemahaman seperti ini pula harus
diluruskan. Maka perlu kita ketahui beberapa pengertian berikut :
1. Maksud dari sabda beliau
تَلْزِمُ
جَمَـاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ إِمَـامَهُـمْ { البخـارى }
Maksud dari Jama'atul Muslimin dan Imamnya
adalah Imam Jama'atul Muslimin, bukan Jama'ah minal Muslimin dan bukan Imam
Jama'ah minal Muslimin pula.
Sedang Jama'atul Muslimin adalah Khilafah
Islamiyah yang tercakup didalamnya seluruh kaum Muslimin, yang dikepalai
oleh seorang Imam / Kholifah yang memberlakukan hukum-hukum Allah, yang wajib
bagi semua orang menta'atinya dan memberikan akad perjanjian (bai'ah) dan
mendukungnya. Dan dalam artian lain Jama'atul Muslimin adalah apabila
te-realisasi dan tergabungnya makna Ilmiy dan Siyasiy.[40][40]
2. Maksud dari sabda beliau
فَاعْتَزِلْ
تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا
adalah I'tizal (mengasingkan diri) dari
golongan-golongan sesat, yaitu golongan-golongan yang mengajak kepada
kesesatan, baik yang terhimpun diatas kemungkaran dari perkataan atau
perbuatan, maupun diatas hawa nafsu. Atau terhimpun berdasarkan pemikiran kafir
seperti sosialis, Komunis, Demokrasi, Kapitalis dan Lain-lain. Juga terhimpun
berdasar satu daerah, suku, madzhab dll.
Imam An-Nawawiy berkata :
قَالَ الْعُلَمَاءُ : هَؤُلاَءِ مَنْ كَانَ مِنَ الْأُمَرَاءِ يَدْعُوْا
إِلىَ بِدْعَةٍ أَْضَلاَلٍ كَالْخَوَارِجِ وَالْقَرَامِطَةِ وَأَصْحَابِ
الْمِحْنَةِ
Para Ulama' mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
mereka adalah : “para umaro' yang menyeru kepada kebid'ahan atau kesesatan seperti Khowarij,
Qoromithoh dan Ash-habul-Mihnah (Mu'tazilah)” [41][41]
Ibnu Hajar berkata :
وَالَّذِى يَظْهَرُ أَنَّ الْمُرَدَ بِالشَّرِّ الأَوَّلِ مَا أَشَرَ
إِلَيْهِ مِنَ الْفِتَنِ الأُوْلَى ( الْفِتَنُ الَّتِى وَقَعَتْ بَعْدَ عُثْمَانِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ) وَ الدُّعَاةُ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ قَامَ فِي
طَلَبِ الْمُلْكِ كَالْخَوَارِجِ وَغَيْرِهِمْ
Dan yang nampak (jelas) akan maksud syarrul-awwal
(kejelekan yang pertama) adalah yang di-indikasi-kan sejak terjadinya fitnah
yang pertama (fitnah yang terjadi sejak syahid-nya shahabat 'Utsman
radliyallaahu 'anhu) dan adanya du'at yang menyeru di atas pintu Jahannam,
yaitu dari orang-orang yang meminta kekuasaan (kudeta) seperti golongan
Khowarij dan lainnya.[42][42]
Merekalah golongan sesat yang kita perintahkan
untuk menjauhinya, karena mereka yang mengajak manusia menuju ke Jahannam. Dan
bagi siapa saja yang mengikuti seruan mereka akan dilemparkan kedalamnya,
sebagaimana hadits Hudzaifah diatas. [43][43]
3. Maksud dari sabda beliau :
وَ لَوْ
اَنْ تَعُضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ
Maksud hadits ini bukan dilihat dari segi
dhohirnya, yaitu berpegang pada pangkal pohon, namun maknanya adalah berpegang
teguh dan sabar diatas Al-Haq, dan mengasingkan diri (meninggalkan) dari
golongan-golongan sesat.[44][44]Dalam arti yang lebih luas mendakwahkannya dan memperjuangkannya, jika
kondisi masih memungkinkan.
Maka karena pada masa kita sekarang ini tidak
ada Jama'atul Muslimin, yang wajib bagi kita ber-iltizam padanya
terhitung sejak tahun 1924 pada saat runtuhnya Khilafah Islamiyah dari
tangan Bani Utsmaniyah-maka konsekwensi kita adalah kembali pada qoidah
ahlus sunnah wal jamaa'ah (lihat bahasan Jama'atul Muslimin) yaitu, menyeru
kepada Al-Haqdan Manhaj Ahlus Sunnah serta mendirikan Jama'ah, hingga
terwujudnya Jama'atul Muslimin dan Imam Syar'iy bagi mereka.
Karena sesungguhnya masalah Jama'atul Muslimin
pada umumya adalah masalah terpenting setelah iman kepada Allah dan Rosul-Nya.
Memang betul sekarang ada beberapa Jama'atun minal Muslimin tetapi tidak
seyogyaya para anggotanya menganggap bahwa ia Jama'atul Muslimin, sebelum
terpenuhi syarat-syarat Jama'atul Muslimin. Maka amal Jama'iy dalam usaha
mendirikan Khilafah Islamiyyah adalah kebutuhan yang sangat mendesak dan sangat
urgen. [45][45]
A. YANG MENDASARI BERDIRINYA JAMA'ATUN MINAL MUSLIMIN
Memang para Salaf ummat ini tidak ada yang hidup di
masa Jama'atul Muslimin sirna dan hilang
dari muka bumi ini, mereka hidup tatkala
Jama'atul Muslimin tegak, kaum muslimin betul-betul bersatu dan memiliki 'izzah, dan mereka tidak
pernah merasakan adanya Jama'atu Minal Muslimin seperti sekarang ini. Sehingga memang
tidak kita dapatkan nash-nash yang shorih (jelas)
yang menunjukkan perintah untuk ber-iltizam pada Jama'atu minal
Muslimin dan membenarkan eksistensinya.
Jama'ah dalam arti suatu
perkumpulan merupakan suatu hal yang fitriy
yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun
juga, sebab thobi'ah fitri-nya
manusia adalah berjama'ah.
Demikian pula dengan Jama'atu minal Muslimin yang pada masa sekarang ini sudah
wujud , tidak bisa dipungkiri keberadaannya, dan kita tidak
dapat lari darinya.
Sehingga Jama'ah minal Muslimin
yang ada dimasa sekarang ini, dapat dibenarkan
keberadaannya jika memang ia sebagai Jama'ah Da'wah, menuju dan bertujuan menegakkan
Jama'atul Muslimin yang sekarang sirna dari muka bumi ini. Sedang dasar
yang membolehkan dan membenarkan (baca: me-masyru'-kan) Jama'atu minal
Muslimin yang memang sudah wujud dan tidak bisa dielakkan lagi adalah :
a. Berdasar Qoidah Ushuliyah :
مَا لاَ
يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ
وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tidak akan sempurna sesuatu kewajiban kecuali dengannya,
maka sesuatu itu menjadi wajib".
Sedang masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah masalah Iqomatudin
(Iqoomatul-Khilafah) yang begitu besar dan sangat penting pada masa
sekarang ini, jelas diperlukan suatu sarana, yang seluruh sarana yang
mengacu dan membantu terwujudnya
iqomatuddin hingga tegaknya Khilafah Islamiyyah di muka bumi ini, hukumnya
wajib diadakan hingga terwujudnya tujuan yang sedang kita usahakan tersebut.
Dan salah
satu sarana yang sangat penting adalah berupa wadah bagi orang-orang yang sadar
akan Iqomatuddin, yang mutlaq diperlukan seorang amir sebagai pemimpin agar
wadah (organisasi / Jama'ah) tersebut terorganisir, rapi, dan tetap berada diatas Al Haq.
Ini semua
mutlak diperlukan suatu ketaatan dari orang-orang dalam wadah tersebut kepada
pemimpinnya, namun ketaatan tidak akan terwujud dengan baik dan optimal kecuali
apabila ada ikatan perjanjian yang kuat diantara mereka.
b. Berdasar perintah Allah Ta'ala agar kita berta'awun dalam birr dan
taqwa, Firman-Nya :
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ { المائدة 2}
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla dan Rosul-Nya memerintahkan untuk
berjama'ah dan bersatu, melarang dari
berfirqoh dan berpecah belah, serta memerintahkan untuk berta'awun dalam birr
dan taqwa. dan melarang dari ber-ta'awun dalam itsmiy dan 'udwan."[46][46] Perintah Allah Ta'ala dalam ayat
ini adalah bersifat umum, meliputi seluruh ta'awun dalam birr dan
taqwa sekecil apapun bentuknya,
asalkan hal itu adalah hal yang birr dan menuju pada ketaqwaan
maka hal itu diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla. Lalu apa pendapat
kita jika dalam masalah ta'awun dalam birr dan taqwa ini adalah masalah yang
begitu agung dan urgen yaitu masalah
Iqomatuddin ?
c. Qiyas dari hadits Amir Safar, yaitu
perintah mengangkat amir dalam safar
اِذَا
كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَالْيُؤَمِّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ { ابو داود
باسناد حسن }
"Apabila ada 3 orang dalam safar maka
hendaknya mereka mengangkat amir (pimpinan) salah satu di antara mereka ".
(Abu Dawud dengan Isnad Hasan)[47][47]
عَنْ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ : إِذَا كَانَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ
فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ ذَالِكَ أَمِيْرٌ أَمَرَهُ رَسُوْ ُل اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ { الحاكم وصحّحه وأقرّه الذهبى }
Dari ‘Umar bin Al-Khoththob berkata, “Jika ada
tiga orang hendaknya mengangkat salah seorang sebagai amir”[48][48]
Amir tersebut (di atas) adalah amir yang
dilaksanakan atas perintah Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam. (HR
Al-Hakim, dan diakui keshohihannya oleh Adz-Dzahabiy)
Juga tatkala sahabat radliyallaahu 'anhum
berpisah disuatu tempat, bersabda Rosulullah kepada mereka,
اِنَّ تَفَرُّقَكُمْ هَذَا فِى الشِّعَابِ مِنَ الشَّيْطَانِ
" Sesungguhnya terpencarnya kalian ini
berada dalam lembah dari Syaithon ".
لاَ يَحِلَّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُوْنُوْنَ بِأَرْضِ فُلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
{رواه أحمد عن ابن عمر }
Tidak halal bagi tiga orang berada dalam satu
tempat dari belahan bumi, kecuali harus dipimpin salah seorang diantara mereka
". (Ahmad dari Ibnu 'Umar)
Dan kalau ini hanya masalah furu' yaitu
masalah safar, maka apalagi apabila yang kita pikirkan adalah masalah
Iqomatuddin, yang kita berusaha menegakkannya, memuliakannya, serta
menyingkirkan hal-hal yang
menghalanginya, sementara lautan kerusakan telah meluap dan mayoritas moral
manusia sudah menyimpang dari Al Haq ?[49][49] Tentunya ia lebih masyru' dalam Islam.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah melihat akan
pentingnya masalah amir safar ini berkata, "Apabila telah diwajibkan
mengangkat seorang amir dalam perkumpulan dan masyarakat yang paling kecil dan bersifat sementara (dalam
safar), maka ini menunjukkan lebih wajibnya mengangkat amir dalam skala yang lebih
besar darinya." [50][50]
Jadi keberadaan Jama'ah minal Muslimin yang ada
pada masa sekarang ini adalah sebagai Jama'ah Da'wah dan ia sebagai
sarana untuk menuju dan menegakkan Jama'tul Muslimin yang sekarang hilang dan
lenyap di tengah-tengah kaum Muslimin, yang hal ini jelas-jelas
di-syareat-kan oleh Islam dengan dalil diatas !
Lalu apakah dalam hati kita tidak terdetik untuk
sama-sama berjuang dengan bergabung dengan satu Jama'ah minal Muslimin yang
ada, untuk menegakkan Jama'atul Muslimin yang kita cita-citakan, dibawah
komando dan pimpinan salah seorang diantara mereka agar gerak dan langkah kita
tetap terorganisir rapi dan tetap berjalan diatas rel Al haq. Tentunya itu
semua lebih baik dari pada kita berdakwah sendirian tanpa teman dan pimpinan
yang akan selalu menjaga dan menegur kesalahan-kesalahan fikroh, sikap dan
langkah kita, yang tentunya hal ini lebih baik daripada kita berda'wah
sendirian dan jelas kita tidak akan mampu menegakkan Khilafah Islamiyyah
seorang diri ! Apalagi -sekali lagi-
Islam menganjurkan dan mengharuskan ummatnya hidup berjama'ah, sebab
berjama'ah lebih baik dan lebih dianjurkan Islam daripada kita hidup sendirian
tanpa teman dan pimpinan.
B. JALAN BAGI UMAT INI
Karena Jama'tul Muslimin pada masa sekarang ini belum tegak, maka segala
usaha untuk mendirikannya kembali adalah kewajiban ummat pada zaman ini.
Diantara thoriqoh yang harus ditempuh oleh ummat ini menurut Dr Sholah Showi
adalah :
1. Menunjuk beberapa orang sholeh diantara kaum
mukminin untuk dijadikan dan didudukkan sebagai Ahlul Hally wal 'Aqdi guna
melaksanakan amanat-amanat kepemimpinan
dan mendirikan Jama'ah, serta memperbaharui apa saja yang tercerai berai
diatara mereka.
Sedang yang dimaksud dengan Ahlul Halli
wal 'Aqdiy adalah : Ahlul 'Ilmi dan Ahlul Qudroh, sebagai syaratnya
: al-'adalah, selamat dari cacat,
mempunyai kapabilitas (kemampuan) dan ilmu yang memadai
2. Hendaklah Ahlul Halli wal 'Aqdi bersatu dalam
satu kalimat antara anggota dan pimpinannya. Atau paling tidak diantara para
pemimpinnya.
3. Hendaknya ummat mempercayakan segala
urusannya kepada Jama'ah ini, ber-iltizam kepadanya dengan mentaatinya selama tidak maksiyat. [51][51]
C. BEBERAPA SYARAT PENTING
YANG HARUS DIPENUHI OLEH SUATU PERKUMPULAN (JAMA'AH)
Tidak
diperselisihkan lagi bahwa berkumpul dan mengadakan perjanjian dalam kebaikan
serta menetapi keta'atan bagi yang merealisasikannya selama tidak maksiyat ;
adalah disyariatkan oleh Islam, yaitu dengan syarat sebagai berikut ;
a. Tidak ber-tahazzub
(bergolong-golongan) atau mendasarkan diri pada suatu asas yang menyelisihi Ahlus-Sunnah
wal-Jamaa'ah, atau berada pada asas ke-bid'ahan yang banyak, karena jika tidak,
maka kelompok (golongan) ini termasuk golongan yang sesat.
b. Bergabung dengan
Jama'atul-Muslimin jika ada, dengan tidak bermaksud , melawan
Jama'atul-Muslimin, melepas bai'atnya dan mencopot ke-imam-annya. Maka jika
tidak mereka termasuk golongan Ahlul-Baghyi.
c. Tidak mendasarkan
al-wala' wal-baro' pada asas-asas yang di-nisbah-kan hanya kepada
perkumpulannya (jama'ahnya), karena dasar-dasar al-wala' wal-baro' adalah
Al-Qur'an dan as-Sunnah yang tergambar pada Manhaj Nubuwah, bukan yang lain.[52][52]
D. BEBERAPA KRITERIA JAMA'AH MINAL MUSLIMIN YANG
PANTAS DI-ILTIZAMI
Maka jika sudah jelas akan urgensi Jama'ah minal Muslimin, sudah
sepantasnya bagi seorang muslim untuk bergabung dan memilih dari
Jama'ah-Jama'ah minal Muslimin yang ada pada zaman ini di seantero dunia. Yang
ia pandang lebih dekat kepada ridlo Allah 'Azza wa Jalla, Lebih dekat kepada
sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, lebih banyak manfaatnya untuk
kepentingan diennya dan kaum muslimin, dan lebih banyak kebenaranya dalam
iqomatudin. Maka sepantasnyalah ia intima', ber-ta'awun
dengan yang lain hingga tegaknya
khilafah.
Beberapa kriteria Jama'ah Minal Muslimin yang pantas kita beriltizam
kepadanya :
1. Jama'ah yang berpegang
kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma' dan selalu kembali kepada
ketiganya dalam setiap permasalahan.
2. Jama'ah yang benar
Aqidahnya, sesuai dengan pemahaman Salafush-Sholeh baik secara
global maupun terperinci.
3. Jama'ah yang bertujuan
mencapai ridho Allah dengan jalan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan
mengikuti Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
4. Jama'ah yang lengkap tashowwur
(wawasan)-nya dan jernih pemahamannya, yaitu pemahaman Islam secara syumul
sebagaimana yang difahami oleh ulama' yang tsiqqoh yang mengikuti sunnah
Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para Khulafaur
Rosyidinradliyallaahu 'anhum yang mendapat petunjuk.
5. Jama'ah yang ber-tasabuq(ber-lomba)
dalam membawa amanah dakwah dan jihad, dengan tujuan mengembalikan peribadatan
manusia hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja dan menegakkan Khilafah
Islamiyyah di atas Manhaj Nabawiy
6. Jama'ah yang hanya berwala'
kepada Allah, Rosul-Nya dan orang-orang yang beriman serta berbaro' terhadap
musuh-musuh Islam dari orang-orang dholim, kafir, musyrik dan lain-lainnya.
7. Jama'ah yang ke-Islam-nya
sudah teruji dan berani bersikap tegas terhadap kaum musyrikin.
8. Jama'ah yang menjauhi
segala bentuk kebid'ahan dan menyeru kepada At Tauhid. [53][53]
9. Jama'ah yang menjaga
ukhuwwah dan kesatuan jama'ah-nya tanpa ta'ashshub dan melakukan tansiq dengan
Jama'ah minal Muslimin yang lain yang memiliki tujuan, 'aqidah dan pemahaman
yang sama.
10. Jama'ah yang membangun
pemahaman yang benar tentang Jama'tul Muslimin, yang dalam usaha menegakkanya
dengan jalan dakwah, amar ma'ruf nahi munkar dan jihad fie sabilillah, serta
berbekal ilmu dan taqwa, yakin dan
tawakal, syukur dan shabar, zuhud terhadap dunia dan mengutamakan akherat, serta bekal-bekal pemahaman dan
sikap yang lain yang diperlukan bagi suatu kelompok yang ingin menegakkan dien
dengan thoriqoh jihad.
11. Jama'ah yang aktivitasnya
meliputi seluruh segi / aspek dalam Islam.
12. Jama'ah yang mampu
menyatukan kesemuanya ini dalam keseimbangan, yang intinya dapat menjaga Sunnah
dan Jama'ah, satu ghoyah, satu 'aqidah, satu royah, satu fikroh dan jauh dari
kebid'ahan
.
E. BEBERAPA FAEDAH JAMA'AH MINAL MUSLIMIN
1. Dengannya jihad menjadi mungkin
untuk dapat ditegakkan.
2. Jama'ah merupakan kekuatan bagi kaum Muslimin
3. Menanggulangi kesulitan dalam melaksanakan Al Haq
4. Mengharap diterimanya amal sholeh dan mengharap ampunan apabila
melakukan kesalahan
5. Meng-aplikasikan Al Wala' kepada kaum muslimin.[54][54]
F. AKIBAT BAGI MEREKA YANG TIDAK BERGABUNG DENGAN SALAH SATU JAMA'ATUN
MINAL MUSLIMIN
Maka bagi
seorang Muslim yang pada masa sekarang
ini tidak bergabung dengan Jama'atul minal Muslimin yang ada, sulit menjaga
ke-istiqomah-an 'amaliyah yaumiyah dan
kemungkinan melakukan ma'shiyat lebih besar daripada mereka yang bergabung,
sebab ia tidak memiliki teman dan pimpinan yang akan selalu menasehati dan
memperingatkan apabila ia salah dan ma'shiyat. Mereka juga sulit untuk
membangun rasa percaya diri, tanggung jawab, kedewasaan, kebersamaan, ukhuwwah
dan lain sebagainya, karena semua itu bukan hanya ilmu tetapi membutuhkan
tajribaat.
Jama'ah, walaupun belum ideal (masih dalam taraf Jama'tul minal Muslimin)
tetap memberikan suatu kelebihan bagi yang bergabung dengannya, baik dari segi
pengalaman, ujian yang akan semakin membuatnya sabar dan istiqomah, ukhuwwah,
dapat merasakan manis pahitnya saling memberi dan menerima dengan saudara
seiman, dan berbagai kenikmatan dan pengalaman iman yang lain yang hanya dapat
dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam aktivitasnya secara langsung.
Wallahu A’lamu Bish Showab
[21][21] . Syarh I'tiqod Ahlus Sunnah Al Alkay, I/160 diambil dari Ats Tsawabith
wal-mutaghoyiroot, Dr. Sholah Showi, hal. 225-226
[26][26] . Fathul Bari, Ibnu Hajar 16/240 diambil dari An Nidlom As Siyasi, Dr.
Abdul Qodir Abu Faris.
[30][30]. An
Nidhom As Siyasiy, Dr. Abdul Qodir Abu Faris 71-75 dan lihat tafsir Ibnu Katsir
I / 687-689
[37][37] . Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Ma'alim Intilaqul Qubro, Abdul Hadi Al
Mishry, Hal : 183, Darut Thoyibah Riyadh
[38][38] . Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhoh, lihat dalam
bukunya Al Bida' wan-Nahyu 'Anha, hal 5 -7 tahqiq Muhammad bin Ahmad Dahman
diambil dari buku Mu'allimul Intilaqil Qubro, Abdul Hadi Al Misri hal, 183-184)
[40][40] . Maday Syar'iyyatul Intima' Ilal Ahzaab wal Jama'aat Al-Islamiyyah, Dr
Sholah Showiy, hal 125