Jumat, Maret 21, 2008

Hak-Hak Istri dalam Poligami
Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri, sebagaimana pada ayat yang artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri, sebagaimana pada ayat yang artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya. Adil disini lawan dari curang, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat diartikan persamaan. Berdasarkan hal ini maka adil antar para istri adalah menyamakan hak yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk disamakan di dalamnya.
Adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya.
Apa saja hak seorang istri di dalam poligami?
Diantara hak setiap istri dalam poligami adalah sebagai berikut:
A. Memiliki rumah sendiri
Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 33, yang artinya, “Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di rumah-rumah kalian.” Dalam ayat ini Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan rumah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu 'Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sakit menjelang wafatnya, beliau Shallallahu 'Alaihi waSallam bertanya, “Dimana aku besok? Di rumah siapa?’ Beliau Shallallahu 'Alaihi waSallam menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu 'Anha, oleh karena itu istri-istri beliau mengizinkan beliau untuk dirawat di mana saja beliau menginginkannya, maka beliau dirawat di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisi Aisyah. Beliau Shallallahu 'Alaihi waSallam meninggal di hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruh beliau dalam keadaan kepada beliau bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu 'Anha.
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah tanpa ridha dari keduanya. Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya. Masing-masing istri dimungkinkan untuk mendengar desahan suami yang sedang menggauli istrinya, atau bahkan melihatnya. Namun jika para istri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam satu rumah, maka tidaklah mereka. Bahkan jika keduanya ridha jika suami mereka tidur diantara kedua istrinya dalam satu selimut tidak mengapa. Namun seorang suami tidaklah boleh menggauli istri yang satu di hadapan istri yang lainnya meskipun ada keridhaan diantara keduanya.
Tidak boleh mengumpulkan para istri dalam satu rumah kecuali dengan ridha mereka juga merupakan pendapat dari Imam Qurthubi di dalam tafsirnya dan Imam Nawawi dalam Al Majmu Syarh Muhadzdzab.
B. Menyamakan para istri dalam masalah giliran
Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi waSallam memiliki 9 istri. Kebiasaan beliau Shallallahu 'Alaihi waSallam bila menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi semua istrinya dan baru behenti (berakhir) di rumah istri yang mendapat giliran saat itu.
Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang istrinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sertakan dalam safarnya. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam biasa menggilir setiap istrinya pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha.
Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua istrinya pada hari giliran salah seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli istri yang bukan waktu gilirannya.
Seorang istri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ingin bermesraan dengan istrinya namun saat itu istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi bagian sekitar kemaluannya.
Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah, ulama besar dari Saudi Arabia, pernah ditanya apakah seorang istri yang haid atau nifas berhak mendapat pembagian giliran atau tidak. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah bagi istri yang haid berhak mendapat giliran dan bagi istri yang sedang nifas tidak berhak mendapat giliran. Karena itulah yang berlaku dalam adat kebiasaan dan kebanyakan wanita di saat nifas sangat senang bila tidak mendapat giliran dari suaminya.
C. Tidak boleh keluar dari rumah istri yang mendapat giliran menuju rumah yang lain
Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah istri yang lain yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah Radhiyallahu 'Anha, tidak lama setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu 'Anha kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah istri yang lain. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan Aisyah Radhiyallahu 'Anha dalam keadaan terengah-engah, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?”
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak istri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.
Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menginap di rumah salah satu dari istrinya yang tidak pada waktu gilirannya.
Beliau rahimahullah menjawab bahwa dalam hal tersebut dikembalikan kepada ‘urf, yaitu kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah setempat. Jika mendatangi salah satu istri tidak pada waktu gilirannya, baik waktu siang atau malam tidak dianggap suatu kezaliman dan ketidakadilan, maka hal tersebut tidak apa-apa. Dalam hal tersebut, urf sebagai penentu karena masalah tersebut tidak ada dalilnya.
D. Batasan Malam Pertama Setelah Pernikahan
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'Anhu bahwa termasuk sunnah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh hari, jika menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari. Setelah itu barulah ia menggilir istri-istri yang lain.
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu 'Anha mengkhabarkan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menikahinya, beliau menginap bersamanya selama tiga hari dan beliau bersabda kepada Ummu Salamah, “Hal ini aku lakukan bukan sebagai penghinaan kepada keluargamu. Bila memang engkau mau, aku akan menginap bersamamu selama tujuh hari, namun aku pun akan menggilir istri-istriku yang lain selama tujuh hari.”
E. Wajib menyamakan nafkah
Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila istri-istri tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka maka tidak apa-apa.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada istri-istri beliau segenggam-segenggam.
Bahkan ada keterangan yang dibawakan oleh Jarir bahwa ada seseorang yang berpoligami menyamakan nafkah untuk istri-istrinya sampai-sampai makanan atau gandum yang tidak bisa ditakar / ditimbang karena terlalu sedikit, beliau tetap membaginya tangan pertangan.
F. Undian ketika safar
Bila seorang suami hendak melakukan safar dan tidak membawa semua istrinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan siapa yang akan menyertainya dalam safar tersebut.
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan bahwa kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan diajak dalam safar tersebut.
Imam Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seoarang yang safar dan membawa semua istrinya atau menginggalkan semua istrinya, maka tidak memerlukan undian.
Jika suami membawa lebih dari satu istrinya, maka ia harus menyamakan giliran sebagaimana ia menyamakan diantara mereka ketika tidak dalam keadaan safar.
G. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ di antara para istri
Seorang suami tidak dibebankan kewajiban untuk menyamakan cinta dan jima’ di antara para istrinya. Yang wajib bagi dia memberikan giliran kepada istri-istrinya secara adil.
Ayat “Dan kamu sekali-kali tiadak dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin demikian” ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa manusia tidak akan sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada perbedaan dalam rasa cinta, syahwat, dan jima’.
Ayat ini turun pada Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat mencintainya melebihi istri-istri yang lain. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, “Ya Allah inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah engkaucela aku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki, yaitu hati.”
Muhammad bin Sirrin pernah menanyakan ayat tersebut kepada Ubaidah, dan dijawab bahwa maksud surat An Nisaa’ ayat 29 tersebut dalam masalah cinta dan bersetubuh. Abu Bakar bin Arabiy menyatakan bahwa adil dalam masalah cinta diluar kesanggupan seseorang. Cinta merupakan anugerah dari Allah dan berada dalam tangan-Nya, begitu juga dengan bersetubuh, terkadang bergairah dengan istri yang satu namun terkadang tidak. Hal ini diperbolehkan asal bukan disengaja, sebab berada diluar kemampuan seseorang.
Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan cinta diantara istri-istrinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat dikuasai. Aisyah Radhiyallahu 'Anha merupakan istri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para istri dalam masalah jima’ karena jima’ terjadi karena adanya cinta dan kecondongan. Dan perkara cinta berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala, Zat yang membolak-balikkan hati. Jika seorang suami meninggalkan jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut dimaafkan. Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bila dimungkinkan untuk menyamakan dalam masalah jima, maka hal tersebut lebih baik, utama, dan lebih mendekati sikap adil.
Penulis Fiqh Sunnah menyarankan; meskipun demikian, hendaknya seoarang suami memenuhi kebutuhan jima istrinya sesuai kadar kemampuannya.
Imam al Jashshaash rahimahullah dalam Ahkam Al Qur’an menyatakan bahwa, “Dijadikan sebagian hak istri adalah menyembunyikan perasaan lebih mencintai salah satu istri terhadap istri yang lain.”
Saran
Seorang suami yang hendak melakukan poligami hendaknya melihat kemampuan pada dirinya sendiri, jangan sampai pahala yang dinginkan ketika melakukan poligami malah berbalik dengan dosa dan kerugian. Dalam sebuah hadits disebutkan (yang artinya) “Barangsiapa yang mempunyai dua istri, lalu ia lebih condong kepada salah satunya dibandingkan dengan yang lain, maka pada hari Kiamat akan datang dalam keadaan salah satu pundaknya lumpuh miring sebelah.” (HR. Lima)
Allahu A’lam; Semoga bermanfaat
--------------------------------------------------------------------------------
Referensi: ü Al-Sheikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, 2003, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor ü Al-Wazan, Amin bin Yahya, 2004, “Fatwa-Fatwa tentang Wanita Jilid 2”, Darul Haq, Jakarta ü As Sa’dani , As Sayyid bin Abdul Aziz, 2004, “Istriku Menikahkanku”, Darul Falah, Jakarta ü As Salafiyah , Ummu Salamah, 1425 H, Persembahan Untukmu Duhai Muslimah, , Pustaka Haura, Jogjakarta ü Sabiq, Sayyid, tt, “Fikih Sunnah 6”, cet. Ke-15, PT Al Ma’arif, Bandung ü Tim Konsultan Majalah Nikah, 2004, “Nyerobot Bisa Bikin Repot, “ , Majalah Nikah Vol.3, No.9, Desember 2004, Sukoharjo

Di Tengah iftiraqul Ummah (Perpecahan Umat)

Di Tengah Iftiraqul Ummah (Perpecahan Umat)
Mengapa umat Islam berpecah? Bukankah Islam agama yang haq? Bagaimana kita menyikapi perpecahan ummat? Apa yang harus kita lakukan? Berikut ulasannya

“Beruntunglah orang-orang asing yang mereka memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh manusia sesudahku dari sunnahku.” (HR At-Tirmidzi)

Iftiraqul ummah adalah takdir Allah
Iftiraqul ummah (perpecahan umat) adalah sebuah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti terjadi. Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits yang mutawatir:
“Terpecah umat Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan, dan terpecah umat Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan, dan akan terpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (1)
Bukti kebenaran akan hadits ini, telah mulai tampak ketika munculnya pemahaman sesat akidah Saba’iyah (akidah Khawarij dan Syi’ah). Inilah hal pertama yang didengar kaum muslimin, dan didengar pula oleh para shahabat tentang akidah iftiraq dan benih-benih firqah di kalangan muslimin yang ditiupkan oleh para pemeluknya. Dan benih-benih iftiraq ini terus tumbuh dan berkembang hingga munculnya firqah-firqah Qadariyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Dan sungguh, hal yang demikian ini terus menerus terjadi hingga masa sekarang. Hal ini semakin tampak nyata dengan lahirnya harakah-harakah dengan membawa fikrah masing-masing.
Mensikapi iftiraqul ummah
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mentakdirkan terjadinya iftiraqul ummah telah memberikan bimbingan agar umat tidak tenggelam dalam fitnah ini. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“ … Barangsiapa di antara kalian berumur panjang, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka tetaplah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. …”(2)
1. Maka sikap kita yang pertama adalah tetap bepegangan pada sunnah Rasulullah Sholallohu Alaihi Wassalam dan para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Maka dalam memahami dien ini kita harus senantiasa meruju’ kepada apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah Sholallohu Alaihi Wassalam dengan pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in. Walaupun pemahaman itu berbeda dan ditentang oleh kebanyakan manusia, maka tetaplah berpegangan kepadanya. Sungguh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan bahwa Islam ini pada awal kedatangannya adalah asing dan pada suatu saat nanti akan kembali dianggap asing (diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya: (145) dari Abu Hurairah), sebuah keadaan dimana orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah seakan menggenggam bara api, barangsiapa beramal pada hari-hari semacam ini maka pahalanya seperti pahala amalan 50 orang shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang masyhur:
“Akan suatu pada manusia suatu jaman, orang yang sabar (istiqamah) di atas agamanya pada jaman ini seperti memegang bara api.”(3)
“Sesungguhnya di belakang kalian ada suatu hari, kesabaran di dalamnya seperti memegang bara api, orang yang beramal pada hari-hari semacam ini pahalanya seperti 50 orang yang beramal seperti amalnya kalian.”(4)
Berkata Ath-Thibi tentang hadits ini: “Maknanya sebagaimana tidak mampunya seorang pemegang bara api untuk sabar karena menghanguskan tangannya seperti itu pula keadaan seorang yang beragama, pada hari itu, tidak mampu untuk tetap di atas agamanya karena banyaknya pelaku maksiat dan pelaku maksiat, tersebarnya kafasikan dan lemahnya iman.”
Berkata pula Al Qari: “Yang jelas bahwa makna hadits adalah sebagaimana tidak mungkin bagi seseorang untuk memegang bara api kecuali dengan kesabaran yang besar dan menanggung banyak kesusahan. Demikian pula di jaman itu tidak akan tergambar dalam benak seseorang untuk menjaga agamanya dan cahaya imannya kecuali dengan kesabaran yang besar.”
Akan tetapi, walaupun demikian keadaannya, Allah yang Maha Berkuasa atas segala-galanya tidak akan membiarkan umat ini musnah dari muka bumi. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang terang-terangan di atas kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang yang mencemoohnya sampai datang urusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian”(5)
2. Hal kedua yang harus kita lakukan ketika fitnah ini terjadi adalah tinggalkan semua golongan (firqah) yang ada, sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah:
“Bahwasanya ketika manusia bertanya kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena khawatir akan menimpa diriku, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan, maka Allah datangkan kepada kami kebaikan, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, tapi padanya ada dakhan (kotoran)”. Aku berkata, “Apa dakhannya?”. Beliau menjawab, “Kaum yang mengerjakan sunnah bukan dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau kenali mereka tapi engkau ingkari”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kebaikan tersebut akan muncul kejelekan lagi?” Beliau menjawab, “Ya, adanya dai-dai yang berada di atas pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi panggilannya akan dilemparkan ke neraka jahannam”. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam terangkan ciri-ciri mereka”. Beliau berkata, “Mereka adalah suatu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita, bahasanya juga sama dengan bahasa kita”. Aku berkata, “Apa yang engkau perintahkan jika aku mengalami jaman seperti itu?” Beliau berkata, “Berpeganglah dengan jama'ah muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya, “Bagaimana jika tidak ada jama’ah dan imam?” Beliau menjawab, “Tinggalkan semua firqah, meskipun kamu harus menggigit akar pohon hingga kamu mati dan kamu dalam keadaan seperti itu .”(6)
3.Hal ketiga adalah senantiasa menyeru manusia kepada al haqq, saling bertawashaw bil haqq wa tawashaw bish-shabr (saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran). Inilah kewajiban yang tetap ada pada diri kaum muslimin kepada sesama mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Dan saling nasihat-menasihatilah engkau dengan kebenaran dan dengan kesabaran.’ (QS Al ‘Ashr: 4)
Dalam mensikapi perbedaan pemahaman yang ada, maka kewajiban ini tetap wajib diamalkan. Bukan seperti pendapat sebagian orang, “Kita bekerjasama terhadap apa-apa yang kita sepakati dan kita saling tasamuh (toleransi) terhadap perbedaan yang ada.” Perkataan ini benar jika perbedaan yang ada adalah hal-hal yang memang merupakan ikhtilaf tanawu’ yang bisa ditolerir, sedangkan untuk perkara yang telah menjadi ijma’ aimmah ahlus sunnah wal jama’ah dan kaum muslimin, maka tidak ada lagi kata tasamuh. Mereka harus diberi peringatan, ditegakkan hujjah kepada mereka (iqamatul hujjah) dan jika tetap tidak mau mengikuti pemahaman yang lurus, maka mereka wajib diberi sangsi dan umat harus ditahdzir akan kesesatan yang ada pada mereka serta bahayanya bergaul dengan mereka. Sebagaimana Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu telah memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.
Sedangkan jika perbedaan pemahaman yang ada seputar masalah fiqih atau pun hal-hal yang lain sifatnya ijtihadiyah, maka wajib di antara muslimin untuk mempertemukan perbedaan itu dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari yang lebih dekat kepada al-haqq. Jika upaya ini tetap tidak bisa mempersatukan pemahaman yang ada, maka hendaknya masing-masing memahami menurut keyakinan masing-masing tanpa saling cela, saling caci, dan tetap saling menghormati. Sebagaimana yang telah banyak dipraktekkan pada shahabat. Sebagai contoh: ketika dalam penyerangan Bani Quraidhah. Sewaktu hendak berangkat Nabi shalallaahu’alaihi wasallam berpesan agar para shahabat tidak shalat kecuali setelah tiba di tujuan. Tapi ternyata sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidhah waktu shalat Ashar sudah tiba. Maka sebagian shahabat mengerjakan shalat di tengah perjalanan, dengan alasan Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh mengakhirkan shalat. Yang lain memegangi ucapan Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam, yakni tidak mengerjakan shalat hingga tiba di tujuan, walau sudah habis waktunya. Ketika yang demikian sampai kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka beliau tidak mencela satu pun dari keduanya.(7)
Demikian pula ketika Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Ubay bin Ka’ab tentang sahkah shalat dengan memakai satu baju? Maka ketika mendengar perdebatan mereka Umar keluar dengan marah dan berkata: “Dua orang dari Rasulullah Sholallohu Alaihi Wassalam telah berselisih, yaitu di antara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil dari Rasul. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi aku tidak mau mendengar ada orang yang berselisih tentang hal itu setelah ini, kecuali aku mengerjakannya begini dan begitu.”(8)
4.Hal keempat yang mesti kita lakukan di tengah iftiraqul ummah ini adalah tetap berupaya untuk menjaga persatuan di antara kaum muslimin. Walaupun iftiraqul ummah adalah sebuah kepastian dan bagaimana pun usaha kita untuk mencegahnya maka iftiraqul ummah ini tetap akan terjadi, akan tetapi hal ini tidaklah menafikan kewajiban kita untuk tetap berpegang teguh kepada tali Allah dan menjaga persatuan di kalangan umat Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: “Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah seluruhnya, dan hangan berpecah belah.” (QS Ali Imran: 103)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al Qur’an. Sedangkan lafazh walaa tafarraquu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untuk berjama’ah dan melarang perpecahan.(9)
Dan perintah bersatu di sini bukanlah persatuan kelompok (firqah) tertentu yang kemudian saling membanggakan kelompoknya masing-masing. Dan menganggap yang di luar kelompoknya berarti bukan saudaranya dan lantas disikapi dengan sikap seperti orang kafir. Akan tetapi adalah kesatuan kaum muslimin yang berlandaskan aqidah dan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Wallaahu a’lam bish shawab.
Penjelasan tentang haditsul iftiraq
Terkait masalah haditsul iftiraq, dimana umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang mereka semua berada di dalam neraka, kecuali satu yang selamat yakni Al Jama’ah. Maka jumhur ulama mengatakan, bahwa masuknya mereka ke dalam neraka ini tidaklah kekal, akan tetapi hanya sementara. Jadi, bid’ah-bid’ah yang ada pada diri mereka tidaklah menyebabkan mereka keluar dari Islam, bid’ah itu tidak sampai menjatuhkan mereka dalam kekufuran (bid’ah mukaffirah) akan tetapi hanya sampai pada tingkatan fusuq (bid’ah muharramah). Maka mereka tetaplah muslimin, sehingga tetap ada kewajiban untuk berwala’ terhadap mereka dan ada pula kewajiban bara’ terhadap mereka sesuai dengan tingkat penyimpangan yang ada pada mereka.
Panitia Tetap Al Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta yang terdiri dari: Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz, Syaikh Abdurrazaq Al Afify, Syaikh Abdullah bin Ghadyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud memfatwakan mengenai harakah-harakah yang ada saat ini, “… secara umum, setiap jama’ah mempunyai kesalahan dan kebenaran. Anda boleh bergaul dengan jama’ah manapun selagi di sana ada kebenaran dan menghindari jama’ah yang banyak kesalahannya. Tetapi tetap harus saling memberi nasihat, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.”(10)
Maka para ulama menasihatkan kepada para ahlul ‘ilm untuk turut bersama mereka dan meluruskan mereka dari penyimpangan-penyimpangan yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullaah, “…Jika manusia memiliki ilmu dan pemahaman keluar bersama mereka untuk menyampaikan ilmu dan pengingkaran dan nasihat kepada kebaikan serta mengajari mereka sampai mereka itu meninggalkan madzhab bathilnya dan meyakini madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka diperbolehkan.”
Dan sungguh, hanya Allahlah yang Maha Mengetahui siapakah di antara harakah-harakah yang ada yang paling dekat kepada kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al Kahfi: 503-104)
Dan demi Allah, tidak ada jaminan bagi siapa pun bahwa dialah yang berada pada kebenaran. Kewajiban kita adalah berupaya semaksimal mungkin agar selalu berada dalam shiraathal mustaqiim.
Sebuah manhaj (metodologi) dalam memahani dien
Dalam meniti jalan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi bimbingan:
“… yaitu mereka yang mendengarkan perkataan yang baik, dan mengikuti yang terbaik diantaranya.” (QS Az Zumar:18)
Maka mencari ilmu dari ahlul ilmi dari mana pun adalah sebuah kebaikan, karena hikmah itu adalah milik muslim yang hilang, maka ambillah ia dari mana pun engkau mendapatkannya. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “… Terimalah kebenaran itu apabila engkau mendengarkannya, karena atas kebenaran itu ada cahaya.” (11)
Tolok ukur kita dalam menilai kebenaran, yang pertama adalah ada tidaknya dalil tentangnya karena Rasulullah Sholallohu Alaihi Wassalam mengatakan: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR Mutafaqun ‘alaih)
Kemudian yang kedua, sesuaikah dengan pemahaman para salafush-shalih yang Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang mereka: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi orang-orang sesudahnya, dan kemudian orang-oyang yang sesudahnya.” (HR Arba’ah)
Allah Tabaraka Wa Ta’ala pun mengatakan tentang pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in dengan firman-Nya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan.” (QS Al Baqarah: 137)
Seandainya apa yang kita pahami sesuai dengan pemahaman mereka maka itulah al-haqq, maka siapa pun yang berada di atas pemahaman ini maka merekalah yang disebut al-firqatun najiyah, merekalah as-sawaadul a’zham, dan itulah al-jama’ah, sebagaimana dikatakan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap yang mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” ; “Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin” (HR Abu Daud dan Tirmidzi). Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu: “Al Jama’ah itu ialah setiap yang sesuai dengan al-haqq walau engkau seorang diri.” Dalam riwayat yang lain dikatakan: “Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walaupun engkau sendirian.” Ibnu Khallal rahimahullaah mengatakan: “Al Jama’ah ialah Jama’atul Muslimin, yaitu para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai Hari Akhir. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka adalah sesat.”
Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa yang demikian (yakni mengambil ‘ilmu dari beberapa harakah yang ada) maka dia seperti pemulung, sungguh, dia adalah orang yang ‘sangat mengenal’ diennya sehingga dia berani menyamakan dien-nya sebagai sampah dan betapa dia sangat memuliakan harakahnya, yakni dengan menyamakannya dengan keranjang sampah yang para pemulung dapat mengambil sampah daripadanya. Allahu Ta’ala A’lamu Bish-shawab.
Semoga Allah senantiasa membimbing umat ini agar selalu bersatu di atas bendera sunnah, dan berdiri di atas landasan aqidah ash-shahihah, serta menyeru manusia dengan manhaj sunnah dan di atas jalan nubuwwah. Ushikum wa nafsi bitaqwallaah. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Foot note:
1. Hadits ini masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah banyak shahabat, dikeluarkan oleh imam-imam yang adil, yang hafal hadits seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya’la al Muushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu Bathah, al-Ajiri, ad-Darimi dan al-Lalikai. Juga dishahihkan oleh sejumlah besar ahli ilmu, seperti At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, As-Suyuti, dan Asy-Syatibi.
2. HR Nasa’I dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH. Lihat Kitab Firqah Najiyah oleh Syaikh Jamil Zainu.
3. Dikeluarkan oleh At Tirmidzi: (2260) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra: (195) dari Anas radhiyallaahu ‘anhu..
4. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah: (XIV/344) dan dalam tafsir: (III/110) dengan lafazh yang panjang.
5. Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini: (1920) dan Abu Dawud: (4252) dengan tambahan: “Tidak akan memadharatkan mereka orang-orang yang menyelisihinya.”, dan tambahan yang panjang di awalnya. Dikeluarkan pula oleh At Tirmidzi: (2229) secara ringkas dan dia fenshahihkannya, dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah: (10) dengan lafazx yang panjang dan dikeluarkan oleh Imam Ahmad: (V/276) dengan lafazh yang panjang dan dalam (V/247) secara ringkas, dll.
6. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, 3606, Muslim dalam Shahih-nya (1847), Imam Ahmad dengan panjang (V/386), 403 dan secara ringkas (V/391,396), dengan ringkas dengan lafazh-lafazh yang berbeda-beda (V/494), Abu Dawud As-Sijistani (3244), dengan lafazh berbeda (4246) dan An-Nasa’I dalam Al Kubra (V/17,18).
7. Lihat: Al Jami’ush Shahih Bukhari-Muslim.
8. Ibnu ‘Abdi ‘l-Bar di dalam Jami’u Bayani ‘l ‘Ilmi, 2/83-84
9. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir Juz 1.
10. Lihat: Al jama’ah Menurut Ulama Salaf dan Khalaf oleh DR Abdur-Rahman bin Khalifah Asy-Syayaji. Terdapat dalam kaset Ta’qieb Samahatul ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Nadwah (ad-Du’at), lihat kitab An-Nashrul ‘Aaiz hal 173 oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullaah.
11. Syaikh Al-‘Allamah Ay-Mujaddid Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan tentang hadits ini: “Shahih, sanadnya mauquf (yakni ucapan Mu’adz).” Terdapat dalam Shahih Abi Dawud, jilid 3, hal 872, hadits ke 3855.

Al faqiru ilallaah,
Abu Syifa ( Zaenal A. Syukur )
d.a.
Zaenal A. S.
1. Fakultas Teknik Jurusan Teknfk Sipil (Angkatan ’98) UNS Jl Ir Sutami No 36 A Kentingan Surakarta 97126
2. Ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq ‘Aliy Universitas Muhammadiyah Surakarta
3. Kleco Rt 02/I Kadipiro Surakarta 57136
4. E-mail: zaenal_as@eramuslim.com

“Ikhwah fillaah, segala koreksi atas kesalahan penulisan dan penyimpangan pemahaman yang ada mohon disampaikan kepada penulis. Jazaakumullaahu khairan katsiiran.”

[Kontributor : Abu Syifa, 22 Oktober 2005 ]

Tipisnya Antara Ta’ashub Dan Dzhahirina ’Ala Al Haq

Tipisnya Antara Ta’ashub Dan Dzhahirina ’Ala Al Haq

” Pendapat syaikh Fulan adalah haq (benar) atau Kelompok kajian kami jauh dari kesalahan dan mendekati kebenaran, sebab …. ” Inilah yang seringkali kita temukan baik seseorang ataupun kelompok manusia yang sangat kuat dalam memegang suatu keyakinan atau sangat berkeyakinan bahwa pendapat syaikh Fulan atau golongannya adalah al haq (benar), dan yang lainnya adalah ”keliru, salah, bathil, ahli bid’ah, dhallu mudhillun dan lain sebagainya ”. Sehingga membuat kita sangat sulit dan bingung atau bahkan terkecoh untuk membedakan antara seseorang itu adalah muta’ashib (bersikap ta’ashub) atau seseorang itu berdiri tegak di atas Al-Haq. Karena tipisnya perbedaan antara ta’ashub dan Dhzahirina ’ala al Haq ini tiada berbeda dengan tipisnya antara as syirik dengan at tauhid, al haq dengan al bathil, as sunnah dengan bid’ah, al jama’ah dengan al firqah dan lain sebagainya.

Agar terlepas dari kebingungan, karena memang tiada satupun ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun sunnah-sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam yang berisikan perintah ataupun anjuran untuk bingung sehingga terkecoh dalam hal memilih antara al haq ataupun sebaliknya al bathil marilah kita coba untuk kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam secara kaffah dengan menuntut al ‘ilmu ashli ad dien secara baik dan benar dengan keikhlashan dan keshabaran serta bersungguh-sungguh.

Kebalikan dari ta’ashub adalah kokoh di atas kebenaran dan berpegang teguh padanya. Kadang-kadang dalam kehidupan yang nyata, makna keduanya hampir sama, maka tidak bisa dibedakan kecuali dengan pandangan yang jeli dan teliti (al ‘ilmu-red). Kadang kala kita melihat sebagian orang memuji ta’ashub dan beranggapan bahwa ta’ashub itu menunjukkan kekuatan iman dan kekokohan aqidah. Sebaliknya kita lihat pula sebagian orang mencela orang-orang yang berpegang teguh pada al-haq dan menggelari mereka dengan gelar jumud dan ta’ashub. Yang benar, keduanya mempunyai perbedaan yang sangat jauh, baik asal-usul timbulnya, caranya dan hasilnya.

Adapun yang menimbulkan ta’ashub adalah dha’fu an-nafs (kelemahan jiwa/diri) dan kedangkalan akal. Sedangkan yang menimbulkan sikap berpegang kepada al-haq adalah kemantapan pendapat (al-qana’ah bi ar-ra’yi) dan jelasnya dalil.

Tata cara orang-orang yang ta’ashub adalah membendung serta menghalang-halangi usaha-usaha mengetahui atau mendengarkan dalil atau membandingkan dalil yang digunakan oleh orang yang berbeda pendapat dengannya. Sedangkan tata cara orang yang berpegang teguh pada al-haq adalah al-munaqasyah al-hurr (kebebasan bertukar pikir) dan mendengarkan dalil dari orang yang menyelisihinya dengan lapang dada serta membantah lawan bicara dengan mengharapkan supaya orang yang berbeda pendapat dengannya mendapat petunjuk dan tidak menghendaki kekalahannya.

Buah dari ta’ashub adalah perselisihan dan perpecahan serta saling membenci. Sedangkan buah dari berpegang teguh kepada kebenaran adalah kebersatuan di atas al-haq dan kembalinya orang-orang yang bersalah kepada al-haq.

Penjelasan mengenai perbedaan yang besar antara istilah ats-tsabit ‘ala al-haq wa al-mutamasik bihi (orang yang kokoh di atas kebenaran dan berpegang teguh padanya) dengan al-muta’ashib (orang yang ta’ashub), bukanlah dimaksudkan untuk menilai orang per orang, tetapi hendaklah dengannya kita bisa mawas diri dan kemudian bertanya kepada diri sendiri apakah jalan kita sudah benar atau sesuai dengan syariat Islam yang sebenar-benarnya. Yaitu mengenal islam melalui dalil-dalilnya yang shohih atau kita mengaku berpegang teguh dalam jalan Islam tetapi pada kenyataannya berjalan di atas jalan oran-orang ahli bid’ah. Yakni dengan berta’ashub kepada seseorang tertentu (selain Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam) atau kelompok tertentu.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). (QS: Al-A’raf: 3)

Dan firman-Nya pula, yang artinya: “Katakanlah: “Ta’atlah kepada Alloh dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Alloh) dengan terang.” (QS: An-Nuur: 54)

Dalam ayat ini Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesaksian pada orang-orang yang menaati Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bahwa Dia akan memberinya petunjuk. Sedang menurut kesesatan orang-orang muqallid/muta’ashib adalah bahwa orang-orang yang menaati Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bukanlah orang-orang yang diberi petunjuk, tetapi yang diberi petunjuk adalah orang-orang yang menyeleweng dari sabda-sabdanya dan membenci sunnah-sunnahnya dan berpaling kepada madzhab tertentu secara membabi buta atau pendapat golongan tertentu atau syaikh tertentu serta yang semacamnya.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, yang artinya: “Demikian Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (al-qur’an). Barangsiapa berpaling darinya maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat,” (QS: Thaahaa: 99-101)

Dan juga dalam firman-Nya, yang artinya: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat ?” Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan. Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Rabbnya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (QS: Thaahaa: 124-127)

Dan semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala merahmati al-Imam asy-Syafi’I yang telah mengatakan: “Kaum Muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang jelas baginya sunnah Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah boleh baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”

Hal ini karena tidak seorangpun yang ma’shum sepeninggalnya Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Semua seperti dikatakan Imam Malik Rahimahulloh: “Tidak seorangpun setelah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam kecuali dapat diambil dan ditinggalkan ucapannya, selain Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.”

Bahkan tidak boleh bagi Kaum Muslimin untuk bersikap tawaqquf (berdiam diri dari menerima atau menolak). Tetapi harus menerimanya dengan penuh penerimaan (terhadap apa yang telah jelas datangnya dari Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam), hal mana tidak demikian itu terhadap yang lainnya. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “…. Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah …” (QS: Al Hasyr: 7)

(Sumber Rujukan: Wujub Luzum al-Jama’ah dan Muqaddimah fi Asbab Ikhtilaf al-Muslimin wa Tafaruqihim)

Mengenal Sekilas Tentang Ta’ashub

Mengenal Sekilas Tentang Ta’ashub



Ta’ashub bukanlah sebuah kenikmatan ataupun sebuah keagungan melainkan sebuah penyakit yang secara sadar atau tidak sadar mampu menginfeksi siapa saja. Penyakit ini termasuk penyakit yang berbahaya dan memiliki kemampuan untuk merusak tatanan syariat Islam. Karena itu, sudah sewajarnya kita mencoba mengenal, mempelajari, memahami, mengintropeksi diri dan menjauhi hal ini serta memohon perlindungan Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar kita selalu terlindungi darinya.

Kata ta’ashub secara bahasa berasal dari kata Al-‘Ashabiyah yang berarti semangat golongan. Sedang kata Ta’ashaba berarti pengencangan pembalut, atau perkumpulan atau ikatan. Dan Ta’ashaba bi as-syai’ artinya radhiya bihi (rela terhadapnya).

Adapun secara istilah, sebagaimana dikatakan dalam kitab Wujub Luzum al-Jama’ah, menukil ucapan Asy-Syaukani, adalah: “Apabila engkau menjadikan apa yang datang dari seseorang yang berupa pendapat atau apa yang diriwayatkannya berupa ijtihad sebagai hujjah bagimu dan bagi semua orang.” Atau apa yang dikatakan oleh yang lainnya: “(Yaitu) kebiasaan dari kebiasaan-kebiasaan orang-orang yang lemah dan celah dari celah-celah kebodohan. Dimana jika seseorang tertimpa olehnya, akan membutakan mata dan akan merampas akalnya. Maka orang ini tidak bisa melihat kebaikan kecuali apa yang baik menurutnya, tidak bisa melihat kebenaran kecuali yang sesuai dengan madzhabnya atau orang-orang yang berta’ashub padanya.”

Dari pengertian di atas menunjukkan bahwa orang yang tertimpa ta’ashub golongan atau ta’ashub syakhshi (orang tertentu selain Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam) akan tergelincir pada kesesatan dan enggan untuk mengikuti al-Haq/al-Huda. Sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala gambarkan dalam firman-Nya, yang artinya: “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami telah menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) berkata: Apakah kamu akan mengikuti juga sekalipun aku membawa untukmu agama yang lebih nyata memberi petunjuk dari pada apa yang kamu dapati dari bapak-bapakmu menganutnya ? Mereka menjawab: Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.”(QS: Az-Zukhruf: 23-24)

As-Sa’di berkata dalam tafsirnya: “Ini adalah cara orang-orang musyrik yang sesat berargumentasi terhadap taqlidnya terhadap nenek moyang mereka yang sesat pula. Mereka tidak mempunyai maksud untuk mengikuti kebenaran dan petunjuk, tetapi yang mereka inginkan adalah ta’ashub (fanatisme), dan melestarikan kesesatan/kebathilan yang mereka anut selama ini.”

Dalam ayat ini Alloh Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan bahwa ta’ashub benar-benar bisa membutakan mata dan merampas akal sehat sehingga barang siapa yang ada padanya penyakit ini maka dia tidak bisa lagi melihat kebenaran dan petunjuk.

(Sumber Rujukan: Wujub Luzum al-Jama’ah)

Kamis, Maret 20, 2008

Ta’âruf Syar’i: Solusi Pengganti Pacaran

Penulis: Al-Ustâdz Abû ‘Abdillâh Muhammad Al-Makassarî

Pertanyaan:

1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?

2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?

3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya?

Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:

بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ

Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.

Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil -bangsa yang terlaknat- berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ

“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)

Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:

1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah1. Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)

Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya -karena seluruh tubuh wanita adalah aurat- sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj2 karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya3:

وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur4 untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ

“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)

Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)

2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami?”5 Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)6

3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”

Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata7. Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً

“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)

Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ

“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)

Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ - إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى - وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ…

“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan) -hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”

Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ

“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.

Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا

“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)

Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.

Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).

Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ

“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya8. Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)

Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”

Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus9.

Wallahu a’lam.

Footnote:

1 Sebagaimana dalam hadits Hafshah radhiyallahu ‘anha yang muttafaq ‘alaih:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ

“Sesungguhnya setan itu beredar dalam tubuh Bani Âdam mengikuti peredaran darah.” (pen.)
2 Tabarruj adalah memamerkan perhiasan dan bagian-bagian tubuh yang indah dan menarik serta bagian tubuh lainnya yang mengundang syahwat lelaki, yang seharusnya ditutup. (Lihat Jilbâbul Mar’ah Al-Muslimah, hal. 120)
3 Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad (2/309), dishahihkan oleh Al-Albani dengan syawahid (penguat-penguat)-nya dalam Al-Irwa’ (2/293)
4 Bakhur yaitu pengharum ruangan berupa asap dari kayu tertentu yang harum dan dibakar.
5 Seperti ipar, anak ipar, paman suami, sepupu suami, dan seterusnya yang tidak termasuk mahram. Yakni, apakah boleh bagi seseorang untuk membiarkan salah seorang kerabatnya yang bukan mahram untuk berkhalwat dengan istrinya?
6 Sanadnya memiliki dua kelemahan: 1) Abdullah bin Lahi’ah, seorang perawi yang lemah, 2) Abû Zubair, seorang perawi yang mudallis dan dia meriwayatkan dengan ‘an’anah (tidak mempertegas bahwa dia mendengarnya dari syaikhnya). Namun hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) sehingga dihasankan oleh Al-Albânî dalam Al-Irwa’ (6/215-216).
7 Dalam masalah seorang lelaki memandang wajah dan telapak tangan wanita dewasa yang bukan mahram, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat haram secara mutlak. Ada yang berpendapat boleh dengan syarat tidak dikhawatirkan fitnah (godaan) dan tidak bermaksud menikmati (An-Nazhor fi Hukmin Nazhor, hal. 323). Selain itu juga ada pendapat yang lain. Lihat Ar-Raddul Mufhim (hal. 115), karya Al-Albani. (ed)
8 Ini adalah kiasan dan ada dua penafsiran yang masyhur tentang maknanya: 1) Banyak safar, 2) Banyak memukul wanita, dan ini yang lebih tepat berdasarkan riwayat Muslim yang lain dengan lafadz:

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ

“Adapun Abu Jahm, dia itu banyak memukul wanita.” (Lihat Syarhu Muslim lin Nawawî, syarah hadits no. 1480)
9 Kami telah membahasnya pada jawaban Problema Anda edisi lalu.

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol.III/No.29/1428H/2007, Kategori: Problema Anda, hal. 65-70. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=425 dengan penambahan footnote oleh http://akhwat.web.id.

Hak-Hak Wanita yang Sempurna dalam Islam dan Hijab yang Syar’i

Oleh : Asy Syaikh Hasyim bin Hamid ‘Ajil Ar Rifa’iy

Hak-hak ini semua tidak terdapat dalam faham yang menamakan dirinya “faham modern”, yang menyerukan ‘Emansipasi Wanita’ itu. (Bahkan sebaliknya) mereka mengatakan bahwa Islam menghilangkan hak-hak wanita dan memenjarakannya di dalam rumah.

Apakah karena Islam tidak menjadikan wanita sebagai dagangan murah yang bisa dinikmati setiap pandangan mata dan pemuas nafsu mereka yang bejat itu?

Inikah kebebasan yang mereka kumandangkan? Dan inikah hak yang mereka tuntut?

Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang :

1. Bidang Kemanusiaan :
Islam mengakui haknya sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria. Umat-umat yang lampau mengingkari permasalahan ini.

2. Bidang Sosial :
Telah terbuka lebar bagi mereka (terpisah dari kaum pria, pent) di segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak mereka, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi seorang ibu yang menginjak lansia, yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan.

3. Bidang Hukum
Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.

Hak-hak ini semua tidak terdapat dalam faham yang menamakan dirinya “faham modern”, yang menyerukan ‘Emansipasi Wanita’ itu. (Bahkan sebaliknya) mereka mengatakan bahwa Islam menghilangkan hak-hak wanita dan memenjarakannya di dalam rumah.

Apakah karena Islam tidak menjadikan wanita sebagai dagangan murah yang bisa dinikmati setiap pandangan mata dan pemuas nafsu mereka yang bejat itu?

Inikah kebebasan yang mereka kumandangkan? Dan inikah hak yang mereka tuntut? Apakah mereka menginginkan kita mengeluarkan puteri-puteri dan isteri-isteri kita ke jalan raya dengan pakaian telanjang, bercampur baur dengan kaum pria? Lalu di mana rasa cemburu terhadap kehormatan dan harga diri kita?

Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka dan pendukung mereka, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Imam Bukhari, dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu:

” إن ما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى , إذا لم تستح فاصنع ما شئت ”

“Sesungguhnya termasuk yang didapati manusia dari salah satu ucapan kenabian yang terdahulu adalah : jika kamu tidak mempunyai perasaan malu, maka berbuatlah semaumu”.

Demi Allah! Yang demikian itu berarti terjerumus ke dalam rayuan dan ajakan Salibis yang dengki dan Zionis yang jahat.

Tidaklah mereka itu, melainkan corong-corong yang berbunyi menurut perintah bos-nya dari Barat dan Timur, untuk menghancurkan kita dalam beragama Islam.

Dan saya mengatakan dengan tegas, sesungguhnya mereka itu tidak menyerukan kebebasan dan hak-hak wanita, karena Allah Azza wa Jalla telah memberikan hak-hak mereka dengan sempurna, tetapi mereka - demi Allah - menyerukan kebebasan tubuh-tubuh wanita agar melanggar batas-batas akhlak yang utama dan adat istiadat yang baik, sehingga tersebarlah kerusakan dan kebejatan moral di muka bumi.

Alangkah jauhnya angan-angan mereka, sementara di sana telah siap putera-putera yang telah bersumpah untuk menjadi tentara Allah yang jujur di jalan agama, untuk mengorbankan segala apa yang ada pada diri mereka.

GUNAKAN HIJABMU WAHAI SAUDARIKU…..

Di bawah ini keterangan bagaimana hijab yang syar’i, yang telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla padamu. jangan biarkan hijab anda seperti apa yang mereka kehendaki, dengan alasan cinta dan kasih sayang.

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menghendaki jilbab itu sebagai penutup tubuhmu dari pandangan matamata serigala, penjaga rasa malu, dan memelihara kehormatanmu. Karena itu, jangan anda campakkan rasa malu itu dengan menjauhi perintah-Nya, sebaliknya pegang teguhlah perintah itu, karena perasaan malu selalu membawa kepada kebaikan.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari - Muslim dari “Imran bin Hushain Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Tidaklah rasa malu itu ada, kecuali selalu mendatangkan kebaikan“.

Demikian juga Imam Hakim dan yang lainnya mengeluarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Perasaan malu dan iman itu selalu berdampingan, bila salah satunya hilang, hilanglah yang lainnya“.

Maka peganglah dengan teguh perkara yang dapat membawa kebaikan dan mendekatkan diri anda kepada Allah Azza wa Jalla. Ketahuilah bahwa kehidupan di dunia ini adalah sementara, sedang kehidupan akhirat adalah kekal/selama-lamanya.jangan anda jual kenikmatan yang abadi itu dengan harta dunia yang sirna ini.

Allah Subhanahu wa ta’ala, berfirman:

وما الحياة الدنيا إلا لعب ولهو وللدار الآخرة خير للذين يتقون أفلا تعقلون

Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahami-nya?” (QS Al An’am : 32).

Berikut ini sifat hijab yang syar’i, saya mohon kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan pertolongan kepada anda untuk memegang teguh padanya, dan menjadikan anda termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikuti jalan yang baik.

1. Hijab itu hendaknya menutupi seluruh badan, dari atas kepala, sampai di bawah mata kaki, kecuali bagian-bagian yang dikecualikan oleh syariat.
2. Hendaknya jilbab itu luas dan longgar, sehingga tidak nampak bentuk tubuh dan anggota-anggota badan.
3. Kain jilbab itu harus tebal, sehingga tidak menampakkan warna kulit atau yang lainnya.
4. Tidak bersifat menghias tubuh yang menarik pandangan pria, karena tujuan jilbab itu sendiri adalah untuk menutupi keindahan tubuh.
5. Tidak menyerupai pakaian pria.
6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.
7. Tidak menyolok dan menarik pandangan orang.
8. Tidak memakai pewangi atau minyak wangi yang tercium baunya.

Demikianlah syarat-syarat jilbab yang Syar’i, yang masing-masing ada dalilnya baik dari Al Qur’an maupun Sunnah, dan sengaja tidak saya cantumkan supaya tidak terlalu panjang pembahasannya.

Untuk lebih jelasnya, saya sarankan anda membaca dengan teliti kitab “Hijabul Mar’atul Muslimah menurut Al Qur’an dan As Sunnah” yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, semoga Allah memanjangkan umur beliau, karena banyak manfaatnya bagi kaum muslimin. (Beliau rahimahullah sudah wafat, semoga ruhnya ditempatkan bersama para syuhada dan shalihin, amin, pent).

Referensi: Buku “Membina Keharmonisan Berumah Tangga Menurut Al Qur’an dan Sunnah dan Bahaya Emansipasi Wanita” Hal. 23-28 Penerbit Cahaya Tauhid Press, Malang)

Kasih Sayang Islâm kepada Kaum Perempuan

Penulis: Al-Ustâdz Abû `Abdillâh Muhammad Yahyâ

Dahulu, kaum jahiliyah sangat merendahkan dan menghina kaum perempuan. Diantara perbuatan mereka adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup. Allah telah mencela mereka karena perbuatan biadab tersebut, Allah berfirman:

يَتَوَارَى مِن الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ (النحل: ٥٩)

Artinya: Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. An-Nahl: 59.

Nabi shallallahu `alaihi wasallam pernah shalat mengimami jamaah dengan menggendong Umamah putri Zainab bintu Rasulillah shallallahu `alaihi wasallam untuk mengajari manusia bahwa perbuatan seperti ini dibolehkan di dalam shalat jika diperlukan dan untuk melunakan watak keras jahiliyah yang dibangun diatas kesombongan dan kecongkakan. Sebab bangsa Arab saat itu kasar terhadap anak wanita bahkan mereka menguburnya hidup-hidup.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُوْلِ اللهِ ، وَلأَبِي العَاصِ بنِ الرَّبِيْعِ بنِ عَبْدِ شَمْسٍ, فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا([۱]

Dari Abu Qatadah Al Anshari radhiallahu ‘anhu bahwa Rasululah shallallahu `alaihi wasallam pernah shalat sambil menggendong Umamah, putri Zainab bintu Rasulillah shallallahu `alaihi wasallam dan Abul Ash bin Rabi’ bin Abdu Syams. Jika sujud, beliau meletakkannya dan jika berdiri, beliau menggendongnya.

Maka celaka dan celaka bagi orang yang menanggap bahwa syariat Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sewenang-wenang terhadap hak wanita, padahal diantara mereka ada yang mengaku muslim.

Seandainya masih ada orang yang memberikan pemahaman kepada mereka bahwa agama yang benar, adil dan menjaga kemaslahatan dan hak-hak individu adalah Islam. Dan apa yang mereka ucapkan, lihat dan dengar dari ajaran Timur dan Barat adalah berasal dari akal yang sakit, hati yang terbalik dan pandangan yang menyimpang. Tiada pengendalinya selain hawa nafsu dan setan.

Syaikhuna Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata:

Islam datang menabur ke dalam hati-hati pemeluknya dengan benih-benih cinta dan kasih sayang terhadap anak-anak perempuan serta menjanjikan kebaikan atas semua itu.

Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Uqbah bin Amir secara marfu’:

((مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَأَطْعَمَهُنَّ وَسَقَاهُنَّ وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَاباً مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ))(۲)

Artinya: “Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, kemudian bersabar terhadap mereka, memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian mereka dari jerih keringatnya, maka ketiganya akan menjadi tameng baginya dari api neraka.”

Kemudian yang wajib bagi para wali adalah berakhlak dengan adab-adab Islam dan mendidik anak-anak perempuannya dengan adab Islam, agar mereka menjadi anggota masyarakat yang shalihah. Pembinaan dan pendidikan ini tidak kurang kewajibannya dari kewajiban memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal yang menjadi kewajiban setiap wali terhadap yang menjadi tanggungjawabnya. Maksudnya, pembinaan tersebut harus berupa bekal ilmu agama.

Adapun mengejar gelar tinggi untuk mencapai karir dan tidak menikah dan (atau) enggan mendapatkan anak dan tidak melaksanakan pekerjaan rumah yang menjadi keharusannya untuk tetap di dalamnya -agar dia menjadi tempat berlabuh bagi suaminya dan menjadi pendidik anak-anaknya-, maka yang demikian ini tidak terpuji. Sebab dia telah meninggalkan tugas islami yang karenanya perempuan itu diciptakan.

Dalam hal ini terdapat beberapa peringatan.

Peringatan pertama: Sesungguhnya yang demikian itu (termasuk) meninggalkan tugas dasar yang karenanya wanita itu diciptakan dan dipersiapkan. Yaitu menjadi tempat berlabuh sang suami yang menambatkan hati kepadanya dan dia menambatkan hati kepada sang suami. Allah Ta’ala berfirman:

وَمِن آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِن أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم :۲۱)

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Ar-Rum: 21.

Sesungguhnya ayat ini adalah bukti terbesar yang menunjukkan bahwa seorang lelaki tidak akan lurus keadaannya dan tidak merasakan indahnya kehidupan melainkan dengan kehidupan rumah tangga yang mulia, demikian pula wanita.

Peringatan kedua: Enggan mendapatkan anak dan keturunan. Keturunan adalah anak-anak, dimana kehidupan rumah tangga tidak terasa indah melainkan dengan keberadaan mereka. Dan Nabi shallallahu `alaihi wasallam telah bersabda:

((تَزَوَّجُوا الوَدُوْدَ الوَلُوْدَ, فَإِنِّي مُكَاثِرُ بِكُمُ الأُمَمَ))

Artinya: “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, sesungguhnya saya bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat.”

Perempuan, bagaimana-pun gelar yang dicapainya, sesungguhnya kehidupannya tidaklah indah kecuali dengan keberadaan anak-anak lelaki dan perempuan.

Saya pernah mendengar bahwa sesungguhnya ada seorang perempuan yang telah menempuh studinya dan berjenjang meraih berbagai gelar sampai dia meraih yang tertinggi. Dan ujung-ujungnya dia berkata: “Ambillah seluruh gelar saya ini dan berikanlah anak untuk saya agar saya bisa bermain-main dengan mereka.”

Sesungguhnya Allah telah menciptakan para perempuan agar mereka menjadi ibu yang mendidik dan pengasuh yang handal. Apabila dia keluar dan meninggalkan tugas ini, niscaya dia akan menyesal setelah itu dan menginginkannya setelah hilang ditelan waktu dan berlalunya masa muda. Fallaahul musta’aan.

Peringatan ketiga: Meninggalkan rumah tanpa penjaga yang amanah dan pengatur yang bijak yang dapat mendatangkan kebaikan kepadanya dan keluarganya serta membentengi dari kerusakan.

Allahu Subhanahu telah memerintahkan para perempuan untuk tetap tinggal di rumah-rumah. Dan seorang istri tidaklah menjadi tempat berlabuh bagi suaminya melainkan jika dia tetap tinggal di rumah, mendidik anak-anak, memelihara rumah mengatur segala urusan rumah dan mempersiapkan kebutuhan suami di dalamnya.

Peringatan keempat: Bahwa yang demikian adalah bertentangan dengan fitrah dan kodrat yang telah ditetapkan oleh Allah kepada para wanita dengan hikmah yang diketahui-Nya. Secara fisik perempuan telah disiapkan untuk tinggal di rumah dan di dalam lingkungan rumah tangga. Jika dia mengeluarkan dirinya dari lingkungan ini, maka dia bermaksiat kepada Penciptanya dan durhaka kepada masyarakatnya.

Jadilah dia menyimpang dengan berpaling dari perintah yang karenanya dia diciptakan. Oleh sebab itu, terdapat di dalam hadits:

((لَعَنَ اللهُ المُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَالمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ))

Artinya: “Allah melaknat kaum perempuan yang menyerupai lelaki dan kaum lelaki yang menyerupai perempuan.”

Sebab masing-masing mereka telah keluar dari fitrah yang telah ditetapkan dan ingin menetapkan fitrahnya sendiri tanpa sesuai dengan yang telah Allah tetapkan kepadanya

Terakhir, sesungguhnya barangsiapa yang menghalangi anak perempuannya dari pernikahan syar’i, maka dia telah berbuat kejahatan yang besar kepadanya dan menjerumuskannya ke dalam perbuatan keji serta mengharamkannya mendapatkan indahnya suami, rumah tangga dan anak-anak.

Dan tidaklah dia menanti melainkan kemurkaan dari Allah dan kerendahan di dunia atau di akherat atau kedua-duanya. Wabillahit-taufiq. Selesai.


Ikhtilat dan Bahayanya

Ikhtilath dan Bahayanya

Oleh: Ummu Salamah bintu ‘Alî As-Salafiyyah

Ajakan untuk mempekerjakan wanita di bidang yang khusus untuk laki-laki yang berkonsekuensi ikhtilath1 merupakan ajakan yang sangat berbahaya, akan berdampak kejelekan, berbuah pahit dan berakibat mengerikan, sama saja apakah hal itu dilakukan secara terang-terangan ataupun tidak dengan alasan tuntutan zaman dan peradaban. Yang pokok dari semua itu, ajakan seperti ini bertentangan dengan nash-nash syar`i yang memerintahkan wanita untuk tetap tinggal di rumahnya dan menunaikan pekerjaan yang khusus baginya di rumahnya. Siapa yang ingin mengetahui lebih dekat kerusakan tak terhitung yang ditimbulkan oleh ikhtilath maka silahkan ia melihat, dengan pandangan yang adil dari dirinya dan semata ingin kebenaran, kepada masyarakat yang telah jatuh dalam bala besar ini secara sukarela atau pun terpaksa. Engkau akan dapatkan di situ penyesalan atas apa yang menimpa individu dan masyarakat, dan penyesalan atas lepasnya wanita dari rumahnya dan tercerai berainya keluarga. Engkau akan dapatkan pengakuan ini lewat lisan kebanyakan penulis bahkan tercantum dalam mass media. Ikhtilath ini tidak lain kecuali akan menghancurkan masyarakat dan merobohkan bangunannya.

Banyak sekali dalil shahih yang jelas menunjukan haramnya khalwat (bersepi-sepi) dengan wanita yang bukan mahram, haramnya memandang kepadanya dan haramnya semua perantara yang mengantarkan seseorang kepada perbuatan yang Allah haramkan. Dalil-dalil itu semua menetapkan haramnya ikhtilath (”Al Hijab was Sufur“, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hal. 21).

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

﴿وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَءَاتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وُيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا﴾ [الأحزاب: ٣٣]

“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyah yang terdahulu. Dirikan shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah menginginkan untuk menghilangkan kotoran dosa dari kalian wahai ahlul bait (Rasulullah) dan mensucikan kalian dengan sesuci-sucinya.” (QS. Al Ahzab: 33)

﴿قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ، وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ﴾ [النور: ٣٠-٣١]

“Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengkhabarkan terhadap apa yang mereka perbuat.” Dan katakanlah kepada wanita mukminah, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka serta tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung mereka di atas dada mereka.” (QS. An Nur: 30-31)

Allah memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada kaum mukminin dan mukminat agar mereka senantiasa menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan dari berzina. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan perkara ini lebih suci bagi mereka. Dimaklumi bahwa memelihara kemaluan dari perbuatan keji hanyalah dapat ditempuh dengan menjauhi perantara-perantaranya. Sementara membebaskan pandangan mata, bercampurnya wanita dengan lelaki dan lelaki dengan wanita di lapangan kerja dan selainnya merupakan perantara terbesar jatuhnya seseorang kepada perbuatan keji. Mustahil seseorang bisa menjalankan dua perkara yang dituntut darinya ini (menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dari berzina) bila ia bekerja bersama wanita yang bukan mahramnya sebagai rekan atau sekutu dalam perkerjaan. Dengan demikian, terjunnya wanita di medan ini bersama laki-laki dan terjunnya laki-laki di medan ini bersama wanita termasuk perkara yang dengannya mustahil bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan mustahil akan tercapai kesucian dan kebersihan hati.” (”Al Hijab was Sufur fil Kitâb was Sunnah“, hal. 24)

Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu bertutur dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ.. (رواه البخاري ومسلم)

“Hati-hati kalian masuk ke tempat wanita.” Berkata seseorang dari kalangan Anshar, “Bagaimana pendapatmu dengan ipar?” “Ipar itu kematian,” jawab beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengkabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ (رواه البخاري ومسلم)

“Sekali-kali tidak boleh salah seorang dari kalian bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila wanita itu bersama mahramnya.”

Berdirilah seseorang laki-laki seraya berkata: “Wahai Rasulullah, istriku akan keluar melaksanakan haji sementara aku telah tercatat untuk ikut perang ini dan itu. Rasulullah bersabda: “Kembalilah dan berhajilah bersama istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallahu`anhuma mengisahkan bahwa beberapa orang laki-laki dari Bani Hasyim masuk ke rumah Asma bintu Umais. Lalu masuk pula Abu Bakr Ash Shiddiq, suaminya. Abu Bakr tidak senang dengan keberadaan mereka di dalam rumahnya. Lalu menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelahnya ia berkata: “Aku tidak melihat kecuali kebaikan.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh Allah mensucikannya (Asma bintu Umais) dari perbuatan keji.” Kemudian beliau berdiri di atas mimbar, seraya berkhutbah:

لا يَدْخُل رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثَنَان. (رواه مسلم)

“Setelah hariku ini, tidak boleh seorang pun masuk ke rumah wanita yang suaminya sedang tidak ada (pergi) kecuali bila bersamanya ada seorang atau dua orang laki-laki.” (HR. Muslim)

Di rumah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang waria (banci). Lalu si banci ini berkata kepada saudaranya Ummu Salamah, Abdullah bin Abi Umayyah, “Bila besok Allah menangkan Thaif atas kalian, akan kutunjukkan kepadamu putrinya Ghailan, karena ia menghadap dengan empat dan membelakang dengan delapan (yakni montok).” Mendengar hal tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh sama sekaliorang banci ini masuk ke tempat kalian lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ (رواه البخاري ومسلم)

“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفَكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَالتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ (رواه مسلم)

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah (pengatur) di atasnya, hingga Ia melihat bagaimana kalian beramal. Karena itu takutlah kalian kepada dunia dan berhati-hati terhadap wanita karena awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il adalah pada wanitanya.” (HR. Muslim)

Mengeluarkan wanita dari rumahnya yang merupakan istananya dalam kehidupan dunia ini berarti mengeluarkannya dari apa yang dikandung oleh fithrah dan tabiatnya yang Allah ciptakan. Maka seruan mempekerjakan wanita di bidang yang khusus bagi lelaki adalah perkara yang berbahaya bagi masyarakat islam dan berkonsekuensi ikhtilath yang teranggap sebagai perantara terbesar kepada perbuatan zina yang mengoyak masyarakat dan merobohkan nilai dan akhlaknya.

Allah menciptakan wanita dengan susunan tubuh yang khusus yang sangat berbeda dengan lelaki. Allah siapkan wanita itu untuk menunaikan pekerjaan di dalam rumah dan pekerjaan yang dilakukan di antara kaum wanita. Makna dari hal ini adalah menerjunkan wanita di bidang yang khusus bagi lelaki teranggap sebagai perbuatan mengeluarkan wanita dari susunan penciptaannya dan tabiatnya. Jelas ini merupakan pelanggaran yang besar terhadap wanita, memutuskan mental/jiwanya dan menghancurkan pribadinya. Tidak berhenti sampai di situ bahkan anak-anak akan ikut merasakan dampak buruknya, karena mereka kehilangan pendidikan, kasih saying dan kelembutan. Ibu yang seharusnya menunaikan tugas ini telah terpisah darinya dan memisahkan diri secara utuh dari istananya, padahal tidak mungkin ia akan dapatkan kesenangan dan ketenangan kecuali di dalamnya. Kenyataan masyarakat yang berada dalam posisi ini merupakan bukti yang paling benar dari apa yang kami katakana ini.

Kami telah menyebutkan dalil-dalil syar’i yang menunjukkan haramnya ikhtilath dan haramnya wanita bergabung dalam pekerjaan laki-laki. Sebenarnya hal ini telah mencukupi bagi pencari kebenaran. Akan tetapi melihat kenyataan adanya sebagian orang suka mengambil faedah dari ucapan orang-orang barat lebih dari mengambil faedah dari ucapan Allah dan ucapan ulama kaum muslimin, berikut ini kami nukilkan untuk mereka pernyataan yang mengandung pengakuan orang-orang barat dan timur tentang bahaya dan kerusakan ikhtilath. Mudah-mudahan mereka merasa cukup dengannya dan mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh agama mereka yang agung berupa pelarangan ikhtilath merupakan sumber kemuliaan dan penjagaan terhadap wanita dari perantara-perantara yang akan membahayakan dan menyabik kehormatan mereka.

Berkata Ladi Koek, seorang penulis wanita berkebangsaan Inggris: “Ikhtilath itu disenangi oleh laki-laki. Karena itulah wanita berambisi untuk melakukan perkara yang menyelisihi fithrahnya ini. Semakin banyak ikhtilath, semakin banyak pula terlahir anak-anak zina. Ini merupakan bencana yang besar bagi wanita.”

Ia berkata pula: “Ajarilah para wanita agar menjauh dari bercampur baur dengan lelaki dan kabarkan kepada mereka akibat tipu daya tersembunyi yang selalu mengintai.”

Samuel Samailis, seorang lelaki Inggris, berkata: “Undang-undang yang mengharuskan wanita bekerja di pabrik-pabrik, sekalipun meningkatkan penghasilan bagi negara, namun akibatnya meruntuhkan bangunan kehidupan rumah tangga. Karena ia menghantam bangunan yang kokoh, mencerai beraikan sendi-sendi keluarga dan merobek-robek ikatan kemasyarakatan. Karena ia mengambil istri dari suaminya dan anak-anaknya dari kerabatnya. Jadilah hal ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar melemahkan akhlak wanita, karena tugas wanita yang hakiki adalah mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti merapikan tempat tinggalnya, mendidik anak-anaknya, mengatur keuangan rumah tangganya dan menunaikan kebutuhan-kebutuhan rumah. Akan tetapi pabrik-pabrik (tempat-tempat kerja di luar rumah) ini telah mengambilnya dari semua kewajiban di atas, sehingga rumah bukan lagi menjadi tempat-tempat tinggal, anak-anak tumbuh remaja tanpa pendidikan dan tersia-siakan, padamlah cinta antara suami istri dan keluarlah si wanita dari keberadaannya sebagai istri yang dikasihi sang suami menjadi partnernya dalam pekerjaan dan kepayahan/kesulitan kerja.”

Seandainya kita mau menceritakan apa yang diucapkan oleh orang-orang barat yang mau bersikap adil tentang kemudharatan ikhtilath, yang berbuah ikut sertanya wanita di bidang kerja laki-laki, niscaya terlalu panjang. Akan tetapi isyarat yang bermanfaat lebih mencukupi daripada pengungkapan yang panjang. (Diringkas dari “Al Hijab was Sufur“, hal. 21)

Footnote:

1Bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya pemisah.

Sumber: الإنتصار لحقوق المؤمنات karya Ummu Salamah As-Salafiyyah. Penerbit: Darul Atsar. Edisi Indonesia: Persembahan untukmu, Duhai Muslimah (Sebuah Pembelaan terhadap Hak-hak Wanita menurut Aturan Syari’at; pasal Ikhtilath dan Bahayanya, hal. 253-261. Penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein Al-Atsariyyah. Penerbit: Pustaka Al-Haura’ Yogyakarta, cet. ke-1. Dinukil untuk http://akhwat.web.id. Silakan mengcopy and memperbanyak dengan menyertakan sumbernya.