Rabu, Juli 18, 2012

Tafsir QS. Al Baqarah : 30

Tafsir
Firman Allah Subhanahu Wata’ala:



وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ اِنِّى جَاعِلٌ فِىْ الاَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَا لاَتَعْلَمُوْنَ {البقرة: 30}.



“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu berkata kepada para Malaikat:’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi . Mereka bekata:’Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu  ketahui ” (QS.Al-Baqarah: 30)

Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam (pimpinan).

Selanjutnya Ibnu Katsir menukilkan  kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:


وَمَا لاَ يـَتـِمُّ اْلـوَاجـِبُ إِلاَّ بِهِ فَهـُوَ وَاجـِبٌ.

“Sesuatu yang menyebabkan kewajiban tidak dapat terlaksana dengan sempurn,maka dia menjadi wajib adanya”.

Ayat lain yang menjadi dalil wajibnya menegakkan khilafah adalah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ {النساء: 59}

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, (QS.An-Nisa: 59).

Pada ayat ini Allah memerintahkan agar orang yang beriman mentaati Ulil Amri. Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang memerintah umat Islam. Tentu saja Allah tidak memerintahkan umat Islam untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani.



Kewajiban menegakkan khilafah juga didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain:

لاَ يَحـِلُّ لـِثَلاَثـَةِ يَكـُوْنـُوْنَ بـِفـَلاَةِ مـِنْ فـَلاَةِ اْلاَرْضِ إِلاَّ اَنْ يـُؤَمـِّرَ عـَلـَيْهـِمْ اَحَـدَهُـمْ {رواه أحمد}.

“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pimpinan” (HR.Ahmad).

Asy-Syaukani berkata:”hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan adanya pimpinan umat Islam akan tehindar dari perselisihan sehingga terwujud kasih sayang diantara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak menurut pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di samping itu kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan”.

Sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ  نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ {رواه البخاريعن ابى هريرة}.

 "Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah,  apa  yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Hadits ini di samping menginformasikan kondisi Bani Israil sebelum Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir yangs selalu dipimpin oleh para Nabi, juga merupakan Nubuwwah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan dialami umat Islam sepeninggal beliau.

Nubuwwah adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan terjadi.

Pada hadits ini Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam menjelaskan  bahwa sepeninggal beliau umat Islam akan dipimpin oleh para khalifah, seperti Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Para khalifah ini akan memimpin umat Islam seperti para Nabi memimpin Bani Israil hanya saja mereka tidak menerima wahyu.

Oleh karena itu Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w.450 H) mendefinisikan Imaamah (kepemimpinan umat Islam) sebagai

موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا.

“Kedudukan yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia).



Kata السياسة  yang merupakan masdar dari kata ساس- يسوس , menurut An-Nawawi dalam “Syarh Muslim” mempunyai pengertian :

القيام على الشيئ بما يصلحه.       

 “Mengatur sesuatu dengan cara yang baik”

Ketika menjelaskan hadits di atas Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata:”Di dalamnya mengandung petunjuk tentang keharusan adanya pemimpin bagi masyarakat (Islam) yang akan mengatur urusan mereka dan membawanya ke jalan yang baik serta melindungi orang-orang yang teraniaya”.

Para ulama mengomentari kewajiban menegakkan khilafah (kepemimpinan umat Islam) sebagai berikut

a.      Asy Syaikh Muhammad  Al-Khudlri Bik

Di dalam “Itmam Al-Wafa” mengatakan bahwa umat Islam telah sepakat tentang wajibnya menegakkan khilafah (kepemimpinan Islam) setelah Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam.

b.      Al-Jurjani


“Mengangkat Imam adalah salah satu dari sebesar-besar maksud dan sesempurna-sempurnanya kemaslahatah ummat”.

c.       Al-Ghazali.

“Ketentraman dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya pimpinan yang ditaati oleh karenanya orang mengatakan:’Agama dan pimpinan adalah dua saudara kembar’. Dan karenanya pula orang mengatakan:’Agama adalah sendi dan pimpinan adalah pengawal. Sesuatu yang tidak ada akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada pengawal akan tersia-sia.





d.      Ibnu Khaldun
“Mengangkat Imam adalah wajib. Telah diketahui wajibnya pada syara’ dan ijma’ sahabat dan tabi’in. mengingat bahwa para sahabat segera membai’at Abu Bakar stelah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat dan menyerahkan urusan masyarakat kepadanya. Demikian pula pada tiap masa sesudah itu tidak pernah masyarakat diabiarkan dalam keadaan tidak berpemimpin. Semuanya merupakan ijma’ yang menunjukkan kewajiban adanya Imam.

e.      Al-Mawardi
“Andaikata tidak ada Imam, masyarakat tentu menjadi kacau balau (anarkhis) dan tidak ada yang memperhatikan kepentingan mereka.

f.        Yusuf Al-Qardhawi

“Disebutkan dalam “Mandzumah Al-Yanharah”

وواجـب نـصـب امام عادل #  بالـشـرع فاعـلم لابحـكـم العـقـل.

“Kewajiban mengangkat Imam yang adil # adalah ketentuan syara’ buakan ketetapan akal”.

Oleh karena itu muslimin yang tidak memiliki Imam atau Khalifah, maka mereka semuanya menanggung dosa. Karena mereka telah melalaikan satu kewajiban, yaitu fardlu kifayah yang menjadi tanggung jawab mereka bersama untuk melaksanakannya.






















Periodisasi Kepemimpinan Umat Islam

Dari Nu’man bin Basyir Radiallahu ‘Anhu, Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ {رواه احمد}.

”Adalah masa Kenabian itu  ada di tengah tengah  kamu sekalian, adanya atas kehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehandak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit  (Mulkan ‘Adldlon),  adanya atas kehendak Allah.   Kemu- dian Allah mengangkatnya apabila Ia meng hendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyom bong (Mulkan Jabariyah),  adanya atas kehendak Allah. Kemu dian  Allah mengangkatnya, apabila Ia menghen daki untuk mengang katnya.  Kemudian adalah masa  Khilafah yang menempuh jejak  Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).” Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR.Ahmad).

Menurut hadits ini kepemimpinan umat Islam akan mengalami 4 periode:

1.       Masa Kenabian

Yaitu masa umat Islam dipimpin oleh Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam, masa kenabian ini selama 23 tahun

2.       Masa Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah

Yaitu masa umat Islam dipimpin oleh para khalifah yang mengikuti jejak Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam. Masa ini dimulai dengan dibai’atnya Abu Bakar As-Siddiq sebagai Khalifah setelah Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam wafat. Oleh karena itu Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulullah (pengganti Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam). Selanjutnya Umar bin Khattab, sebagai Khalifah kedua menyebut dirinya sebagai Khalifah Khalifah Rasulullah (penggantinya pengganti Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam). Khalifah ketiga, Utsman bin Affan, karena sebutannya terlalu panjang, hanya disebut Khalifah. Mulai sejak itu sebutan Khalifah dipakai secara populer. Sebutan tersebut terus dipakai sampai ke masa Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah keempat.

Masa Khilafah ‘Ala Mihajin Nubuwwah ini berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam:


الْخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ  {رواه ابو داود والترمذي}
“Masa pada ummatku itu tiga puluh tahun kemudian setelah itu masa kerajaan”

(HR.Abu Dawud dan Tirmidzi).

3.       Masa Mulkan

Yaitu masa umat Islam dipimpin oleh para raja. Sebagai raja pertama adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan (w. 60 H).

Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad, Mu’awiyah bin Abu Sufyan pernah berkata kepada Abdurrahman bin Abi Bakrah:

اَتَـقـُوْلُ اْلمُلـْكُ؟ فَقَدْ رَضِيـْنـَا بِاْلمـُلـْكِ.
“Apakah kamu berkata kami raja? Sungguh kami ridha dengan kerajaan”.

Masa Mulkan (kerajaan) ini terdiri dari dua periode yaitu Mulkan Adlan (kerajaan yang mengigit) dan Mulkan Jabariyah (kerajaan yang menyombong). Para ahli sejarah mencatat bahwa masa mulkan ini berakhir dengan diruntuhkannya Dinasti Utsmaniyah di Turki oleh Mustafa Kamal Pasya pada tahun 1342 H / 1924 M.

4.       Masa Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah

Yaitu masa umat Islam akan kembali dipimpin oleh para Khalifah yang mengikuti jejak kenabian setelah berlalunya masa Mulkan (kerajaan).

Usaha Menegakkan Khilafah Setelah Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah di Turki.

Usaha menegakkan khilafah yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam telah dimulai sejak melemahnya Dinasti Utsmaniyah. Upaya ini diawali dengan dibentuknya Pan Islamisme di akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897).

Tujuan utama Pan Islamisme adalah mengembalikan kekhalifahan tunggal bagi dunia Islam sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin. Walaupun Pan Islamisme tidak memperlihatkan hasil konkrit namun telah menyadarkan umat Islam di berbagai tempat tentang pentingnya kesatuan dan kekhalifahan Islam.

Pada tahun 1919 di India telah dibentuk “All India Khilafah Conference” yang secara rutin mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan dan mengusahakan penyatuan ummat dan tegaknya khilafah. Pada tahun 1921, di Karachi diadakan lagi konferensi yang kedua dengan tujuan yang sama. Pada tahun 1926 di Kairo, Mesir diselenggarakan Kongres Khilafah yang diprakarsai oleh para ulama Al-Azhar.

Di samping itu masih banyak kongres-kongres lain yang diselenggarakan untuk menegakkan kembali khilafah di tengah kaum muslimin, namun belum membuahkan hasil yang mendasar
Di Indonesia usaha menegakkan khilafah juga dilakukan oleh beberapa Organisasi Islam yang akhirnya terbentuk Komite Khilafah pada tahun 1926 yang berpusat di Surabaya. Tokoh-tokoh Islam Indonesia yang mempunyai perhatian besar terhadap penegakkan khilafah antara lain, HOS.Cokroaminoto, KH.Mas Mansur, KH.Munawar Khalil, Abdul Karim Amrullah dan Wali Al-Fatah.

Di antara tokoh-tokoh tersebut Wali Al-Fatah (1326H-1396H / 1908M-1976M) adalah salah seorang yang konsisten dan secara transparan menda’wahkan wajibnya umat Islam menegakkan Khilafah dan mengangkat Imam.

Wali Al-Fatah menyatakan adanya Imam adalah wajib bagi umat Islam. Pelanggaran atas hal tersebut adalah dosa  besar dan ini berarti suatu anarkhi, suatu perbuatan sendiri-sendiri yang tidak ada contohnya dalam syari’at Islam yang akan mengakibatkan timbulnya perpecahan di mana masing-masig kelompok atau golongan mengaku benarnya sendiri.

Wali Al-Fatah mengingatkan bahwa umat Islam akan dapat bersatu apabila mereka mempunyai Imam (pimpinan).

Satu umat tanpa pimpinan bukan umat namanya, tetapi hanya segundukan manusia yang masing-masing mengaku sebagai muslim tetapi tidak ada yang memimpin dan yang mengontrol.

Oleh karena itu Wali Al-Fatah mengajak para ulama untuk segera bangkit menelaah masalah kepemimpinan umat Islam dan mengangkat Imam sehingga kesatuan umat Islam dapat terwujud.

Namun ajakan ini kurang mendapat sambutan. Mereka menganggap ajakan ini bagaikan memutar jarum sejarah dan mengajak umat Islam kembali ke zaman unta bahkan ada yang berpendapat bahwa tidak mungkin umat Islam dapat disatukan.

Mengingat pentingnya masalah kepemimpinan umat Islam ini, Wali Al-Fatah bersedia memikul beban untuk dibai’at menjadi Imaamul Muslimin. Pembai’atan ini dilaksanakan di Jakarta pada 10 Dzulhijjah 1372H / 20 Agustus1953M.

Setelah pembai’atan dilakukan, kemudian selama beberapa  tahun diumumkan ke seluruh dunia untk mencari informasi apakah di tempat lain sudah ada Imam yang lebih dahulu dibai’at.

Sebagai konsekwensi apakah sudah ada Imam yang  lebih dahulu dibai’at maka Wali Al-Fatah bersedia menjadi ma’mum karena tidak boleh ada dua Imam dalam satu masa bagi dunia Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا {مسلم}



“Apabila dibai’at dua khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya. (yaitu yang terakhir).”  (HR. Muslim).

Sampai dengan Wali Al-Fatah meninggal dunia pada tahun 1396H / 1976M tidak didapat informasi bahwa di tempat lain sudah ada Imam yang dibai’at lebih dahulu. Maka sebelum jenazahnya dikuburkan, pada hari Sabtu 28 Dzulqa’dah 1396H / 20 November 1976M dibai’atlah sebagai penggantinya, hamba Allah Muhyiddin Hamidy menjadi Imaamul Muslimin hingga sekarang.

Mungkinkah Umat Islam Bersatu?

Menjawab keraguan orang tentang kemungkinan bersatunya umat Islam di bawah seorang Imam (khalifah), Dr.Yusuf Al-Qardhawi dengan tegas mengatakan bahwa kesatuan umat Islam adalah realita dan pasti akan terwujud bukan sebuah khayalan (utopia).

Di dalam risalahnya yang berjudul “Al-Ummah Al-Islamiyah Haqiqah la Wahn” beliau menyebutkan 6 (enam) criteria tentang kepastian terwujudnya kesatuan umat Islam:

1.  Menurut Logika Agama

Al-Qur’an di dalam beberapa ayat menyatakanbahwa kaum muslimin adalah امة balikan امة واحدة bukan امما (beberapa umat). Hal ini dapat dilihat pada Surat Al-Baqarah: 143, Ali-Imran: 110, Al-Anbiya: 92, Al-Mu’minun: 52.

Sedang di dalam sunnah NAbi Shalallahu alaihi wa Sallam banyak sekali hadits yang menjelaskan pengertian umat sebagaimana yang disebutkan di atas, misalnya:

كان امتي يدخلون الجنة إلا من ابى {البخاري}.

“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang tidak mau” (HR. Bukhari)

2.          Menurut Logika Sejarah

Umat Islam pernah bersatu di bawah seorang khalifah dalam masa hampir seribu tahun dan meliputi daerah yang sangat luas mulai dari Cina di sebelah Timur dan Andalusia (Spanyol) di sebelah Barat. Walaupun pernah pula muncul beberapa khalifah dan ada sebagian wilayah yang memisahkan diri namun secara umum umat Islam tersebut masih merasa bahwa mereka adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari umat yang satu. Hal ini dikarenakan tujuan mereka satu, musuh mereka satu maslahah mereka satu dan beberapa unsure lain yang mengharuskan mereka tetap bersatu.




3.  Menurut Logika Geografis

Dengan kehendak Allah, umat Islam menempati negeri-negeri yang saling berdekatan dan sambung menyambung antara satu dengan yang lainnya mulai dari Jakarta di sebelah Timur hingga Rabbath Al-Fath di sebelah Barat. Atau mulai dari Samudra Pasifik ke Samudra Atlantik.

4.          Menurut Logika Realita

Secara realita umat Islam adalah umat yang satu. Hal ini kita lihat ketika sebagian umat Islam menderita maka sebagian yang lain ikut merasa penderitaan itu.

Dalam kasus Masjid Al-Aqsha (Palestina) misalnya, kita lihat seluruh umat Islam di mana saja bangkit memberikan bantuan kepada Mujahidin yang berusaha membebaskan masjid Al-Aqshadari cengkeraman Zionis Yahudi.

Begitu juga kasus Bosnia-Herzigovina, dengan penuh perhatian kaum muslimin seluruh dunia mengikuti perkembangan perjuangan muslimin Bosnia dari hari ke hari dan memberikan bantuan apa saja yang mereka butuhkan

Setelah dunia Arab kalah dalam pertempuran melawan Israel pada tahun 1967, maka ketika dibuka pendaftaran sukarelawanuntuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Isarel, orang yang paling banyak mendaftarkan adalah kaum muslimin dari Pakistan. Sementara itu dalam jihad di bumi Afghanistan melawan komunis Rusia, kebanyakan mujahidin yang datang adalah kaum muslimin Arab, Afrika, Eropa dan Amerika.

Sampai saat ini para khatib seluruh dunia Islam senantiasa memanjatkan do’a pada setiap Jum’at untuk kebaikan, kesejahteraan dan kemuliaan negeri-negeri Islam seluruh dunia.

Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengecualikan kesatuan menurut logika realita ini dari kelompok pemimpin yang otoriterdan para pemikir yang mengekor Barat karena mereka ini adalah individu muslim yang telah terpisah dari nurani umat dan mereka tidak pernah mau merasakan derita yang menimpa umat Islam.

5.  Menurut Logika Non Muslim

Orang-orang non muslim tidak pernah menjadikan realita perpecahan dan perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam sebagai bukti bahwa umat Islam telah terpecah belah. Mereka tetap menganggap bahwa umat Islam itu adalah satu umat. Apabila terjadi perpecahan hanyalah perpecahan lahiriyah saja tetapi perasaan mereka tetap satu.






6.    Menurut Logika Maslahat dan Tuntutan Zaman.

Seandainya perwujudan umat Islam dalam arti yang sebenarnya tidak ada menurut logika agama, sejarah, geografis, realitas kehidupan dan persepsi orang non muslim, maka sesuai logika maslahat dan tuntutan zaman wajib bagi kita menciptakan dan mengusahakan kesatuan umat Islam. Karena mustahil umat Islam akan mampu bersaing di era tekhnologi canggih ini secara sendiri-sendiri sementara itu kita saksikan negara-negara industri maju berkerja sama untuk menciptakan produk-produk tercanggih yang sejalan dengan tekhnologi terkini.

Pada masa lalu umat Islam memiliki seorang khalifah yang dapat mengajak umat Islam untuk bertindak bersama-sama dalam mengatasi problematika yang mereka hadapi. Mereka yang lemah dapat meminta pertolongan kepada khalifah  apabila ada yang mengganggu. Hal ini menyebabkan musuh-musuh Islam berfikir panjang apabila hendak mengganggu umat Islam. Namun hari ini umat Islam tidak memiliki seorang khalifah yang melindungi mereka. Umat Islam telah melakukan kesalahan besar dengan menyia-nyiakan institusi khilafah dan tidak mampu mewujudkan gantinya. Aib (kesalahan) ini adalah kesalahan umat Islam bukan kesalahan Islam karena Islam telah mempersatukan umatnya dan mensyria’atkan tuntunan yang dapat mewujudkan kesatuan mereka dan memelihara keselamatan mereka.

Demikian sebagian uraian Dr. Yusuf Al-Qardhawi tentang kriteria yang memperkuat bukti akan terwujudnya kesatuan umat Islam. Namun kesatuan itu tidak akan datang begitu saja. Untuk mewujudkannya perlu kerja keras dan perjuangan yang berkesinambungan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kerja keras dala menggapai cita-cita, sebagaimana firman-Nya:

إن الله لايغير ما بقوم حتى يغيروا ما بانفسكم {الرعد: 11}.

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada mereka sendiri” (QS.Ar-Ra’d: 11).

Usaha yang paling fundamental untuk mewujudkan persatuan umat adalah dengan menegakkan institusi khilafah / imaamah. Karena hanya dengan adanya seorang khalifah / imam umat Islam dapat bersatu.

Dengan dibai’atnya Wali Al-Fatah sebagai Imaamul Muslimin berarti umat Islam telah memiliki Imam kembali. Apabila pada pembai’atan tersebut atau pada  perjalanan keimaamahan sesudahnya dipandang terdapat berbagai kekurangan maka tugas umat Islam bersama untuk menyempurnakannya. Karena masalah Imam, bukan masalah yang harus diperebutkan tetapi masalah kewajiban syari’at.

Siapapun yang dibai’at, asal memenuhi syarat maka yang lain wajib membai’atnya dan mentaatinya
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إن امر عليكم عبد مجدع (حسبتها قالت) أسود يقودكم بكتاب الله فاسمعوا له وأطيعوا {مسلم عن يحي بن حصين}.

“Apabila diangkat untuk memimpin kamu seorang budak yang terpotong hidungnya –say (Yahya bin Hushain) mengira, dia (Ummu Hushain) berkata-yang hitam, selama memimpin kamu dengan kitab Allah maka dengarlah dan taatilah (HR.Muslim dari Yahya bin Hushain).

Wallahu A’lam Bissawwab


Maraji’



1.       Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Toha Putra, Semarang, t.t.

2.       Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, Dar Al-Fikr, t.t.

3.       An-Nawawi, Syarh Muslim, Dahlan, Bandung, t.t.

4.       Asy-Syaukani,  Nail Al-Authar, Dar Al-Fikr, t.t.

5.       Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Al-Nas’ani Al-Halabi, 1326H.

6.       Muhammad Al-Khudlri Bik, Itmam Al-Wafa’, Maktabah Tsaqafiyah, Beirut, 1402H.

7.       Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ummah Al-Islamiyah Haqiqah la Wahn, Maktabah Wahbah, t.t.

8.       Wali Al-Fatah, Khilafah “Ala Minhajin Nubuwwah, Amanah, Bogor, 1415H.

9.       Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Khilafah, Terjemah.Muhammad Al-Khaththath, dkk, Khazanal Islam, Jakarta, Cetakan I, 1416H.

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cetakan VI, 1999.






Tafsir Qur’an Surat Ali Imran ayat 103

واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً  فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ  فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ  مِنَ النَّاِر فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ تَهْـتَدُونَ ’{ال عـمران 103}

Artinya :
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah   dan janganlah kamu sekalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu  maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya  agar kamu mendapat petunjuk” 

(Q.S. Ali Imron ayat 103)

A.           MAKNA LAFDZI


Maka kamu menjadi    فَأَصْبَحْتُمْ   
Dan berpegang teguhlah kamu sekalian وَعْتصِمُواْ
Dengan nikmat-Nya     بِنِعْمَتِهِ   
dengan tali allah    بِحَبْلِ الله
Bersaudara    إِخْوَاناً   
seraya berjama’ah    جَمِيْعًا
Sedangkan kamu semua    وَكُنْتُمْ   
dan janganlah kamu sekalian berpecah belah    وَلاَ تَفَـرَّقوُا
Di tepi jurang    عَلىَ شَفاَ خُفْرَةٍ     
dan ingatlah kamu semua    وَاذْ كـُرُوا
Api Neraka    مِنَ النَّاِر   
Nikmat Allah    نِعْمَتَ الله
Maka Allah menyelamatkan kamu dari padanya    فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا   
Atas kamu    عَلَيْكُمْ
Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu    كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ   
Ketika kamu (dahulu) bermusuh-musuhan    إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً
Ayat-ayatnya اَيَاتِهِ   
Maka Dia menjinakkan antara hati-hati kamu    فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ 
Agar kamu mendapat petunjuk     لَعَلـَّكُمْ تَهْتَـدُونَ   
    




B. MAKNA GLOBAL
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu sekalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu  maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka , maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya  agar kamu mendapat petunjuk”

C. PENJELASAN KALIMAT.
Yang dimaksud “tali Allah” adalah Al-Qur’an sesuai dengan hadits Harits Al A’war dari Ali yang diriwayatkan secara marfu’ tentang sifat Al-Qur’an disebutkan bahwa,

"هُوَ حَبْلُ اللهِ المَتِيْنُ وَصِرَاطُهُ الْمُسْتَقِيْمَ"

(Al-Qur’an itu adalah tali Allah yang kokoh dan jalan-Nya yang lurus. )

Dalam hadits Abdullah yang di riwatkan oleh Ibnu mardawaih, bahwasannya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa salam bersabda:

" اِنََ هَذاَالْقُرْأَنَ هُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَتِيْنُ وَهُوَ النُّوْرُ الْمُبِيْنُ  وَهُوَ الشِّفاَءُ النَّافِعُ عِصْمَةَ لِمَنْ تَمَسَّكَ بِهِ وَنَجَاةً لِمَنِ اتَّبَعَهُ "

(“Sesungguhnya Al-Qur’an adalah tali Allah yang kokoh, cahaya yang menerangi, penawar yang memberi manfaat, sebagai penjaga bagi orang yang berpegang teguh dengannya dan penyelamat bagi yang mengikutinya“)

Abu Ja’far Ath-Thobari meriwayatkan hadits ‘Athiyyah bin Abi Sa’id, bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda:

"كَتَبَ اللهُ هُوَ حَبْلُ اللهُ المَمْدُودُ مِنَ السَّـمَاءِ اِلَى الآَرْضِ"

(“Kitab Allah itu adalah tali Allah yang di ulurkan dari langit ke bumi “) Tafsir Ibnu Katsir I/388-389.

Menurut Ibnu Mas’ud, yang dimaksud “tali Allah” adalah Al-Jama’ah, Al-Qurthubi menyatakan, sesungguhnya Allah memerintahkan supaya bersatu padu dan melarang berpecah belah, karena perpecahan itu adalah kerusakan dan persatuan (Al-Jama’ah) itu adalah keselamatan. (Tafsir Qurthubi IV/159)

Sebagian Ulama ada yang mengatakan bahwa “tali Allah” itu adalah Dinnullah, menurut sebagian Ulama yang lain; Taat kepada Allah, Ikhlas dalam bertaubat, janji Allah. Al-Imaam Fakhrur Razi menyimpulkan bahwa seluruh penafsiran tersebut pada hakekatnya saling melengkapi, karena Al-Qur’an, janji Allah, Dinnullah, taat kepada Allah dan Al-Jama’ah dapat menyelamatkan orang yang berpegang teguh dengannya supaya tidak terjatuh kedalam dasar Neraka Jahannam, maka hal-hal tersebut dijadikan sebagai tali Allah agar mereka berpegang teguh dengannya (Tafsir Al-Kabir VIII/162-163).

·   Lafadz Jami’an جَمِيْعًا adalah sebagai “Haal” yang menjelaskan tentang cara berpegang teguh kepada tali Allah, yaitu dengan cara bersatu padu (berjama’ah) (Tafsir Abi Su’ud Juz I/66). Hal ini disesuaikan dengan :

1.       sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Salam.

" تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْـلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ "

“Tetaplah kamu pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka “(Muttafaq alaih dari Hudzaifah bin Yaman)

2.       Makna yang di berikan oleh para Mufasirin, diantaranya sahabat Abdullah bin Mas’ud menyebutkan bahwa yang di maksud adalah “Al-Jama’ah” (Tafsir Qurthubi Juz III/159, Tafsir Jami’ul Bayan Juz IV/21).

3.   Az-Zajjaj berkata: “kalimat  “Jami’an جَمِيْعًا” adalah dibaca nashob karena menjadi “haal” (Tafsir Jadul Masir juz I/433).

4.       Adanya Qorinah lafdziyah, yaitu “wala tafarroqu” yang jatuh setelah kalimat “Jami’an”, Ibnu Katsir berkata bahwa yang dimaksud adalah Allah memerintahkan kepada mereka dengan berjama’ah dan melarang mereka berfirqoh-firqoh (berpecah belah) (Tafsir Ibnu Katsir juz I/189) 

Tidak semua kalimat Jami’an dalam Al-Qur’an artinya bersama-sama (berjama’ah/bersatu padu), sebagaimana pula tidak semua kalimat “jami’an” berarti keseluruhan/semuanya. Sedikitnya ada empat ayat yang dalam Al-Qur’an kalimat “jami’an“ yang harus diartikan berjama’ah (bersama-sama/bersatu padu), yaitu surat Ali-Imran ayat 103, surat An-Nisa ayat 71, surat An-Nur ayat 61 dan surat Al-Hasyr ayat 14.

Yang dimaksud dengan " وَلاَ تَفَرَّقُوْا " (Janganlah kamu bercerai berai yaitu berpecah belah dalam agama,sebagaimana berpecah belahnya orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam melaksanakan agama mereka). Disebutkan dalamam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Hurairoh, bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda: 

" تَفَرَّقَتِ الْيَهُودُ عَلَى اِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً اَوِثْنَـتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَالنَّـصَارَى مِثْلُ ذَالِكَ وَتَفْـتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْـعِيْنَ فِرْقَـةً كُلَّهَا فِى النَّـارِ اِلاَّ وَاحِـدَةً وَهِيَ الجَمَاعَةُ "

“Orang-orang Yahudi telah berpecah belah menjadi 71 golongan atau 72 golongan dan orang-orang Nasrani demikian juga, sedang umatku berpecah belah menjadi 73 golongan semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu Al-Jama’ah.”

·  Ni’mat Allah yang disebut dalam ayat ini yang terbesar adalah Islam yang mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa salam, sesungguhnya ni’mat ini dapat menghilangkan permusuhan dan perpecahan, sehingga ada kasih sayang dan persatuan.

· Yang dimaksud “kamu berada di tepi jurang api neraka, maka Dia (Allah) menyelamatkan kamu darinya” Bahwa kaum Muslimin ketika masih berada dalam masa jahiliyah, dimana mereka saling bermusuh-musuhan dan senantiasa melakukan berbagai macam kemaksiatan, pada saat yang demikian itu mereka berada di ambang pintu neraka. Namun ketika mereka bertaubat dengan memeluk Islam dan meninggalkan perilaku-perilaku Jahiliyah, maka mereka diselamatkan dari ancaman api neraka dan dijauhkan dari pintu jahannam.

D. KANDUNGAN AYAT.

Disebutkan dalam Tafsir Al-Manar bahwa, ayat ini sebagai jalan keluar untuk memenuhi perintah Allah supaya bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa yang di sebutkan pada ayat sebelumnya dan untuk menjauhi larangan agar tidak meninggal atau mati kecuali dalam keadaan Islam. (Q.S. Ali Imran : 102). Agar perintah dan larangan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka hendaklah orang-orang yang beriman berpegang teguh (mengamalkan) Al-Qur’an dengan berjama’ah (bersatu padu) (Tafsir Al-Qur’anul Hakim juz III/19).

Dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala mewajibkan supaya berpegang teguh kepada Qur’an dan Sunnah nabi-Nya dan agar menyelesaikan permasalahanya berdasarkan keduanya. Allah juga memerintahkan agar berjama’ah dalam mengamalkan islam, sebab dengan cara damikian maka akan ada kesepakatan dan kesatuan yang merupakan syarat utama bagi kebaikan dunia dan agama. (Tafsir Al-Qurthubi juz IV/163).

Ayat ini melarang berpecah belah (berkelompok-kelompok) dalam agama, sebagaimana berpecah-belahnya ahli kitab atau orang-orang jahiliyah yang lain. Ayat ini juga melarang melaksanakan segala sesuatu yang dapat menimbulkan perpecahan dan menghilangkan persatuan. (Tafsir Abi Su’ud juz I/66)

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini mengisahkan tentang keadaan suku Aus dan Khajraj. Pada masa Jahiliyah kedua suku tersebut saling bermusuhan dan berperang selama 120 tahun. Setelah mereka memeluk Islam Allah menyatukan hati mereka sehingga mereka menjadi bersaudara dan saling menyayangi. Ketika orang-orang Aus dan Khajraj sedang berkumpul dalam satu majlis, kemudian ada seorang Yahudi yang melalui mereka, lalu ia mengungkit-ungkit permusuhan dan peperangan mereka pada bani BU’ATS. Maka permusuhan diantara kedua suku tersebut mulai memanas kembali, kemarahan mulai timbul, sebagian mencerca sebagian lain dan keduanya saling mengangkat senjata, lalu ketegangan tersebut disampaikan kepada nabi shallallahu alaihi wa salam. Kemudian beliau mendatangi mereka untuk menenangkan dan melunakkan hati mereka, seraya bersabda:

“Apakah dengan panggilan-panggilan jahiliyah, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian?.” Lalu beliau membacakan ayat ini. Setelah itu mereka menyesal atas apa yang telah terjadi dan berdamai kembali seraya berpeluk-pelukan dan meletakan senjata masing-masing.

والله أعـلم بالصواب

ISLAM dan KHILAFAH MENERANGI UMMAT SEPANJANG ZAMAN

ISLAM dan KHILAFAH
MENERANGI UMMAT SEPANJANG  ZAMAN
Oleh: Abu Wihdan Hidayatullah
(Staf Majelis Dakwah Pusat Jama`ah Muslimin [Hizbullah])
Muqaddimah
Islam hadir ditengah kegelapan jahiliyyah laksana sinar mentari yang menyinari gunung es. Sinar risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umat manusia itu telah menerangi dan mengeluarkan mereka dari pekatnya kebodohan kepada cahaya ma’rifat. Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah uswah dan qudwah telah sukses merubah wajah dunia yang biadab menjadi beradab.
Keunggulan dan kebesaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memikat hati manusia dan merebut cinta kasih yang tiada taranya. Kehadirannya menebarkan wangi harum kegembiraan, memberikan ketentraman dan kedamaian pengikutnya. Maka dalam waktu yang relatif singkat ajarannya telah menjadi rahmat ke seluruh alam ini (QS. 21 : 107)
Di tengah peradaban yang penuh dengan angkara murka kedzaliman, dan berbagai bentuk penyelewengan, Islam memancarkan cahaya cinta, kasih sayang, kejujuran dan keadilan dengan keindahan pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar itulah para pemimpin Quraisy berlomba-lomba menerima risalahnya, seperti : Abu Bakar, Umar, Thalhah, Zubair, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash dan lain lain, dengan penuh keikhlasan mereka mengikrarkan bai’at pada Muhammad sebagai Imaam dan Rasul Allah yang terakhir.
Alasan apakah yang menjadi penyebab mereka begitu ridlo mendampingi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apa rahasia dibalik keagungan mereka, sehingga rela melepas kemuliaan dan kemegahan yang melingkunginya selama ini, hanya untuk iman dan Islam. Dengan iman dan Islam Allah telah memberikan kemuliaan yang sesungguhnya, kemuliaan yang hakiki. Subhanallah.
Potret Kegelapan Jahiliyyah Sebelum Islam
1.    Yusyrikuuna billah (Mereka Musyrik Kepada Allah)
Mayoritas bangsa Arab mengikuti dakwah Isma’il as. yaitu millah Ibrahim as, yang prinsipnya adalah menyeru kepada tauhid, menegakkan agamanya dan melarang mereka dari perpecahan. (QS. 22 : 78, 42 : 13)
Seiring perjalanan waktu, sepeninggal Ismail as. ajaran tauhid berangsur hilang dari Arab, yang tertinggal hanyalah pada beberapa orang saja yang masih berpegang teguh kepada ajaran Tauhid: Taurat dan Injil. Namun demikian sisa-sisa keyakinan tersebut menjadi lenyap dengan munculnya Amr bin Luhay, pemimpin bani Khuza’ah.
Amr bin Luhay adalah seorang yang dikenal dermawan dan penuh perhatian terhadap urusan-urusan agama. Karena itulah ia dicintai banyak orang dan nyaris disebut ulama besar / wali. Ketika berkunjung ke negeri Syam, Amr bin Luhay tertarik dengan kebiasaan orang Syam yang menjadikan hubal (patung manusia) sebagai perantara dalam mendekatkan diri kepada Allah. Maka ia pun  membawa hubal ke Mekkah dan disandarkan di Ka’bah. 1
Amr bin Luhay kemudian mengajak penduduk Mekkah untuk menjadikan hubal sebagai perantara ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sejak itulah ia memusyrikan penduduk Quraisy. Orang Hijaz pun banyak mengikuti caranya, karena Amr bin Luhay adalah orang Mekkah yang dianggap pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci. (Mukhtashar Siratir Rasul, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 12).
Sejak diangkatnya Nabi Isa as. terjadi kevakuman nabi kl. 600 tahun, sampai Muhammad diutus Allah tahun 610 M. Selama 6 abad tersebut peradaban  mengalami fatratul wahyi / fatratur rasul (terputusnya wahyu/ rasul), maka pergeseran keyakinan pun terjadi secara berangsur. Kenyataan ini menjadikan risalah tauhid/millah Ibrahim yang dibawa Muhammad rasulullah terasa asing (gharib) bagi mereka, dan menilainya sebagai agama baru yang akan merusak keyakinan mereka.
Tafarroqon Bainahum ‘ala Firqoh (Terpecah belah diantara mereka atas golongan)
Pada dasarnya semua nabi ditugaskan untuk mempersatukan umatnya. Akan tetapi usaha musuh-musuh Allah dari dulu hingga kini senantiasa berusaha memecah belah umat ini. Mereka tahu kebersamaan dan persaudaraan di bawah komando sentral adalah sebuah kekuatan yang hebat dan sulit dikalahkan.
Kebersamaan dan persaudaaran hakiki hanya ada diatas landasan tauhid, tidak ada pada keyakinan yang syirik. Karena itulah kaum jahiliyyah Quraisy  terpecah belah menjadi 360 golongan setelah meninggalkan agama tauhid, millah Ibrahim as. 1aSetelah tafarruq (berpecah belah) dan ikhtilaf (perbedaan faham/berselisih), mereka saling membanggakan golongannya masing-masing dan meremehkan golongan  yang lain (QS. 6 : 65, 30 : 31-32).
Dalam hal ini, Amr bin Luhay adalah orang
Yang pertama mempersembahkan onta untuk berhala.2
Taraa-usi ‘alaihim bainahum
(Ambisi kepemimpinan diantara mereka)
Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya pada masa jahiliyah tak ubahnya kedudukan seorang raja. Dia berwenang atas hukum dan memiliki otoritas pendapat, layaknya seorang pemimpin diktator yang perkasa. Persaingan mendapat kursi pemimpin diantara mereka, tidak jarang membuat mereka bermuka dua dan bersifat munafik. 3
Persaingan masalah kehormatan dan perebutan kekuasaan bahkan lebih sering menyulut peperangan antar kabilah, yang sebenarnya berasal dari saudara kandung, seperti yang terjadi pada  Aus dan Khazraj, Abbas dan Dzubyan, Bakr dan Taghlib.
Pemuka atau pemimpin kabilah mem-punyai hak-hak istimewa. Dia mendapatkan seperempat bagian dari harta rampasan perang. Harta rampasan yang diambil untuk dirinya sendiri dilakukan sebelum ada pembagian, begitu pula dengan hasil penjarahan dan lain-lain. Motif harta inilah yang dominan pada mereka sehingga ambisi untuk menjadi pemimpin.
4. Tasywih fii millati ibrahiim (Penyelewengan pada millah Nabi Ibrahim)
Sebelum Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam datang, arab jahiliyyah telah banyak yang mengikuti agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Shabi’ah. Namun agama-agama tersebut sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku masih mengikuti  millah Ibrahim as. justru sangat jauh dari perintah dan larangan syari’at Ibrahim. Mereka berakhlak buruk, dan kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya. Secara berangsur mereka berubah menjadi paganis (penyembah berhala) dengan tradisi berbagai macam khurafat dan takhayul.
Orang-orang Yahudi berubah jadi orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka jadi sembahan selain Allah Subhanahu wa ta’ala (QS. 9 : 31). Agama Nasrani berubah jadi paganisme (paham kebendaan) yang sulit dipahami dan menimbulkan percampuran antara ajaran Allah dengan manusia.4
Intitsaarul Ma’aashi (Tersebarnya kemaksiatan)
Kebiasaan buruk bangsa Arab yang kemudian ditinggalkan setelah datangnya Islam antara lain :
Minum Khamr (arak)
Zina/ prostitusi
Mengawini Ibu tiri
Perbudakan
Mengubur hidup-hidup anak perempuan karena takut aib.
Membunuh anak laki-laki karena takut miskin.
Poliandri (Perkawinan seorang wanita dengan banyak laki-laki).
dll
Ad Dunya Ibtighaa- uha (Dunia yang menjadi tujuan /prioritas)
Kehormatan orang Arab saat itu bukan terletak pada ilmu ataupun keimanannya. Akan tetapi pada hal-hal yang bersifat duniawi seperti harta, pangkat, dan keturunan. Suatu contoh seperti ungkapan Abu Sofyan bin Harb
ketika mundur dari perang Badar, Ia berkata : “Kehormatanku berada pada punggung-punggung unta”
Atas dasar itulah bangsa Arab banyak yang meremehkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan shahabatnya. Duniawi telah menjadi skala prioritas (diutama Shallallahu ‘alaihi wasallam dan shahabatnya di generasi awal mayoritas orang-orang miskin, baik dalam ilmu maupun harta. Budaya materialisme nampak pada masyarakat Arab waktu itu, yang seringkali mengundang pecahnya peperangan.
Melihat keenam potret jahiliyyah tersebut, kita tidak memungkiri bahwa di tengah kehidupan orang jahiliyyah banyak terdapat hal-hal yang buruk, amoral dan masalah-masalah yang sulit diterima akal sehat. Namun demikian mereka juga masih memiliki prilaku terpuji, meng- undang kekaguman manusia dan simpati. Prilaku tersebut antara lain :
Kedermawanan (mentraktir minum Khamr, membagikan laba judi, dll)
Memenuhi Janji: lebih suka membunuh anak sendiri atau membakar rumahnya daripada meremehkan janji
Menjaga Kemuliaan Jiwa: Enggan menerima kehinaan menjadikan sikap ber-lebih-lebihan dalam keberanian, pen-cemburu dan mudah marah.
Pantang Mundur: terutama dalam Ashobiyah
Lemah lembut dan suka menolong menjadi sifat sanjungan mereka
Kesederhanaan pola kehidupan Badui: tidak mau dilumuri warna-warni peradab-an dan gemerlapnya kemewahan.5
Mengenal Profil Pembawa Rahmat
2.    Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
a.    Muhammad sebagai manusia biasa
Secara fitrah manusiawi  Muhammad adalah sama seperti bangsa Arab  lainnya baik fisik maupun mental ia memiliki hajat hidup; perlu makan dan minum, menikah, memiliki rasa benci dan cinta, rasa senang dan susah dll. Perbedaanya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diberi wahyu. Hal ini sebagai mana firman Allah Subhanahu wa ta’ala  dalam al- Qur’an :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ.
(الكهف: 110)
Artinya :  Katakanlah : “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku”: bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Satu (Esa)”. (QS. Al Kahfi : 110).
Pernyataan senada disebutkan pula pada surat Ibrahim: 11, Fushilat: 6, de-ngan matan (redaksi) yang berbeda. Bukan hanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi rasul-rasul lainpun adalah sama sebagai manusia biasa.
b.    Muhammad sebagai Rasul Allah dan Uswatun Hasanah
Secara umum keberadaan Muhammad adalah sama seperti rasul-rasul lainnya. Mereka semua adalah muslimin yang mendapat amanat risalah Allah (Syari’at)  yakni; menegakkan Ad-Din (at-tauhid) dan tidak berpecah belah di dalamnya (perintah berjama’ah) (QS. 2 : 136, 285 ; 3 : 136 ; 4 : 151 ; 42 : 13 )
Secara khusus kedudukan beliau sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) sebagaimana firman-Nya :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا. (الاحزب: 21)
Artinya : “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah (Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ) suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari qiyamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. 33 : 21)
Rasulullah sebagai uswah hasanah (Beautiful Pattern) juga sebagai pelanjut dalam meneladani Ibrahim as. Maka dari itu nabi Ibrahim as. pun disebut dalam al-Qur’an sebagai uswah hasanah (QS. Al Mumtahanah : 4-6)
c.    Muhammad Sebagai Rahmat Seluruh Alam
Dalam hal ini kedudukan Rasulullah sangat istimewa, karena sepanjang sejarah umat manusia tidak ada seorang pun yang bisa menempati kedudukan yang sama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmatan lil ‘alamin. (QS. 21 : 107)
Risalahnya secara umum diperuntukkan seluruh alam ini, baik alam nyata maupun ghaib, dunia maupun akhirat. Secara khususpun Rasulullah bukan untuk orang Arab semata, tapi untuk seluruh manusia, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (QS. 34 : 28).  Sekalipun realitas yang terjadi ada yang beriman dan ada yang kafir kepada beliau. Namun demikian tidaklah mengurangi sedikitpun keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Atas dasar inilah Rasulullah Shal-lallahu ‘alaihi wasallam sebagai figur kepemimpinan wahyu yang rahmatan lil ‘alamin tidak dapat disamakan dengan siapapun. Ia sebagai sayyidul anbiya (penghulu para nabi), ia sebagai saksi kelak di akhirat atas seluruh umat manusia (QS. 16 : 89).
Sebagai pemimpin, Muhammad  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bukan raja, kaisar atapun kepala negara yang kekuasaanya sangat dibatasi dengan ruang lingkup dan waktu tertentu. Beliau adalah hamba dan utusan-Nya yang menjadi rahmat bagi seluruh alam sepanjang jaman. Kalaupun dalam beberapa hal ada kesamaan dengan figur negarawan, ataupun yang lainnya tapi dimensinya sangatlah berbeda. Dengan demikian kita berlindung kepada Allah Yang Maha Tahu, bila di masa lalu kita telah berani mensejajarkan nabi yang mulia dengan sekedar kepala negara, raja atau kaisar. Subhanallah ‘amma yasifuun. Sistem kepemimpinan ini diwasiatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para khalifah sesudah beliau dengan sabdanya :
آُوْصيِ اَلْخَلِيْفَةَ مِنْ بَعْدِى بِتَقْوَى اللهِ وَاَوْصِيْهِ
بِجَمَاعَةِ اْلمُسْلِمِيْنَ
Artinya :”Aku wasiatkan kepada khalifah sesudahku dengan taqwa kepada Allah dan aku wasiatkan kepadanya dengan Jama’ah Muslimin.”
(HR. Ash habus Sunan, Dalam        Al Jami’ush Shagiir juz I hal 110, dari Abu Umaamah)
Generasi Awal Menerangi Peradaban
3.    Masa Rasul
Setelah sekitar 600 tahun sejak diangkatnya Al Masih Isa bin Maryam as., Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam ditengah-tengah kegelapan jahiliyyah. Dan ini merupakan suatu masa yang panjang. Pada masa itu betapa banyak penyimpangan agama tauhid,  dan di berbagai pelosok bermunculan paganisme (paham kebendaan).
Allah mengutus Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmat-Nya bagi alam semesta. Beliau diutus Allah untuk memberi petunjuk-Nya dengan izin-Nya. Maka secara bertahap cahaya Islam yang dibawanya menembus dan memenuhi relung hati orang-orang Quraisy (musuh-musuh Allah), sehingga menjadi sahabat setia.(QS. 41: 33-35)
Dengan berbekal Al Qur’an yang dilaksanakan secara kaffah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadi magnit/daya tarik yang kuat bagi orang-orang yang menerima hidayah-Nya. Hal ini dapat kita lihat pada perkembangan Islam saat itu. Hanya sekitar 23 tahun masa kepemimpinan beliau, Islam telah merubah wajah dunia yang gelap gulita menjadi terang benderang, yang biadab menjadi beradab.Alhamdulillah
Walau harus menempuh perjalanan panjang dan menyulitkan, beliau dan para shahabatnya  tetap istiqomah mendakwahkan Islam. Dari mulai bait (rumah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ke Darul Arqam, Mekkah, Madinah, Parsi, Romawi, dll. Kebenaran Islam sebagai cahaya dan rahmat-Nya terus bergerak ke penjuru  dunia  laksana  gelindingan  salju  putih,
kedalam semakin padat, keluar semakin besar. Allah Subhanahu wa ta’ala menggambarkan perkembangan Islam ini dalam surat Al-Fath : 29, adalah sebagai berikut :
كزرع أخـرج شطـئه فأ زره ، فا ستغلظ فاستوى
على سو قه يعجب الزراع ليغيظ بهم الكفار ،
Artinya : “ Seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman tersebut kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya.”
4.    Masa Khalifah
Setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, empat khalifah  utama yaitu Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan  dan Ali bin Abi Thalib r.a., melanjutkan manhaj nubuwwah , sistem kepemimpinan dan perwujudan masyarakat wahyu yang telah di awali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selama 23 Tahun. Karena sebagai pelanjut, tentu tidak sama konsekwensinya dengan yang mengawali, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lagi pula keempat khalifah tersebut tidak maksum sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Masa khilafah merupakan “Golden Age” (Abad Keemasan), saat itulah syari’at atau hukum-hukum islam sepenuhnya berkembang  dan diimplementasikan (diwujudkan) secara sempurna. Mereka adalah para khalifah ideal yang membimbing umat diatas jalan yang benar dan telah menunaikan amanah mereka dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Karena alasan inilah mereka dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin yakni para khalifah penunjuk jalan kebenaran. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
Artinya : “Maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin al Mahdiyin” (Musnad Ahmad juz 4 hal 126 –127)
Pembenahan dan pembangunan umat di masa khulafaur rasyidin berlangsung selama 30 tahun. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
الْخِلاَ فَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ
Artinya : “Kekhilafahan pada umatku tiga puluh tahun kemudian kerajaan setelah itu.” (HR. At Tirmidzi juz 4 hal 503 no. 2226, Kitabul Fitan, Abu Daud Kitabussunah juz 4 hal 221 no. 4646-4647)
Hal-hal penting yang terjadi masa Khulafaur Rasyidin :
a.  Masa Abu Bakar ( 11 – 13 H)
-    Penguburan jenazah Rasulullah tertunda 2 hari
-    Pembukuan Al-Qur’an atas usul Umar bin Khaththab
-    Menumpas Nabi Palsu dan kemurtadan
-    Memerangi yang tidak membayar zakat
-    Mengangkat Umar sebagai Qadli/Hakim
-    Melanjutkan pengiriman Usamah bin Zaid ke Syiria
b.  Masa Umar bin Khaththab (13 – 23 H)
-    Melembagakan Peradilan di wilayah-wilayah muslimin
-    Membuka Romawi dan Parsi hingga bersatu dalam Islam
-    Pengangkatan Qadli/Hakim di berbagai Wilayah
-    Mengentaskan kemiskinan disaat kemarau panjang
-    Penertiban Baitul Maal dan Majelis Kuttab (Administrasi)
-    Menetapkan Khalid bin Walid sebagai Panglima Tertinggi dalam Jihad.
c.   Masa Utsman bin Affan (23 – 35 H)
-    Menggandakan Al-Qur’an untuk antisipasi iftiraq dan ikhtilaf
-    Menertibkan Administrasi Ribath dan Iqtishodiyah (Maaliyah)
-    Menghadapi Kekacauan karena infiltrasi Yahudi ( Abdullah bin Saba’).
-    Menghindari pertumpahan darah antara muslimin (menghadapi pemberontak)
-    Pengukuhan Majelis Syuro dengan menghadirkan seluruh wali dan shahabat utama (tahun 34 H.)
-    Pengembangan dakwah ke berbagai daerah melanjutkan Khalifah Umar.
-    Menerima laporan ummat menjelang adzan Jum’at
d.   Masa Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H)
-    Bermodal keberanian dalam kebenaran dan ilmu yang mapan
-    Penertiban Keilmuan; bahasa dan lain-lain.
-    Mensikapi perang Shiffin dan Jamal dengan ishlahul ummah (menjaga keselamatan ummah).
-    Menghadapi perpecahan internal (munculnya khawarij, mu’tazilah dll).
-    Syahidnya Ali awal bencana bagi muslimin.
-    Pergeseran system khilafah kepada mulkan (kerajaan) th. 41 H .5
Setelah generasi awal (Rasul dan Khilafah) akan muncul banyak fitnah melanda kaum muslimin. Hal ini disebutkan Rasulullah dalam salah satu sabdanya :
خَيْرُالنَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَََََّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الًَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ
يَجِيْءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ آَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ
Artinya  “Sebaik baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka. Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” (Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad II/424)
Di dalam Al-Qur’an, kekuatan atau ke-baikan Rasulullah dan para shahabatnya itu di-sebut sebagai Uli ba’sin syadid (orang-orang yang mempunyai kekuatan dahsyat/hebat) QS  17 : 5
Kejayaan dan kebahagiaan muslimin di masa awal adalah potret paling ideal sepanjang se-jarah. Islam benar-benar telah menjadi cahaya dan rahmat bagi alam semesta. Karena itulah kita yakin hanya dengan berpola kepada mereka Insya Allah kejayaan dan kebahagiaan bisa kembali kita nikmati. Imam Malik r.a. berkata :
لاَ يَصْلُحُ اَمُرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَلُّهَا
Artinya : “Tidak akan selamat atau maslahat urusan umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah menyelamatkannya generasi awalnya”
Atas dasar inilah Islam hanya dapat ditegakkan dengan cara-cara terdahulu, yakni sunnah Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Tidak mungkin Islam ditegakkan dengan cara diluar Islam, baik dengan pola barat maupun pola timur.
PERISTIWA PENTING DI MASA MULKAN
A. Bergesernya sistem khilafah menjadi mulkan
Sejak syahidnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, kepemimpinan muslimin mengalami pergeseran sistem, yakni   dari khilafah kepada mulkan, yang diawali oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Ia menjadi raja pertama dari keturunan bani Umayyah, datuknya. Dalam sebuah atsar dari Abdurrahman bin Abi Bakrah : “Apakah kamu mengatakan kami (seorang) raja?”. Maka sungguh kami ridlo dengan Raja (Musnad Ahmad juz 5 hal 50, Fathur Rabbani juz 23 hal 13)
Hingga kini tidak sedikit kaum muslimin yang menyebut Mu’awiyah sebagai khalifah, padahal itu hanya mutawakil (sebutan saja), hal itu karena sistemnya bentuk kerajaan atau dinasti yang meniru kekaisaran Persia dan Konstantinopel. Pada masa Mu’awiyah perubahan terjadi bukan saja pada masalah kepemimpinan, tapi juga pada hal yang lain. Misalnya, masalah warits; pada masa Rasul dan khalifah antara kafir dan muslim tidak saling mewarisi. Tapi masa Mu’awiyah menjadi lain, seorang muslim tetap kedudukannya tidak mewarisi kafir, akan tetapi kafir jadi mewarisi muslim. Begitu pula masalah perbedaan penentuan 1 Ramadlan (shaum), berawal dimasa Mu’awiyah.
B.  Munculnya Umar bin Abdul Aziz, Khalifah yang Adil  (99-102 H)
Setelah sekitar 58 tahun berjalan, tongkat kepemimpinan mulkan Adldlan “Bani Umayyah”, jatuh pada seorang Raja yang adil, faqih, mujtahid, pandai tentang as-sunnah, besar tanggung jawabnya, kokoh hujjahnya, hafizh, tunduk kepada Allah, banyak menangis dan bertaubat kepada-Nya.
Ia membandingi Umar bin Khathab dalam keadilannya, seimbang dengan Hasan Basri dalam zuhudnya dan setara dengan Az-Zuhri dalam Ilmunya.5a
Umar bin Abdul Aziz telah berusaha mengembalikan sistem mulkan kepada sistem khilafah, maka berbagai hal ia benahi. Setiap penyelewengan dalam keamiran ia hilangkan, ia sangat hati-hati dalam penggunaan baitul maal. Tidaklah aneh ketegasaanya dalam menegakkan al-Haq menimbulkan kecemburuan dan kedengkian para pengkhianat amanat, namun ummat merasakan ketentraman dan keadilannya. Walau hanya waktu yang relatif singkat, selama dua setengah tahun masa kepemimpinannya, telah memberikan kesan mendalam bahwa ia adalah pemimpin yang dicintai dan mencintai umatnya.
Sebagian ahli sejarah menyebut beliau sebagai khalifah ke – 5, yakni setelah Ali bin Abi Thalib r.a.
C.   Penterjemahan Buku Politik kedalam Bahasa Arab
Pada tahun  198-218 H/813-833 M Ma’mun bin Harun Ar Rasyid memerintah bani Abbasiyyah melanjutkan ayahnya Harun Ar Rasyid. Untuk mengikuti perkembangan iptek, Al-Ma’mun kemudian mendirikan Baitul Hikmah/Darul Hikmah sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Dalam perpustakaannya Al-Ma’mun menyelenggarakan aktivitas penterjemahan buku-buku filsafat India dan Yunani kuno kedalam bahasa Arab.
Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid al ‘Ibadi (194-263 H/810-877 M), adalah seorang Ilmuwan Nasrani yang mendapat kehormatan dari Al-Makmun untuk menterjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles.(Kamus Al Munjid fil A’lam, hal 226)
Buku Polis, Politeia dan Politica menjadi garapan istimewanya. Maka  dalam waktu yang tidak begitu lama Hunain telah berhasil menterjemahkan buku-buku tersebut menjadi sebuah kitab dalam bahasa arab berjudul As Siyasah. Sejak itulah istilah As Siyasah sebagai terjemah dari kata politik marak dipakai dan mengilhami munculnya karya-karya besar para pakar politik Islam, antara lain:
Di masa pemerintahan Al-Mu’tashim (833-842 M) muncullah Ibnu Abi Rabi’ yang menuturkan konsep tentang kenegaraan dan di serahkan kepada Khalifah (baca :Raja) Al-Mu’tashim yang sedang berkuasa.saat itu.
Di masa Al-Muqtadir (908-972 M) muncul pakar politik Islam al-Farabi atau Abu Nashar bin Muhammad bin Nuh bin Tharkhan bin Unzalagh
Di masa Al-Qodir (991-1031 M) dan Al-Qo’im (1031-1075) M. pakar politik Islam yang terkenal saat itu adalah Al-Mawardi (974-058 M). yang menyusun kitab yang masyhur dan dijadikan rujukan pakar politik Islam saat ini “Ahkamush Shulthoniyah”
Pakar politik islam selanjutnya adalah Abu Hamid al-Ghazali atau Imam Ghazali (1058-1111 M.) yang dikenal sebagai pencetus pemerintahan teokrasi.
Menyusul setelah itu Ibnu Taimiyah (1262-1328 M) dengan bukunya  Al Siyasah Al Syar’iyyah
Juga Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dengan kitabnya Muqaddimah
Sejak enam pakar politik islam tersebut diatas, teori tentang negara Islam makin marak di kalangan para  ulama. Hal ini dijadikan solusi kepemimpinan muslimin setelah runtuhya Turki Utsmani 1924 M. Maka kekhilafahan (baca Kerajaan) pecah menjadi lima negara Islam.6
D.   Freemasonry  Mewarnai  Peradaban Muslimin
Freemasonry yang berarti himpunan tulang-tulang,  batu bebas, dalam lidah Arab disebut masuniah, dalam lidah Parsi dan Turki disebut masonik. Adalah suatu gerakan politik pembebasan, yang teratur, rapih, dibangsakan pada Profesor Heram dari Sor.  Gerakan ini bersifat internasional dan berpusat di pemukiman Bani Israel terbesar di Yerussalem.
Gerakan Yahudi internasional Bawah Tanah yang lahir 43 M ini digerakkan oleh Herodos Agripa I (wafat 44 M) dengan Heram Abioud (Ahiram Abiyud) sebagai Wakil presiden dan Moab Leuni sebagai pemegang rahasia utama. Tahun 1717 Freemasonry muncul ke permukaan, dimulai di London kemudian di Amerika Serikat dan kota-kota di Eropa.
Fremansonry banyak menjadi dalang mala-petaka yang menimpa umat Islam di dunia termasuk meruntuhkan Turki Utsmani.
Selain dari hal diatas, dalam invasi pe-mikiran Freemasonry banyak mempengaruhi budaya umat Islam agar jauh dari ajarannya, misalnya dengan infiltrasi (penyusupan), pen-dangkalan ma’na Al-Qur’an, pencampuran ajaran dll.
Tokoh-tokoh gerakannya :
Adam Wisewhite, Kristen Jerman yang jadi Atheis (wafat 1830 M)
Theodore Herzl (1860-1904) – pendiri negara Yahudi di Bazel
Guissepa Mazzini (1805-1872 M) Itali
Mayer Amschel Rothschild (1743-1812) Frankfurt ; Yahudi terkaya di dunia
Counte de Mirabean, tokoh Pemimpin Revolusi Perancis
Albert Pike, Jendral Amerika
Kindir Lore, Yahudi
Tokoh-tokoh penting lainnya: Jacques Rousceau, Voltaire, Jurji Zaidan dan Karl Marx.7
E.    Pengaruh Doktrin Darwinisme (Teori Evolusi Charles Darwin)
Darwinisme adalah sebuah gerakan pe-mikiran yang dinisbatkan kepada seorang pe-mikir Inggris Charles Darwin yang telah me-nyebarkan bukunya berjudul “The Origin” pada tahun 1859. (Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Wamy jilid I, Al Wahyu Press, Cet II 1995, hal 154)
Sekitar lima ribu tahun yang lalu bangsa Yunani Kuno menganut agama Paganisme (Pahan kebendaan/penyembah berhala). Pada abad 18 M Jean Baptice Lamark menjadikan rujukan paham materialisme yang identik dengan paganisme. Kemudian sekitar 150 tahun yang lalu Charles Darwin lahir di Inggris.
Darwin tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang Biologi. Ia hanya memiliki ketertarikan pada alam dan mahluk hidup. Sejak muda perhatiannya sangat kuat  pada mitos evolusi yang dianut bangsa Sumeria Kuno, sehingga banyak mempengaruhi jalan pikirannya. Begitu pula paganisme Yunani Kuno dan paham materialisme Lamark sangat mempengaruhi pemikiran Darwin.
Dari sinilah awal teori evolusi muncul. Ia beranggapan bahwa kejadian manusia adalah hasil suatu proses evolusi dari “Kera”. Pada teori evolusi Darwin dikatakan: ”Konsep mem-pertahankan hidup yang kuat adalah yang menang. Hal ini terjadi baik pada hewan ataupun manusia.8
Pernyataan Darwin tersebut sama sekali tidak didukung fakta ilmiah, hanya dugaan semata, tahun 1871 Darwin meluncurkan buku pertamanya “The Desert of Man” (Manusia yang ditunggalkan). Di Abad 19, Darwinisme berkembang karena kekuasaan politik saat itu.
Teori evolusi dijadikan dasar berpijak para penjajah barat untuk menancapkan kuku imperialisme di tengah-tengah bangsa kulit berwarna, hitam, sawo matang dan lain lain. Keyakinan bahwa bangsa kulit putih lebih baik dari yang lain ternyata sudah dianut sejak lama. Namun kemudian berkembang pesat setelah adanya Darwinisme.
Penjajahan dan kedzaliman yang terjadi di dunia terutama kepada muslimin (mis. Afrika), adalah tidak terlepas dari teori evolusi ini. Misalnya Jutaan muslimin di Ethiopia diusir dan di bantai, hartanya dirampas karena mereka yakin dengan doktrin “kulit hitam adalah identik dengan kera, kalau dibiarkan akan menghalangi terjadinya evolusi, karena itu harus dibinasakan”.
Tokoh-tokoh penjahat yang terilhami dengan teori evolusi Darwin : Christopher Columbus, Leonard Darwin, Adolf Hitler, Musollini, Karl Marx, Engels, Lenin dan Stalin dll.9
RUNTUHNYA KEPEMIMPINAN SENTRAL DUNIA ISLAM
A. Urgensi Kepemimpinan Muslimin
Adanya kepemimpinan sentral di tengah-tengah muslimin adalah merupakan hal strategis bagi muslimin. Hal ini terbukti lebih dari 1000 tahun muslimin dapat memegang kendali dunia, mulai masa Rasulullah (23 th), Khilafah (30 th.) dan Masa Mulkan (1263 th)
Mulkan Adldlan (kerajaan yang menggigit) dan Mulkan Jabbariyyah (Kerajaan yang sombong). Sekalipun telah menyimpang dari sistem kekhilafahan tapi secara sentral masih ditakuti oleh musuh-musuh Allah.
Sebutan khalifah waktu itu  adalah mutawakil, yakni  (sebutan)/ tidak sebenarnya.  Dengan kata lain disebut khalifah namun sistemnya mulkan/dinasty. Turki Utsmani yang dinilai sebagai Mulkan Jabariyyah adalah kepemimpinan sentral dunia Islam yang diawali oleh Utsman bin Er Taghrhol setelah runtuhnya Bani Umayyah dan Bany Abbasiyah.
Dulu 90 % wilayah (bekas) Uni Sovyet berada dalam naungan muslimin. Selama dua abad menguasai Moscow, sehingga Moscow membayar Jizyah kepada Turki. (Kepe-mimpinan Sentral Dunia Islam). Hal ini berlanjut hingga tahun  1452 M. , dan baru ketika Tsas Ivan IV berkuasa keadaan menjadi berubah, mereka mulai mencaplok negeri-negeri kecil yang terletak di Moscow. Satu demi satu wilayah Islam berhasil mereka kuasai.10
Karena Yahudi (Freemansorry) yang di-pimpin Musthafa Kamal At Taturk, dengan berbagai persekongkolan tipu muslihatnya berhasil meruntuhkan Sulthan Abdul Hamid sebagai Sulthan terakhir dalam pemerintahan Islam di Turki, 3 Maret 1924. Maka sejak hilangnya kepemimpinan sentral dunia islam itulah, muslimin makin terpecah belah menjadi negara-negara Islam dan  menjadi  golongan-golongan (ormas dan orpol Islam), sehingga sulit untuk menegakkan kembali Khilafah, ‘ala Minhaajin Nubuwwah.
Setelah runtuhnya Turki Utsmani orang-orang Eropa berkata: “Ada satu masalah penting yang tidak mungkin kami diamkan dan kami biarkan dalam kondisi yang bagai-manapun juga, yakni: Upaya kaum muslimin untuk menegakkan kembali ke-khalifahan Islam. Rintisan  apapun atau kelompok Islam manapun yang mengajak umat Islam untuk menegakkan kembali kekhalifahan di muka bumi harus ditumpas habis.”11
B.  Islam Menerangi Peradaban Muslimin
Munculnya Kesadaran Muslimin
Sejak runtuhnya khilafah Islamiyyah (mutawakil) Turki Utsmani, Maret 1924. Kaum Muslimin kehilangan pimpinan sentral sehingga makin terpecah belah dan lepas kontrol. Dari sinilah muslimin mengadakan evaluasi sejarah dan mengingat kembali sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Aku berwasiat kepada kamu sekalian agar tetap bertaqwa kepada Allah, mendengar dan tha’at, sekalipun yang memimpinmu seorang budak Habsyi, karena yang hidup diantara kamu di kemudianku, akan melihat perselisihan yang banyak. Maka dari itu, hendaklah kamu berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin Al-Mahdiyyin. Hendaklah kamu pegang teguh akan dia dan kamu gigitlah dengan geraham. Jauhilah perkara yang baru, yang diada-adakan, karena sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan semua bid’ah itu sesat. “( Musnad Ahmad juz 4 hal. 126-127, Abu Dawud, juz 4 hal. 200-201 no. 4607)
Atas dasar hadist di atas, kita dapat membuktikannya dan menganalisa sejarah peradaban muslimin, bahwa setelah  Syahidnya Ali bin Abi Thalib (41 H). kaum muslimin akan mengalami masa fitnah, rebutan kekuasaan, perpecahan, ashobiyah, bermegah-megahan dll.
Sebagai penyimpangan syariat banyak terjadi di masa mulkan  seperti: syirik, khurafat, takhayul, bid’ah , tasyabuh, talbis dll.
Kondisi tersebut telah mendorong muncul-nya gerakan-gerakan  (harokah) Islam baik yang sifatnya lokal maupun internasional. Maraknya harokah (gerakan) islam ini substan sinya ialah sebagai usaha penyadaran kaum muslimin agar kembali pada pola Khulafaur Rasyidin (Khilafah ‘ala Minhaajin Nubuwwah) yang tenggelam di telan sejarah mulkan. Maka pemahaman tentang “khilafah” menjadi beragam.
Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah dipahami muslimin dalam  berbagai versi:  Pertama, adalah sebagai sistem kenegaraan islam yang dibatasi dengan ruang lingkup dan waktu tertentu sebagaimana layaknya suatu negara modern.12 Kedua, sebagai sistem negara khilafah (pemerintahan islam dunia) yang harus diawali dengan sosialisasi terlebih dahulu sehingga menjadi dominan dalam wilayah tersebut.13 Ketiga, sebagai sitem khilafah yang tidak terikat dengan ruang lingkup waktu (international dan seumur hidup), tanpa unsur-unsur politik (baca: sistem kepemimpinan ro’yu). Jadi  mutlak al Qur’an dan Sunnah, serta berada dalam masyarakat Jama’ah Muslimin dan Imaamnya.14 Keempat, sebagai sistem imaamah/khilafah yang harus berdasar-kan “keturunan“ tertentu dan tidak berhak /sah dari yang selainnya.15 Kelima, sistem bertahap dari pembentukan individu Islami hingga terwujudnya negara Islam dan kemudian negara-negara Islam mengangkat seorang Khalifah untuk dunia Islam.16
Melihat fenomena tersebut, berbagai kajian khilafah dengan berbagai versinya kini marak diberbagai lapisan masyarakat. Terutama di kalangan kaum intelektual muslim sebagai manifestasi kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah secara kaffah. Manakah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ?. Disinilah kita pentingnya mohon pertolongan Allah, memurnikan keikhlasan dan memegang teguh dalil-dalil syara secara utuh dan menyeluruh.
Nubuwwah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam Menatap Masa Depan
Sebagai nabi terakhir yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan mu’jizat, sehingga dapat menatap masa depan dengan penuh kepastian. Bukan laksana para normal/dukun yang meramalkan masa depan dengan bantuan jin yang penuh kebohongan (QS.72:4-6). Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam benar dan dibenarkan Allah. Karena itulah pandanganya ke depan adalah mu’jizat yang harus kita imani, tanpa keraguan sedikitpun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى .إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
Artinya  : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan  hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QS. An-Najm : 3-4)
Pandangan Rasulullah ke depan yang diabadikan oleh Al Bukhari dalam riwayatnya  berdialog dengan Hudzaifah bin Yaman adalah sebagai berikut :
“Dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a. , ia berkata : “ Adalah orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tentang kebaikan, tetapi aku bertanya kepada beliau dari hal; keburukan, karena aku khawatir  keburukan itu akan menimpa diriku, maka aku bertanya : “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam) kepada kami. Apakah sesudah kebaikan ini akan ada lagi keburukan ?”
Rasul menjawab    : “ Ya !”
Aku bertanya    :“Dan apakah sesudah keburukan itu nanti ada lagi  kebaikan?”
Rasul menjawab        : “Ya, dan didalamnya ada kekeruhan (dakhan).”
Aku bertanya    : “Apakah kekeruhannya itu ?”
Rasul menjawab    : “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan petunjukku, Dalam Riwayat Muslim : Kaum yang berperilaku bukan dengan Sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.(pada me-reka ada ma’ruf dan ada munkar)”
Aku bertanya    :“Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi   keburukan?”
Rasul Menjawab    : “Ya, yaitu adanya para da’i (penyeru) yang mengajak kepintu-pintu jahannam. Barang siapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam jahannam itu.”
Aku berkata    :“Ya Rasulullah tunjukkanlah sifat mereka itu kepada kami!”
Rasul menjawab    :“Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara dengan lisan-lisan kita.”
Aku bertanya    :“Apakah yang engkau perintahkan kepadaku, jika aku menjumpai keadaan yang demikian itu?”
Rasul bersabda    :“Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka!”
Aku bertanya    :“Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imaam ?”
Rasul bersabda    :“Hendaklah engkau keluar menjauhi firqoh-firqoh itu semuanya, walaupun engkau sampai menggigit akar kayu, hingga kematian menjumpaimu, engkau tetap demikian.” (HR. Al Bukhari IV/225, Muslim II/134-135)
Dilihat dari untaian sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Peradaban ini mengalami fluktuasi (pasang surut) yang bila dibuktikan secara historis Insya Allah akan ditemukan versi perincian yang sama, namun demikian sebagai gambaran global antara lain sebagai berikut :
Jahiliyyah dan Keburukan, yakni masa sebelum Muhammad menjadi Rasul
Fase Kebaikan (Islam), yakni masa Nabi selama 23 tahun dan masa 4 khalifah selama 30 tahun
Fase Keburukan, yakni akhir kekhilafahan Ali ra 37-41 H sampai masa Mulkan
Fase Kebaikan tapi ada kekeruhan (mengikuti sunnah dan petunjuk bukan dari Rasul) yakni masa Mulkan Adldlan, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah  (dari Muawiyah 41 H/661 M sampai Marwan II bin Muhammad thn 132 H/750 M)
Fase Keburukan : Para Da’i mengajak ke pintu jahannam, dari Abul Abbas As-Saffah  132 H/149 M sampai Al-Mu’tashim 656 H/1258 M juga Masa Mulkan Jabariyah sampai sekarang.
Fase Jama’ah Muslimin dan Imaamnya, masa Khilafah ‘Ala Minhaajin Nubuwwah, sekarang dan yang akan datang
Fase i’tizal/tidak ada Jama’ah dan Imam-nya, yakni masa sakata (diam).
wallahu a’lam bish showwab
Jadi berdasarkan wasiat itu, maka kondisi sekarang adalah Fase Keburukan yakni banyak da’i yang mengajak ke pintu pintu jahannam dan Fase ditetapinya Jama’ah Muslimin dan Imamnya. Dalam  hal kepe-mimpinan, sekarang memasuki masa Khilafah ‘ala Minhaajin Nubuwwah. Masyaa Allah. 17
C.   Isyarat Kebangkitan Ummat Akhir Jaman
Isyarat dalam Al Qur’an
·    QS. Al-Israa (17) : 7 :
“ Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain)* untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka* masuk ke dalam Mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.”
Pada ayat diatas, yang dimaksud dengan orang-orang lain/mereka adalah muslimin. Adapun dlomir  kum atau antum  adalah orang-orang Israel/Yahudi.
Muslimin telah masuk ke masjidil aqsha secara berbondong-bondong pada masa Khalifah Umar bin Khaththab.
Peristiwa diatas insya Allah akan terjadi lagi dalam waktu yang dekat. Masalah penting yang harus dicermati, adakah kelayakan pada diri kita untuk menjadi mereka (hamba-hamba Allah) yang ditolong,
Sehingga kemenangan dan kejayaan muslimin akan segera kita raih.
Ayat-ayat lain yang perlu kita kaji adalah sebagai berikut
17 : 4 – 8    58 : 22    9 : 105    2 : 249 – 250
63 : 8    48 : 28    3 : 195    4 : 76
30 : 47    61 : 9    8 : 65 – 66    24 : 55
13 : 11    47 : 7    3 : 139 – 140    10 : 103
5 : 55-56    22 : 40    3 : 146     25 : 63-76
Isyarat dalam Al Hadist
a.    :”Dari Tsaubban r.a., ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda : “Senantiasa segolongan daripada ummatku ada yang menolong atas kebenaran, tidak membahayakan pada mereka itu orang yang meremehkan mereka, sehingga datang perintah Allah dan mereka itu tetap demikian. (HR. Muslim, At Tirmidzi, Ibnu Majah)
b.     Dari Al Mughirah r.a.  ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  pernah Bersabda : Senantiasa daripada ummatku ada yang menolong atas kebenaran, sehingga datang pada mereka itu perintah Allah dan mereka tetap menzhahirkan. (HR.  Al Bukhari)
c.    “Tidak akan tiba hari Qiyamat hingga umat islam bertempur sengit melawan Yahudi (Israil) sampai bangsa Yahudi bersembunyi di belakang batu/pohon. Lalu keduannya (batu/pohon) berkata : “Hai umat Islam, di belakangku adalah bangsa Yahudi, maka bunuhlah mereka. Kecuali pohon Ghorqod, ia tidak memberitahukan sebab ia pohon Yahudi.”  (HR.  Bukhari Muslim)
d.    “Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhaajin nubuwwah)” (HR. Ahmad –Musnad Ahmad IV/273)
3. Fakta Sejarah
Berdasarkan kepada Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 140  dan hadits-hadits Rasulullah SAW tentang masa depan Islam dan Muslimin, sejarah membuktikan bahwa berpegang teguh kepada kebenaran (Al-Haq) adalah sumber kekuatan dan kejayaan. Hal ini nampak pada masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin sebagai berikut :
-    Perang Badar ( 2 H ), Uhud (3 H), Ahzaab (5 H), Hudaibiyah (6 H), Khaibar (7 H), Mu’tah (8 H), Tabuk (9 H), Futuh Mekkah (11 H),18 pengiriman Usamah bin Zaid (11 H), Penumpasan Nabi palsu, orang murtad dan pemberontak (11-12 H), Perang Rantai dengan Persia (12 H), Perang Ajnadin (13 H), Perang Namariq, Jembatan, Bawaih, Qodisiyah, Jalulah, Yarmurk, dll. (13-23 H) s.d. jatuhnya Parsi dan Romawi  dimasa Umar.
-    Khalifah Utsman menghadapi Abdullah bin Saba dan pendukungnya
-    Khalifah Ali r.a. mensikapi perang Shiffin dan Jamal (37 H)
-    Sepeninggal Ali r.a. muslimin mengalami kondisi fitnah di masa mulkan selama 13 abad, setelah itu pada awal abad 18 munculnya gerakan-gerakan Islam inter-nasional yang mengajak kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan menegak-kan kembali khilafah ‘ala minhaajin nubuwwah, antara lain :
1.    Da’wah Salafiyah (1730 M) Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 -1206 H/1703-1791 M) di Saudi Arabia.19
2.    Ikhwanul Muslimin (1928 M) Syaikh Hasan al Banna (1324-1368 H/1906-1949 M) di Mesir.
3.    Jama’ah Tabligh, Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi (1303-1364 H) di India.
4.    Hizbut Tahrir (1953) Dr. Syaikh Taqyuddin An Nabhani (1909-1979 M) di Palestina
5.    Jama’ah Muslimin atau Hizbullah (1953), Dr.  Syaikh Wali Al Fattaah (1908-1976 M) di Indonesia
Bicara tentang kebangkitan Islam, setiap tokoh pergerakan yang berorientasi kepada tegaknya Khilafah tidak bisa kita lewatkan. Seperti halnya Jamaluddin Al-Afghani, keyakinan akan keunggulan potensial peradaban Islam terhadap Barat, sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran Islam sejak abad 19 lalu.
Faktor-faktor Pendukung
Untuk menjawab keraguan orang tentang kemungkinan bersatunya umat islam di bawah seorang Imaam (khalifah), Dr. Syaikh Yusuf Al Qardhawi dengan tegas mengatakan  bahwa:  “Persatuan umat Islam adalah Realita dan pasti akan terwujud bukan sebuah khayalan (retorika).”
Dalam risalahnya yang berjudul “Al-Ummah Al-Islamiyah Haqiqah Laa Wahm”, beliau menyebutkan enam kriteria tentang kepastian terwujudnya kesatuan ummat Islam antara lain :
Menurut Logika Agama
Al-Qur’an dalam beberapa ayat menyatakan bahwa kaum muslimin adalah satu, bukan  (beberapa umat). Hal ini dapat dilihat pada surat Al Baqarah ayat 143, Ali Imran : 110, Al-Anbiya : 92, Al Mu’minun : 52
Menurut Logika Sejarah
Umat Islam pernah bersatu di bawah seorang khalifah (termasuk mulkan) dalam masa hampir seribu tahun dan meliputi daerah yang sangat luas mulai dari Cina di sebelah timur, dan Andalusia (Spanyol) di sebelah barat
Menurut Logika Geografis
Dengan kehendak Allah umat islam menempati negeri-negeri yang saling berdekatan dan sambung menyambung antara satu dengan yang lainnya mulai dari Jakarta di sebelah timur, hingga Rabbath Al-Fath di sebelah barat atau mulai dari Samudera Pasifik ke Samudera Atlantik
Menurut Logika Realita
Secara realita umat islam adalah umat yang satu, hal ini kita lihat ketika sebagian umat Islam menderita, maka sebagian yang lain ikut merasakan penderitaan itu. Seperti halnya terhadap kasus Palestina dan Bosnia, kaum muslimin seluruh dunia bangkit memberikan bantuan.
Menurut Logika Non Muslim
Orang-orang non muslim tetap meng-anggap umat islam adalah satu ummat. Apabila terjadi perpecahan hanyalah perpecahan lahiriah saja, tetapi perasaan mereka tetap satu.
Menurut Logika Maslahat dan Tuntutan Jaman
Pada masa lalu umat islam memiliki seorang “khalifah” yang dapat mengajak umat islam untuk bertindak bersama-sama dalam mengatasi problematika yang mereka hadapi. Hal ini menyebabkan musuh-musuh islam berpikir panjang apabila hendak mengganggu umat islam. Namun hari ini umat islam tidak memiliki seorang khalifah yang melindungi mereka. Umat islam tidak memiliki “Paus” seperti yang dimiliki orang-orang Nasrani. 20
Usaha yang paling fundamental, untuk mewujudkan persatuan umat adalah dengan menegakkan institusi khilafah atau imaamah. Karena hanya dengan seorang khalifah atau imaam umat islam tetap bersatu.
IBRAH PARA NABI DAN SHAHABAT
A.     Dua Hal Penting
Dalam Al Qur’an surat Asy-Syuraa : 13 terdapat dua hal penting yang diwasiatkan Allah kepada Ulul Azmi (Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) yakni
1.    Menegakkan Ad-Din
2.    Jangan berpecah belah di dalam Ad-Dien.
Ini artinya, bahwa para nabi diperintahkan Allah untuk mewujudkan kesatuan umat dengan komando sentral nabi sendiri diatas landasan Ad-Din (Undang Undang/ Aturan Allah)
B.    Tha’at  atas Perintah Allah
Mentaati suatu perintah memang tidaklah mudah, terlebih bila hal tersebut tidak masuk akal, namun demikian para nabi dan shahabat senantiasa ridlo dan bersikap husnuzhan atas perintah-Nya. Sebagai berikut :
a.    Nabi Nuh ketika diperintah membuat kapal/perahu diatas gunung, sangat irasionil dan menyulitkan. Akan tetapi ia ridlo atas perintah tersebut.. Alhamdulillah, akhirnya Nabi Nuh dan pengikutnya yang setia selamat dari banjir besar dan dahsyat.
b.    Nabi Ibrahim a.s. saat diperintahkan meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di padang pasir yang tandus dan tak ada kehidupan. Ia ridlo dan husnuzhon akan adanya pertolongan Allah. Alhamdulillah, tempat tandus itu kini jadi tempat yang subur dengan kekayaan alam, sehingga berubah jadi kota yang ramai dan dikunjungi manusia dari seluruh penjuru dunia.
Begitu pula saat perintah menyembelih Ismail datang, ia ridlo dan husnuzhon atas-Nya, yang ternyata itu hanya sebagai ujian keimanannya.
c.    Nabi Musa a.s. ketika berhadapan dengan Fir’aun ayah angkatnya sendiri
-    Melawan ahli sihir yang merubah tali menjadi ular, secara rasional ular-ular tersebut mestinya dipukul dengan tongkat, akan tetapi Nabi Musa diperintah Allah “Lemparkanlah tongkat itu”. Akhirnya pertolongan Allah datang, ularpun (tongkat Musa) memakan ular-ular Fir’aun
-    Saat kesulitan menghadapi kejaran Fir’aun di tepi laut, secara rasio tongkat dilemparkan berubah menjadi perahu dan kemudian berlayar. Akan tetapi perintah Allah “Pukulkanlah” akhirnya laut terbelah menyelamatkan Musa dan pengikutnya tapi menenggelamkan Fir’aun dan pengikutnya.
d.    Pengangkatan Usamah bin Zaid masih relatif muda (kl. 16 atau 17 tahun), sebagai komandan perang melawan tentara  Syiria. Walau itu pengalaman perdana bagi Usamah dan para shahabat utama pun jadi prajuritnya, termasuk Umar bin Khaththab, namun dengan izin dan pertolongan-Nya, alhamdulillah peperangan itu dapat dimenangkan muslimin.
e.    Pencabutan Khalid bin Walid di masa Umar, yakni untuk menyelamatkan muslimin dari kultus individu, karena kehebatan Khalid dalam memimpin perang. Namun demikian  walau ia  dicabut dari amanatnya sebagai komandan,  kegigihan khalid tetap stabil sebagai prajurit biasa tapi disegani lawan dan ia tidak pernah surut dari medan jihad.21
C.    Wasiat dan Warisan Rasulullah
Secara syari’ah sebuah wasiat dari orang yang meninggal dunia hendaknya lebih didahulukan sebelum membagikan harta pusaka (waris) QS. 4 : 11-14. Hal ini karena secara hakikat wasiat tersebut  adalah amal orang yang meninggal. Karena itu wajib bagi yang hidup (ahli waris) untuk melaksanakan wasiat tersebut dengan sebaik-baiknya, tanpa dikurangi atau ditambah sedikitpun kecuali bila bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula dengan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pasti kebenarannya datang dari Allah Subhanahu wa ta’ala (QS. An-Najm :3-4).
Yang menjadi wasiat dan warisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah harta atau kedudukan duniawi, namun pedoman hidup dan sistem hidup, untuk keselamatan umatnya dunia dan akhirat. Pedoman hidup yang diwariskan oleh beliau disampaikan pada saat khutbah wada’, yakni dua pusaka: Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun yang menjadi wasiatnya adalah sebagai berikut :
1.    Kepada Khalifah sesudahnya :
آُوْصِ اَلْخَلِيْفَةَ مِنْ بَعْدِى بِتَقْوَى اللهِ وَاَوْصِيْهِ
بِجَمَاعَةِ اْلمُسْلِمِيْنَ
Artinya :”Aku wasiatkan kepada khalifah sesudahku dengan taqwa kepada Allah dan aku wasiatkan kepadanya dengan Jama’ah  Muslimin” (HR. Ash-habus sunan, Al Jami’ush Shagiir juz I hal 110)
Dari sabdanya ini dapat kita pahami, bahwa ada tiga hal yang tidak dapat dipisahkan, yakni : Khalifah, Taqwallah dan Jama’ah Muslimin.
2.    Kepada Hudzaifah bin Yaman untuk umat yang akan datang bila menghadapi kondisi yang tidak menentu, banyak fitnah, ashobiyah  dan munculnya talbis antara haq dan batil serta adanya para da’i yang mengajak ke pintu-pintu jahannam :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
Artinya: ”Tetaplah kamu dalam Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka” (HR. Al Bukhari juz 4/225, Muslim juz 2/134-135, Ibnu Majah II/475)
3.    Kepada para shahabatnya, nabi bersabda :”Tiga hal yang hati seorang muslim tidak akan dengki atasnya :1). Ikhlas dalam beramal. 2) dan menasihati  Imaamul Muslimin 3), dan menetapi Jama’ah Muslimin”. (HR. At Tirmidzi Kitabul Ilmi juz 5/33 No. 2656, Sunan ad Darimi juz 1/76)
4.    Nabi bersabda :”Aku wasiatkan kepada kamu untuk berbuat baik kepada para shahabatku kemudian pada generasi sesudah mereka dan kemudian pada generasi setelahnya ………….., wajib bagimu dengan al Jama’ah dan jauhilah perpecahan (firqoh). (HR. At Tirmidzi, Kitabul Fitan juz 4/406 No. 2165, Ahmad juz 1/18).
5.    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Aku perintahkan kepada kamu sekalian (muslimin) dengan lima perkara; sebagaimana Allah telah memerintahkan aku dengan lima perkara itu, dengan Al-Jama’ah (berjama’ah), mendengar, tha’at, hijrah dan jihad fie sabiilillah. Barangsiapa yang keluar dari Al-Jama’ah sekedar sejengkal, maka sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali bertaubat. Dan barangsiapa yang menyeru (berdakwah) dengan seruan jahiliyyah, maka ia termasuk golongan yang bertekuk lutut dalam Jahannam.” Para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah, jika ia shaum dan shalat ? “ Rasul bersabda : “Sekalipun ia shaum dan sholat dan mengaku dirinya seorang muslim, maka panggilah  orang-orang  muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka ; “ Al Muslimin, Al Mukminin, Hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad dari Harts Al-Asy’ari, Musnad Ahmad :IV/202, At-Tirmidzi V/148-149 no. 2263, Lafadz Ahmad)
Adapun warisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berupa harta atau kedudukan duniawi, akan tetapi pedoman hidup yang tak ternilai harganya sebagaimana sabdanya :”Dan sungguh aku telah tinggalkan (pusaka) kepadamu suatu yang jika engkau berpegang teguh denganya niscaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, suatu urusan yang terang nyata yaitu Kitabullah dan Sunnah rasul.” (Khutbatul Wada’, Sirah Ibnu Hisyam dan Ibnu Addi Rabbih dalam Al Iqdul Farid, ditambah riwayat  Bukhari dalam Shahihnya.)
ANTARA POLITIK, NEGARA DAN SIYASAH
Para pakar politik sangat beragam dalam mendefinisikan kata Politik. Namun demikian secara umum politik identik dengan kekuasaan (LF. Isjwara “Pengantar Ilmu Politik”, Bandung, 1967 hal 37-38); dan negara adalah manusia dalam ukuran besar (Plato), suatu susunan pergaulan hidup bersama, suatu tata paksa (Hans Kelsen) (Diponolo, “Ilmu Negara”, Jakarta 1951, hal 8-9).
Dalam kamus W.S. Poerwadarminta, negara berbeda dengan negeri. Indonesia sebelum 17 Agustus 1945 adalah sebuah negeri dan sejak 17 Agustus 1945 menjadi sebuah negara dengan kekuasaan dan sistem.22
Drs. Sulchan Yasin dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia juga berbeda dalam mengartikan negara dan negeri.
Negara adalah daerah luas yang dihuni oleh suatu bangsa sebagai penduduk atau warganya; yang syah, lengkap dengan pengaturan dan Undang-undang pemerintahannya. Sedangkan negeri adalah sebutan negara yang sempit, kota yang besar, daerah kelahiran, wilayah dibawah pimpinan penghulu (jaman dahulu).
(Sulchan Yasin, CV Putra Karya ; 251-252)
Adapun siyasah berasal dari kata: سَاََسَ- يَسُوْسُ- سِيَاسةً Artinya; memelihara, memerintah dan memimpin. (Kamus Arab Indonesia Prof Mahmud Yunus dan Al-Munawir). Kalimat ini terdapat dalam hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ
خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ
حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap wafat seorang nabi diganti oleh nabi lainnya dan sesudahku tidak ada lagi nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Shahabat bertanya :”Ya, Rasulullah apa yang engkau perintahkan kepada kami?”. Beliau bersabda: “Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berikanlah kepada mereka haknya, maka sesungguhnya Allah akan menanyakan apa yang digembalakannya”. (Al Bukhari, Kitab Bad’ul Khalqi : IV/206)
Dari hadist diatas, as-siyasah berarti kepemimpinan para nabi dan khilafah (khas islam). Hal ini sangat berbeda secara prinsip dengan kepemimpinan politik baik dari segi motivasi (mabda), prosedur (manhaj), maupun tujuan (ghayah). Dalam Lisanul Arabi, siyasah kamaslahatan (Ibnu Manzhur Vol VI hal.108). Dalam Kamus Al-Munjid arti siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan.
Di antara perbedaan yang mendasar adalah sebagai berikut :
No.    Materi    Khilafah/ Sistem Islam    Politik Murni
1.    Mabda (Motovasi, Niat)    Ikhlas, semata-mata melaksanakan perintah Allah (QS. 98:5)    Duniawi (kekuasaan)
2.    Manhaj (Prosedur)    Wahyu Allah (QS. 53:3-4, 48:28)    Otak manusia (ro’yu) dan situasi kondisi
3.    Nilai Kekuatan Hukum    Mutlak dan Sempurna (QS. 5:3, 6:115)    Relatif/semu tidak sempurna (QS.6:116)
4.    Subjek masalah    Allah (QS. 18:26)    Manusia (QS. 9:31, 5:104)
5.    Legalitas    Allah dan Rasul (QS. 48:28, 22:78, 4:59)    Lembaga ciptaan manusia :Negara, PBB dll
6.    Amaliyah (wujud)     -Nubuwwah,
-Khilafah ‘ala  minhajin nubuwwah,
-Jama’ah Muslimin
/al-Jama’ah    Negara, ormas, orpol dll.
7.    Figur/uswah    Rasulullah (QS. 33:21)    Selain Rasulullah
8.    Masa Kepemimpinan     Seumur hidup    Temporer
9.    Ruang lingkup    Universal, rahmatan lil ‘alamin    Parsial, terbatas dengan teritorial
10.    Fungsional Pemimpin    Pengembalaan /pengayom (di tengah-tengah ummat)    Penguasa (diatas kepala ummat)
11.    Misi Utama Risalah    Tauhid    Duniawi
12.    Sistem Perjuangan    Wajar (QS. 48:29, 7:178)    Dipaksakan (rekayasa)
13.    Ghayah (tujuan)    Ridla, karunia dan ampunan Allah    Duniawi
Atas dasar uraian tadi, lebih tepat kita gunakan istilah Khilafah, Al-Jama’ah atau Jama’ah Muslimin sebagai  pengganti istilah negara, karena hal ini lebih dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i, baik didunia maupun diakhirat. Kalaupun hanya untuk mendekatkan pemahaman, bisa saja kita meminjam istilah “negara”  dalam pengertian substansinya tetap perwujudan masyarakat wahyu yang berbeda dengan masyarakat dalam suatu negara.
Pendekatan ini hanya dilakukan sekedar untuk memudahkan muslimin dalam memahami konteks kemasyarakatan bukan menghilangkan substansi Nubuwwah dan Khilafah kepada “Negara” sebagai satu institusi yang dikenal masyarakat dewasa ini. Kendati demikian potret asli kemasyarakatan wahyu adalah : Khilafah/Al-Jama’ah/Jama’atul muslimin harus tetap kita sebarkan dan menjadi satu kewajiban untuk mengamalkan (menetapinya).
TUJUAN DAN TUGAS
KHILAFAH DALAM ISLAM
Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah yang mengikuti manhaj kenabian) berlangsung selama 30 tahun, yakni dari Abu Bakar sampai dengan Ali. Setelah  itu terjadi  pergeseran dari sistem khilafah menjadi mulkan (kerajaan) yaitu pada tahun 41 H, dan berlanjut sampai runtuhnya Turki Utsmani (1924). Kemudian muslimin akan kembali kepada masa khilafah, setelah mengalami masa fitnah yang sangat  panjang.
Periodesasi kepemimpinan yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai berikut :
2.    Nubuwwah  (23 tahun)
3.    Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (30 tahun)
4.    Mulkan adldlan (kerajaan yang menggigit) (617 tahun)
5.    Mulkan jabariyyah (kerajaan yang sombong) (678 tahun)
6.    Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (masa sekarang dan yang akan datang)
Pembentukan atau penegakan khilafah Islamiyyah dalam pandangan para ulama adalah wajib secara syar’i sebagai pengganti tugas kenabian dalam mengatur kehidupan dan urusan ummat baik duniawi maupun ukhrawi. Karena itulah ummat wajib menunjukan kepatuhan dan ketaatan kepadanya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Masalah yang maha penting ini dibuktikan para shahabat dengan menunda pemakaman jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebelum dibai’atnya Abu bakar sebagai Khalifah.
A. Tujuan dan Tugas  Khilafah :
Melaksanakan syari’at islam (QS.42:13)
Menegakkan keadilan (QS.5:6)
Mewujudkan Kesejahteraan )QS.2:177/215 /273,3:103)
Memelihara persatuan dan kesatuan ummat (QS. 3:103,8:73-75) dewngan kerjasama dan tolong menolong (QS. 5:2, 9:71-72)
menciptakan keamanan dan ketenangan (QS.24:55)
Sebagai sentral segala urusan (QS.4:59/83)
B. Tujuan dan Tugas Khilafah Menurut Para Ulama
a. Menurut Al-Mawardi (974-1058 M.), dalam Ahkamus Shulthaniyah
Mempertahankan dan memelihara diin (agama) menurut prinsip-prinsip yang di-tetapkan dan apa yang menjadi ijma’ salaf
Melaksanakan kepastian hukum diantara pihak-pihak yang bersengketa atau perkara dan berklakunya keadilan yang universal antara penganiaya dan yang dianiaya
Menjaga keamanan masyarakat/ummat sehingga hidup tenang dan aman, baik jiwa maupun harta
Memelihara hak-hak allah maupun ummat
Membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh
Jihad melawan penentang Islam setelah da’wah agar rmereka mengakui izzahnya islam
Menarik fa’i sesuai syariat dalam nash dan ijtihad
Mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif
Meminta nasihat/pandangan dari para bithonah (pembantu terpercaya)
Menangani dan meneliti/kontrol langsung kepada para pembantu dalam mengurus ummat dan memelihara islam
b. Menurut Ibnu Taimiyah  (1262-1328) dalam Siyasatusy Syar’iyyah
Tujuan utama khilafah adalah melaksanakan syari’at islam demi terwujudnya kesejahteraan ummat lahir dan bathin serta tegaknya keadilan dan amanah dalam masyarakat. Paradigma ini banyak bersandar pada al-Qur’an dan Hadist.
c. Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dalam Muqaddimah
Sesungguhnya kehidupan didunia ini bukanlah tujuan akhir dari keberadaan manusia di dunia ini adalah satu marhalah yang dijalani menuju kehidupan lain, yaitu kehidupan akhirat. Undang-undang islam yang bersifat siyasah menaruh perhatian kepada kehidupan manusia. Maka imaamah, adalah warisan yang ditinggalkan oleh nabi, adalah untuk melaksanakan hak-hak Allah demi terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.23
URGENSI KHILAFAH BAGI MUSLIMIN
Sistem kemasyarakatan dalam Islam adalah bagian dari syari’at Islam itu sendiri. Begitu pula pola kepemimpinan dalam Islam adalah adalah khas kepemimpinan  itu sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin adalah pola yang paling ideal sepanjang sejarah Islam, yang wajib kita imani dan wujudkan dalam kehidupan. Sebagaiman sabdanya :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
Artinya :”Maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin”. (Musnad Ahmad juz 4 hal 126-127)
Tegaknya kepemimpinan/khilafah ditengah-tengah muslimin menjadi sandaran bagi terlaksananya hukum-hukum Allah, dan menjadi pokok terwujudnya ukhuwwah islamiyyah serta sebagai sentral  kekuatan dan kesatuan ummah. Penegakkan Khilafah dalam pandangan para ulama adalah wajib syar’i sebagai pengganti tugas kenabian dalam mengatur kehidupan dan urusan ummat baik duniawi maupun ukhrawi. Nabi bukanlah seorang penguasa (QS. Al-Ghatsiyyah: 22), juga bukan seorang Raja (HR. Bukhari dari Anas bin Malik, Syarhu Al-Madany Al-Muassasah As-Su’udiyah, Mesir juz 2 hal 110, hadist no. 3312), maka kepemimpinan Khilafah/Imaamah pun bukan-lah penguasa ataupun raja, akan tetapi sebagai ra’in/pengembala (HR. Bukhari, Kitabul Ahkam IX/77, Muslim II/25), dan juga sebagai junnah/perisai. (HR. Muslim II/132). Hal ini tidak berarti Islam anti kekuasaan, namun diyakini bahwa kekuasaan itu mutlak milik Allah, dan diberikan akan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. Ali Imran : 26). Jadi kekuasaan akan diberikan kepada yang mendapat amanah untuk memikulnya. Dan bumi Allah ini telah diwariskan kepada hamba-hamba-Nya yang Sholih.
Karena itulah ummat wajib menunjukkan kepatuhan dan ketaatan kepada Khalifah selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Karena maha pentingnya urusan khilafah ini, maka para shahabat terlebih  dulu mengurus masalah kekhilafahan (membai’at Abu Bakar) sebelum yang lain, hingga pengurusan jenazah Rasulullah tertunda selama dua hari. Setelah masalah ini usai secara tuntas, barulah mengurus jenazah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wujud kekhilafahan ini mulai samar pada tahun 40 H/660 M, yakni sepeninggal Ali bin Abi Thalib dan kemudian menjadi mulkan (Mu’awiyyah bukan pola Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin, akan tetapi pola kekaisaran Persia dan Konstatinopel. Hal ini diakui langsung oleh Mu’awiyyah kepada Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa ia sungguh ridla dengan sebutan raja (Musnad Ahmad juz V hal 50)
Sepeninggal Khalifah Ali bin Abi Thalib, muslimin mengalami tafarruq dan ikhtilaf yang berkepanjangan hingga hari ini. Berbagai pemahaman pun muncul dengan berbagai versinya. Potret kepeimpinan Rasulullah dan Khalifah yang empat, seringkali ditafsirkan dalam versi kondisional (hari ini), sehingga semakin suburlah iftiraq (perpecahan) dan ikhtilaf (perbedaan pendapat). Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin sebagai figur wahyu pun banyak ditafsirkan sebagai kepala negara. Dan sistem kesatuan muslimin pun sering diterjemahkan menjadi negara Islam.
DR. Qomaruddin Khan (Pakistan) dalam bukunya “Tentang Teori Politik Islam” menyatakan kalau misi para nabi dan rasul Allah itu membawa misi kenegaraan, niscaya banyak sekali nabi dan rasul Allah yang gagal dalam misinya, karena banyak diantara mereka yang hanya diikuti oleh beberapa orang saja. Padahal misi/risalah para rasul Allah itu pada dasarnya sama; yakni menegakkan Addin dan tidak berpecah belah didalamnya (Ad-dien) QS. 42 : 13, 2 : 285)
Pakar politik Islam, Abu A’laa al-Maududi pun mengakui dalam tulisannya “Khilafah Rasyidah”, sebagaimana telah kami jelaskan ciri-ciri khasnya dan prinsip-prinsip dasarnya dalam halaman yang lalu, pada hakikatnya bukan merupakan suatu pemerintahan politik, tetapi ia merupakan perwakilan sempurna dan menyeluruh dari Nubuwwah”. (Al-Maududi 1985 : 135)
Perbedaan pemahaman dalam masalah “Kepemimpinan dan Sitem Kemasyarakatan Islam” ini telah berlangsung selama kurang lebih tiga belas abad (13 abad), yakni sejak syahidnya Ali bin Abi Thalib r.a (40 H) sebagai khalifah digantikan oleh Mu’awwiyah sebagai Mulkan (Raja) yang disebut khalifah. Penyimpangan sistem khilafah semakin jauh setelah diterjemahkannya buku-buku politik (politea, Polis dan Politica) karya Plato dan Aristoteles kedalam bahasa arab menjadi satu kitab yang berjudul AS-SIYASAH, Pada masa pemerintahan Bany Abbasiyyah, Ma’mun bin Harun Al Rasyid (198-218H/813-833 M) mengangkat penterjemah buku Plato dan Aristoteles tersebut adalah seorang ilmuwan kristen,  Hunain bin Ishaq dijadikan tokoh Darul Hikmah/Baitul Hikmah.  (Kamus Al Munjid fil A’lam halaman 226).
Hunain bin Ishaq yang bergelar Abu Zaid al ‘Ibadi (194-263 H/810-877 M), seorang  ilmuwan Nasrani yang sangat dihormati dan dimanjakan oleh Ma,mun bin Harus Al Rasyid serta dibayar/disewa mahal karena jasa-jasanya telah menterjemahkan buku-buku filsafat Yunani kuno. Sebagai seorang ilmuwan kristen Hunain telah memiliki andil besar dalam memperkenalkan pemikiran yunani kepada muslimin. Sejak itulah bermunculan kitab-kitab tentang kenegaraan dalam bahasa arab, termasuk munculnya ilmu Fiqh Siyasah.24
TOLERANSI DALAM NAUNGAN RASULULLAH  S.A.W. DAN KHILAFAH
Suatu ketika Asma binti Abu Bakar didatangi ibunya, Qotilah, yang masih kafir. Ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, : “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya ? “ ,Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Boleh”, kemudian turunlah ayat ke 8 surat Al-Mumtahanah.
Ayat itu menegaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi Agama Allah. Demikian yang diterangkan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya juz IV  hal 349.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Qotilah (bekas isteri Abu Bakar) yang telah diceraikannya pada zaman jahiliyyah, datang kepada anaknya, Asma binti Abu Bakar, membawa hadiah. Asma menolak pemberian itu bahkan tidak memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumah. Kemudian ia mengutus seseorang kepada ‘Aisyah (saudaranya) untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Rasul pun memerintahkan utnuk menerimanya dengan baik serta menerima pula hadiahnya. (HR. Ahmad, Al-Bazzar, Al-Hakim dari Abdullah bin Zubair).
Berdasar keterangan diatas menunjukkan bahwa Allah tidak melarang kita berbuat baik kepada mereka yang tidak memusuhi Islam. Hal inilah yang kita sebut dengan Toleransi atau Tasamuh.
Pengertian Toleransi
Kata toleransi dalam bahasa Belanda adalah “tolerantie”, dan kata kerjanya adalah “toleran”. Sedangkan dalam bahasa Inggeris, adalah “toleration” dan kata kerjanya adalah “tolerate”
Toleran mengandung pengertian: bersikap mendiamkan. Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa kepada sesama. (Drs. Sulchan Yasin, dalam Kamu Lengkap Bahasa Indonesia, hal 389)
Indrawan WS. Menjelaskan pengertian toleran adalah menghargai paham yang berbeda dari paham yang dianutnya sendiri.  (Kamus Ilmiyah Populer, 1999 : 144)
Sedang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mendefinisikan toleransi : “Sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb.) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannay sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi, ras, dan sebagainya).
Di dalam bahasa Arab toleransi biasa disebut “ikhtimal, tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha – yasmuhu – samhan, wasimaahan, wasamaahatan, artinya : murah hati, ramah,  suka memaafkan, suka berdema).25 Jadi toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai, dengan sabar menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.
Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haq bil bathil, (mencampuradukan antara hak dan bathil), suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah toleransi, padahal itu merupakan sikap sinkretis yang jelas-jelas dilarang oleh Islam.
Harus kita bedakan antara sikap toleran dengan sinkretisme. Sinkretisme adalah membenarkan semua keyakinan/agama. Hal ini dilarang oleh Islam karena termasuk syirik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
انّ الدّ ين عـند الله الا سلا م
“ Sesungguhnya dien (agama yang diridloi) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran : 19)
Sinkretisme mengandung talbisul haq bil bathil, sedangkan toleransi tetap memegang teguh prinsip al-furqon bainal haq wal bathil (memilah/memisahkan antara haq dan bathil).
Toleransi yang disalahpahami seringkali mendorong pelakunya pada alam sikretisme. Gambaran yang salah ini ternyata lebih dominan dan bergaung hanya demi kepentingan kerukunan agama.
Dalam Islam toleransi bukanlah fatamorgana atau bersifat semu. Tapi memiliki dasar yang kuat dan tempat yang utama. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an  yang bermuatan toleransi adalah :
1. QS. Al-Baqarah :256
Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut :
“ Janganlah memaksa seorangpun untuk masuk Islam. Islam adalah agama yang jelas dan gamblang tentang semua ajaran dan bukti kebenarannya, sehingga tidak perlu memaksa seseorang untuk masuk ke dalamnya. Orang yang mendapat hidayah, terbuka, lapang dada, dan terang mata hatinya, pasti ia akan masuk Islam dengan bukti yang buat yang kuat. Dan barang siapa yang buta mata hatinya, tertutup penglihatan dan pendengarannya maka tidak layak baginya masuk Islam dengan paksa.
Ibnu Abbas mengatakan, “ayat laa ikraha fid diin” diturunkan berkenaan dengan seorang dari suku Bani Salim bin Auf bernama Al-Husaini bermaksud memaksa kedua anaknya yang masih kristen/nasrani. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat tersebut.
Demikian pula Ibnu Abi Hatim meriwayatkan ; Telah berkata bapakku dari Amr bin Auf, dari Syuraih, dari Abi Hilal, dari Asbaq ia berkata, “Aku dahulu adalah ‘abid (hamba sahaya laki-laki) Umar bin Khaththab dan beragama nasrani. Umar menawarkan Islam kepadaku dan aku menolak. Lalu Umar berkata : Laa ikraha fid diin, wahai Asbaq jika anda masuk Islam kami dapat minta bantuanmu dalam urusan-urusan muslimin.” 26
2. QS. Al-Mumtahanah : 8-9
Menurut Abdullah Wasi’an (kristolog), maskud ayat ini adlah, orang Islam boleh bergaul dengan orang-orang non Islam dalam masalah dunia, yakni seperti perdagangan, perjanjian jual beli, dan lain-lain. Tetapi dalam urusan aqidah sangat dilarang.
5.    QS. Al-Kafirun : 1-7
لكم د ينكم ولي د ين
“ Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
Ayat ini jelas mengandung unsur toleransi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan ayat ini ketika ada ajakan untuk mengadakan penyembahan bersama dengan orang-orang jahiliyyah. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menolaknya dan menyampaikan ayat ini kepada kafir Quraisy.
4. QS. Asy-Syuura : 15
لنا أعـما لنـا  و لـكم  أعـمـا  لـكـم
“ Bagi kami amal-amal kami, bagi kamu amal-amal kamu. “
Ayat ini pun menunjukkan bahwa Islam senantiasa berusaha untuk hidup berdampingan secara damai dalam kehidupan sehari-hari. Maka dengan prinsip ini semua berhak hidup tanpa menyebabkan tekanan atau perkosaan terhadap hak-hak orang lain. Yang diharapkan Islam dari golongan lain hanyalah menjauhkan dari permusuhan, dan tidak ada hasutan, ganguan atau tantangan terhadap jalan kehidupan Islam.
Harapan Islam ini ternyata tidak selamanya terwujud, yang terjadi sering ditemukan adanya pemaksaan atau sikap intoleransi dari luar Islam. Hal ini terbukti di daerah-daerah yang minoritas muslim. Umat Islam banyak diintimidasi, dianaktirikan dan bahkan dibantai. Yang berlaku saat seperti ini bukan lagi toleransi tapi teroransi.
Contoh intoleransi adalah ungkapan para peneliti Barat, misalnya, Gladstone (mantan Perdana Menteri Inggris) berpendapat bahwa selama Al-Qur’an ini berada di tangan umat Islam tidak mungkin Eropa akan menguasai dunia timur. Begitu juga sikap Gubernur Militer Perancis di Aljazair, saat peringatan 100 tahun penjajahan Perancis di Aljazair, ia mengatakan : kami tak akan memenangkan perjuangan Aljazair, selama mereka (bangsa Aljazair) membaca Al-Qur’an dan berbicara bahasa Arab.
Kami harus dapat melepaskan bahasa Arab dari lidah mereka, »
Setelah runtuhnya peristiwa pemboman gedung WTC dan Pentagon 11 September 2001, Preside AS. George W. Bush menyatakan ; “Crusade War” (Perang Salib). Kemudian ia menuduh Usamah bin Ladin sebagai pelaku terorisme. Peristiwa ini dijadikan legalisasi oleh AS untuk menerapkan UU Anti Terorisme di seluruh dunia. Arogansinya berlanjut dengan pernyataannya di New York Times, 29 Januari 2002; Antara lain sebagai berikut :“ Tak pernah terjadi sepanjang sejarah, kerja sama antara Yahudi dan Nasrani yang lebih solid dari abad ini. …………… Kita akan hancurkan moral umat Islam, mencukur jenggot-jenggot mereka dan mencabut kerudung-kerudung wanita mereka………”
Pernyataan Gladstone, Gubernur Militer Perancis dan George W. Bush itu jelas-jelas merupakan sikap intoleransi. Begitu pula yang terjadi di Bosnia, Ambon, Halmahera, Poso dan lain-lain. Sikap memaksakan kehendak dari Nasrani kepada Muslimin sangat jelas.
Islam sejak jaman Rasulullah dan Khalifah senantiasa menjunjung tinggi prinsip toleransi yang rahmatan lil ‘alamiin, sedang mereka sebaliknya bersikap teroransi. Ini menjadi bukti kebenaran ayat Allah Surat Al-Baqarah ; 120 , bahwa : “Tidak akan pernah ridlo orang Yahudi dan Nasrani  kepada kamu (muslimin), sehingga kamu mengikuti ajaran mereka.”
Prilaku toleran ini dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam, ketika menyambut tamu Nasrani dari Najran sebanyak 60 orang. Diantara mereka adalah 14 orang yang terkemuka, termasuk Abu Haritsah Al-Qamah, sebagai guru dan uskup. Maksud kedatangan mereka adalah ingin mengenal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat. Mereka diijinkan Rasulullah sembahyang di dalam Masjid Madinah. Para sahabat pun heboh, mengetahui hal tersebut, maka Rasulullah bersabda : “Biarkanlah mereka !”. Maka mereka pun menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam masjid Madinah.27
DITETAPINYA KEMBALI SISTEM
KHILAFAH ‘ALA MINHAAJIN NUBUWWAH
Menjelang runtuhnya Turki Utsmani dan sesudahnya hingga tahun 1952 muslimin di berbagai dunia termasuk di Indonesia mengadakan musyawarah/konferensi untuk mengembalikan sistem khilafah. Akan tetapi semua usaha ini belum berhasil mewujudkan khilafah.
Ketidak berhasilan ini lebih banyak disebabkan karena faktor nasionalisme masing–masing pihak yang dibawa ke majelis musyawarah.
Konferensi Khilafah di berbagai negara, pra dan pasca keruntuhan Utsmaniyyah (1924)
All India Khilafat Conference 1919 M di India
Konferensi Islam International 1921 M. di  Karachi Pakistan
Dewan Khilafah, 1924 di Mekkah. (Oleh Syarif Husein Amir) —tidak berlanjut.
Kongres Kekhilafahan Islam 1926 di Kairo
Kongres Muslim Dunia 1926 di Mekkah
Konferensi Islam Al-Aqsha 1931 di Yerussalem
Konferensi Islam International kedua 1945 di Karachi
8.  Konferensi Islam International ketiga 1951 di       Karachi
9.    Pertemuan Puncak Islam 1954 di Mekkah
10.  Konferensi Muslim Dunia 1964 di Mogadishu
11. Konferensi Muslim Dunia 1969 di Rabat-Maroko —– melahirkan OKI
12. Konferensi Tingkat Tinggi Islam, 1974 di Lahore Pakistan. (Presiden Uganda, Idi Amin mengusulkan Raja Faisal jadi Khalifah. Tapi Raja Faisal menolak.—– (2 tahun setelah Raja Faisal menjawab surat Wali Al-Fatah)
Setelah mengalami perjalanan yang panjang muncullah tiga pertanyaan dalam pemikiran Dr. Syaikh Wali Al–Fattaah :
Mengapa kaum muslimin senantiasa gagal dalam memperjuangkan Islam?
Mungkinkah Islam dapat ditegakkan dengan cara di luar Islam?
Mustahil dalam Islam tidak ada sistem untuk memperjuangkan Islam?
Dari tiga pertanyaan itulah Wali Al-Fattaah terus-menerus melakukan kajian bersama para ulama saat itu, untuk mencari solusi permasalahan tersebut. Maka beliau menarik kesimpulan; bahwa Islam tidak mungkin ditegakkan dengan cara-cara diluar Islam, termasuk melalui jalur politik parlementer. Hal ini pula yang menjadi dasar beliau mengundurkan diri dari Masyumi.
Yang memilih keluar dari Masyumi ternyata tidak hanya Wali Al-Fattaah, tapi juga tokoh-tokoh lain yang kecewa dengan keberadaan Masyumi, antara lain : H. Agus Salim, Abdul Gaffar Ismail dan Al-Ustadz H.S.S. Djamaan Djamil. 28
Sampai suatu hari, di  akhir tahun 1952 Wali Al-Fattaah mendapat hadiah satu paket buku dari KH. Munawwar Khalil yang berjudul “ Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”.
Dari buku inilah awalnya Wali Al-Fattaah menemukan solusi krisis ummat, dan didapat jawaban yang jelas, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengamalkan Islam dengan Jama’ah dan Imaamah.
Setelah berkali-kali diadakan musyawarah dengan para ulama, terjadilah pembai’atan Wali Al-Fattaah pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H/20 Agustus 1953. di gedung Aducstaat (Bapenas sekarang) Jakarta.
Diantara para ulama yang membai’at awal Wali Al-Fattaah generasi awal adalah :
– Kyai Muhammad Maksum (Khadimus Sunnah, ahli hadits asal Yogyakarta- Muhammadiyah)
– Ust. Sadaman (Persis-Jakarta)
– KH. Sulaeman Masulili (Sulawesi)
– Ust. Hasyim Siregar (Tapanuli)
– Datuk Ilyas Mujaindo, dll.
Setelah pembai’atan di hari Idul Adha tersebut, kemudian disiarkan melalui media cetak: Harian Keng Po, Pedoman dan Daulat Rakyat, serta media elektronik : melalui  Radio Australia dalam bahasa Inggris 22 Agustus 1953 oleh Zubeir Hadid dan di RRI Pusat (1956) oleh Ust. Abdullah bin Nuh dalam bahasa Arab.29 Inilah awal ditetapinya kembali Jama’ah Muslimin dan Imaamnya.
Musyawarah Ahlul Halli Wal ‘Aqdi I
Setelah lama tidak mendapat reaksi dan tanggapan positif dari muslimin, tahun 1376 H./1956 M, diadakan Musyawarah Ahlul Halli Wal ‘Aqdi yang pertama, tanggal 15-18 Jumadil Awal 1376 H./18-21 Desember 1956 M, di Jl. Menteng Raya 58 Jakarta.
Musyawarah itu memutuskan : “ Wajib bagi Dunia Islam dewasa ini menegakkan seorang Khalifah.”
Tanggapan atas musyawarah ini muncul dua tahun sesudah keputusan, antara lain dari : M. Isa Anshary dan Harsono Tjokroaminoto. Keduanya mengirim surat pada Wali Al-Fattaah yang berisi do’a ; mudah-mudahan kesemuanya itu memberikan manfaat bagi muslimin.
Musyawarah Ahlul Halli Wal ‘Aqdi II
Pada tanggal 27-29 Rajab 1378 H. (6-8 Pebruari 1959 M.) Jama’ah Muslimin (Hizbullah) mengadakan Musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi kedua di Masjid Taqwa, Petojo Sabangan, Jakarta. Musyawarah ini merupakan evaluasi atas realisasi putusan Ahlul Halli Wal Aqdi  yang pertama, sejauh mana telah dilaksanakan umat Islam.
Setelah mengadakan pengecekan ke berbagai dunia Islam, selama enam tahun 1953-1959 di 26 negara, terutama yang mayoritas muslim, tidak ada pembai’atan lain yang menetapi Jama’ah Muslimin dengan sistem Khilafah selain Wali Al-Fattaah.
Tahun 1970-an bai’at kepada Wali Al-Fattaah, Ust. Abdul Halim Sulaeman MA. Sebagai Mutakhorij/Alumni lulusan Darul Hadits Makkah Al-Mukarromah, yang saat itu direkturnya bernama : Syaikh Muhaimin Abu Syammah. Setelah bai’at Ust. Abdul Halim banyak bershodaqoh ilmu kepada para ustadz laiinnya, terutama seputar ilmu hadits.
Tahun 1972, mendapat tanggapan positif dari Raja Faisal – Saudi Arabia antara lain sebagai berikut :
“ Yang terhormat Asy-Syaikh Wali Al-Fattaah, Assalaamu ‘alaikum warahmatullahhi wabarokaatuh. Waba’du. Maka sungguh telah sampai pada kami risalahmu yang tertanggal; 28 Muharram 1392 H. bertepatan dengan 14 Maret 1972, ……………………..Maka kami berterima kasih padamu atas usahamu yang baik dan cita-citamu yang benar dan ruh keislamanmu yang tinggi…………….” Semoga Allah menjagamu.30
Pada tahun 1974 diadakan pengecekan lagi melalui musyawarah tingkat puncak selama tiga hari di Masjid Sunda Kelapa Jakarta. Dihadiri oleh para ulama dan zu’amma, para tokoh organisasi Islam seluruh Indonesia, serta para kedubes negara Islam di Jakarta. Hasilnya tetap belum ada pengamalan sistem khilafah dalam wujud Jama’ah Muslimin sebagaimana yang telah ada di Indonesia.
Apabila dikemudian hari ditemukan Imaam yang dibai’at lebih awal dengan sistem Khilafah dan mewujudkan Jama’ah Muslimin, Maka Wali Al-Fattaah bersama seluruh ma’mumnya dengan keikhlashan hati, insya Allah siap menjadi makmum31 pada yang lebih awal. Setelah wafat 19 Nopember 1976 M, keimaamahan Wali Al-Fattaah dilanjutkan dengan pembai’atan H. Muhyiddin Hamidy, tanggal 20 Nopember 1976.
RELEVANSI ANTARA HIZBULLAH
JAMA’AH MUSLIMIN, dan KHILAFAH.
Didalam Al-Qur’an kita hanya mengenal dua Hizb, yakni Hizbullah dan Hizbusy Syaithan, tidak ada hizb-hizb lain. Hizbullah adalah orang-orang beriman yang menjadikan pimpinan kepada Allah, Rasul dan orang–orang yang beriman (Ulil Amri), dan mereka itulah yang akan mendapat kemenangan dan keberuntungan (QS. Al-Maaidah : 56, Al-Mujaadilah :22).
Pemberian nama yang berkaitan dengan syari’ah, apabila tidak didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, dapat mengarah pada bentuk penyembahan nama-nama yang dibuat / diciptakannya sendiri, padahal Allah tidak memberikan keterangan sedikitpun tentang nama tersebut. (QS. Yusuf : 40, An–Najm : 23). Kenyataan ini dapat menggeserkan aqidah dari tauhid menjadi syirik, karena bisa termasuk memecah belah agama Allah dan menimbulkan kebanggaan golongan/wadah/nama itu sendiri. (QS. Huud :118-119, Al-Mu’minun :52-54, Ar-Ruum : 31-32)
Atas dasar inilah dikuatkan dengan firman Allah QS. Al-Hujuraat : 1 dan Al-Ahzaab :36. Kita tidak dibenarkan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam pelaksanaan syari’at.
Allah telah menetapkan dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang beriman yang terpimpin oleh Allah, Rasul dan orang-orang beriman (Ulil Amri), itu dengan sebutan Hizbullah. Sedangkan Rasulullah menyebut dalam sabdanya sebagai orang-orang yang mengikuti (sunnah) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . dan (sunnah) sahabatnya. Kriteria seperti diatas oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sebagai Al-Jama’ah atau Jama’atul Muslimin.
Imaam Ath Thabari menyebutkan bahwa Al-Jama’ah ialah Jama’atul Muslimin yang sepakat atas seorang amir (pemimpin). Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk komitmen kepadanya dan melarang perpecahan umat dalam perkara kesepakatan tentang pemimpin yang telah diangkat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Siapa saja yang mendatangi umatku untuk memecah jama’ah mereka, maka bunuhlah dia, siapapun orangnya.” (HR. Muslim XII/241 dengan syarah Imam Nawawi)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menukil perkataan Ibnu Jarir Ath-Thabari bahwa yang benar tentang maksud ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah “ Berpeganglah engkau kepada Jama’atul Muslimin  dan Imaam mereka.”
Ialah: “ Berpeganglah kepada orang-orang yang telah sepakat (berbai’at) mengangkat seorang amir dalam ketaatan. Barangsiapa melanggar bai’atnya, maka ia telah keluar dari Al-Jama’ah “ (Fathul Bari, Al-Asqalani XIII/37)32
Ibnu Khallal rahimahullah dalam kitabnya As-Sunnah berkata : “ Al-Jama’ah ialah Jama’atul Muslimin, yaitu para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai Hari Akhir. Mengikuti mereka merupakan hidayah, sedangkan menyelisihi mereka adalah sesat, sebagaimana tersebut dalam firman Allah :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu  dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. ”   )QS. An-Nisaa :115) ——— (As-Sunnah, Abu Bakr bin Muhamammad Al-Khallal, tahqiq : Dr. ‘Athiyyah Az-Zuhrani, hal 79)
Dan mereka itulah yang dimaksud Al-Jama’ah atau Jama’atul Muslimin dalam hadits-haditsnya yang shahih sebagai Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, Thaifah Manshuroh atau Firqatun Naajiyah.
Adapun kaitannya dengan Khilafah sebagaimana dalam hadits dari Abu Umaamah, Riwayat Ash habus Sunan dalam kitab Al-Jami’ush Shaghir juz I/110. Bahwa  Taqwa, Khilafah dan Jama’ah Muslimin adalah satu kesatuan/paket yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini dikuatkan pula dengan matan yang berbeda, dalam HR. At-Tirmidzi, disebutkan sebagai 3 hal yang bisa menghilangkan kedengkian seorang muslim dalam hatinya ; Ikhlash beramal, Menasihati Imaamul Muslimin dan Menetapi Jama’ah Muslimin.
Relevansi Khilafah dengan Jama’ah Muslimin ini bisa juga kita lihat dalam Hadits dari Hudzaifah bin Yaman, yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah, berkaitan erat dengan Hadits dari Nu’man bin Basyir tentang Khilafah ‘ala minhaajin Nubuwwah, yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi sebagaimana pembahasan pada halaman-halaman sebelumnya. Berdasar penelitian para ahli, bahwa hadits-hadits tersebut adalah shahih.
PENDAPAT  ULAMA TENTANG HADITS “IMAAM DARI QURAISY”
Hadits-hadits tentang Imaam dari Quraisy, menjadi perbincangan para ulama dari dulu hingga kini. Wajibnya muslimin kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan bersatu dalam satu Jama’ah  itu sepakat
Tapi ketika menentukan siapa yang menjadi Imaam, mereka berselisih.  Setiap golongan/kelompok meyakini figurnya masing-masing.  Tentang Imaam dari Quraisy didasarkan pada hadits Al-Bukhari dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“ Sesungguhnya urusan kekuasaan ini di tangan orang Quraisy, tiada seorang pun yang memusuhi mereka, kecuali pasti Allah akan membuatnya jatuh tersungkur, selama mereka masih menegakkan (hukum-hukum) agama ini”
Urusan ummat ini akan senantiasa baik selama mereka dipimpin oleh 12 laki-laki (khalifah), kemudian beliau mengucapkan kata-kata yang tidak aku dengar. Aku bertanya kepada ayahku (Samurah) : “Apa yang diucapkan Rasulullah ?” Ayahku menjawab : Rasulullah mengatakan : Semuanya dari Quraisy.” (HR. Bukhari, 722, 7223; Muslim, 1821; Tirmidzi 2224 dan Ahmad 5/76, Thabrany,1791; dan dibawakan Syakh Al-Albani dalam Shahihahnya 376 dengan lafazh yang berbeda)
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits-hadits tentang Imaam dari Quraisy, anatara lain :
Imaam Wajib dari Quraisy, bila bukan dari Quraisy maka tidak sah.
Pemahaman ini umumnya diyakini oleh para ulama pengikut gerakan Wahabi (Muhammad bin Abdul Wahab), lebih dikenal dengan Salafiyah/salafi.
Imaam dari Quraisy tidak Wajib, hanya sebatas afdlal (keutamaan). Karena hadits-hadits tentang Imaam Quraisy berbentuk ikhbar (informasi) dan tidak ada satupun di antara hadits tersebut yang berbentuk thalab (tuntutan). Bentuk ikhbar walaupun mengandung pengertian tuntutan, tetapi tidak dianggap tuntutan secara pasti selama tidak dibarengi dengan suati qarinah (indikasi) yang menunjukkan penegasan.
Kata Quraisy adalah ism (sebutan) bukan sifat. Dalam istilah ushul fiqh disebut laqab (julukan atau sebutan). Mafhum ism atau mafhum laqab sama sekali tidak bisa dijadikan dasar dalam menentukan status hukum suatu perbuatan, karena ism atau laqab tidak memiliki mafhum mukhalafah. Oleh karena itu nash tentang Quraisy tidak mempunyai pengertian bahwa pemerintahan tidak boleh diberikan kepada orang selain Quraisy. 33
3.   Imaam dari Quraisy, artinya: sifat bukan fisik. Jadi yang dimaksud adalah; Fisiknya boleh siapa saja asal memenuhi syarat-syarat keutamaan Quraisy. Pemahaman ini seperti diyakini oleh; KH. Munawar Khalil dalam bukunya “Islam dan Pemerintahan”    .
Begitu pula H. Sulaeman Rasyid dalam bukunya “Fiqh Islam”, menyebutkan bahwa pemahaman hadits-hadits tentang Imaam dari Quraisy itu adalah karena orang-orang Quraisy mempunyai sifat-sifat berani, kuat, teguh pendiriannya dan mempunyai hubungan erat satu sama lainnya. Maka dengan sifat inilah akan dapat terjamin teraturnya kedaulatan. Bangsa Quraisy mempunyai kesanggupan untuk membawa umat ke arah kesempurnaan, baik dengan cara perdamaian ataupun dengan kekerasan. Maka kelebihan tersebutlah yang mendukung kedudukan khalifah jatuh ke tangan bangsa Quraisy, sedangkan agama tidak menentukan hukum-hukum pada suatu bangsa, suatu keturunan, atau partai, tetapi agama adalah untuk umat manusia. 34
Imaam tidak harus dari Quraisy; pendapat ini beralasan, bahwa perintah ta’at pada Ulil Amri dalam QS. An-Nisaa : 59 adalah menyatakan keumuman tanpa mengkhususkan keturunan tertentu.
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“ Barang siapa mentaatiku, maka ia telah mentaati Allah; dan barang siapa bermaksiat kepadaku, maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Barang siapa mentaati amir ; maka ia telah mentaatiku; dan barang siapa membangkang kepada amir; maka ia telah membangkang kepadaku.” ( Al-Bukhari 9/77, Muslim 3/1466, Ibnu Majah 2/954, Nasa’i 7/154, Ahmad 2/253)
Hadits ini dan laiinnya menyatakan kepemimpinan secara umum tanpa pengkhususan kepada orang Quraisy. Disamping itu terdapat beberapa hadits yang dengan jelas mendukung pandangan yang memungkinkan adanya khalifah dari selain keturunan Quraisy.  Seperti hadits Bukhari Muslim dari Abu Dzar r.a. ia berkata :
“ Sesungguhnya kekasihku (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) berwasiat kepadaku agar aku mendengar dan mentaati (pemimpin), sekalipun ia (pemimpin itu) seorang hamba sahaya …….Dalam riwayat lain : sekalipun seorang hamba sahaya dari Habasyah.”  (Mutafaq ‘alaihi)
Dari Anas r.a. ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam “ Dengarlah dan taatlah, sekalipun kamu dipimpin oleh seorang budak Habasyi yang berambut seperti anggur kering.” (Al-Bukhari : 9/78, Muslim 3/1467-1468)
Hal ini didukung oleh kesimpulan Ibnu Hajar tentang hadits-hadits yang mengkhususkan kepemimpinan pada orang-orang Quraisy. Yakni, dia mensyaratkan pula keistiqamahan orang Qurasiy tersebut kepada agama Allah. Jadi apabila terdapat orang yang lebih istiqamah dan lebih mampu daripada orang Quraisy, maka ia harus diutamakan ketimbang orang Quraisy itu. (Fathul Bari 13/115-117)
“ Tidak akan terjadi kiamat sehingga muncul seorang dari suku Qahthan yang memimpin manusia dengan tongkatnya (Al-Bukhari  6/16).35
Imaamah boleh siapa saja selama ia menegakkan kitabullah. Pendapat ini selain berdasar pada ayat dan hadits-hadits diatas, juga pada beberapa fakta sejarah ;
Saat Haji Wada’ ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan ‘Ajam (bukan Arab) kecuali karena taqwanya kepada Allah. “ Pernyataan ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an : “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling taqwa. “ (QS. Al-Hujurat : 13). Atas dasar ini maka bangsa Quraisy tidak lebih berhak atau lebih mulia dari bangsa lain. Prinsip dasarnya selama menegakkan agama (Maa Aqomud diin/Maa aqama kitaballaah)
KESIMPULAN
Atas dasar uraian diatas kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada tiga bentuk peradaban di dunia sepanjang      sejarah :
a.    Peradaban Ro’yu/filsafat (Kitmanul Haq)—Menyembunyikan kebenaran
b.    Peradaban Talbis (Ro’yu dan Wahyu)— Mencampur aduk haq dan bathil
c.    Peradaban Wahyu (Peradaban Al Qur’an dan Sunnah)—Berpegang teguh kepada al-Haq.
2. Islam sebagai Rahmatan Lil ‘alamin yang syamil dan kamil hanya dapat diwujudkan dengan berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah, tanpa dicampur dengan pola-pola Ro’yu baik dari barat maupun dari timur
3. Perwujudan Khilafah ‘ala Minhaajin Nubuwwah dalam wujud Jama’ah Muslimin telah ditegakkan/ditetapi kembali oleh Dr. Syaikh Wali Al-Fattaah sebagai Imamnya sejak 10 Dzulhijjah 1372 H/20 Agustus 1953 s.d 19 November 1976, dan dilanjutkan oleh
H. Muhyiddin Hamidy sejak 20 November 1976 hingga kini. Alhamdulillah berjalan  dan berkembang secara wajar.
4. Kehadiran Jama’ah Muslimin atau Hizbullah di tengah-tengah peradaban umat dewasa ini adalah karunia Allah yang wajib disyukuri dan dikuatkan, kebenaran adalah dari Allah dan Rasul-Nya, kelemah-an dan kekurangannya adalah tanggung jawab kita untuk menguatkan dan melengkapinya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala ridlo pada mereka dan merekapun ridlo kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amiin (QS. 9 : 100)
5.  Imaamah tidak harus dari Quraisy, prinsipnya selama menegakkan ad-diin/ Al-Qur’an dan Sunnah.
Wallahu a’lam bishawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Al-Chaidar, Negara Islam Indonesia, S.M. Kartosuwiryo, Darul Falah, Jakarta, cet. 2
1420 H.
Ali Gharishah, DR. Wajah Dunia Islam Kontemporer, Kautsar, Yogyakarta 1989
Abdullah Azzam, DR. Runtuhnya Khilafah dan Upaya Menegakkannya. Pustaka Al-Alaq, Solo, 2001
Al-Amir Syakib Arsalan, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, Bulan Bintang ,Jakarta , 1954
Abdul Malik Ali Al-Kulaib, Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian), GIP Jakarta 1992.
Abdul Qadim Zallum, “Sistem Pemerintahan Islam”, Al-Izzah, Bangil-Jatim, 2002
Abu Wihdan Hidayatullah, “Kepemimpinan Dalam Pandangan Islam” makalah Pelatihan Kepemimpinan, Bandung 2000
Abu Wihdan Hidayatullah, “Tujuan dan Tugas Negara dalam Fiqih Siyasah”  makalah Diskusi Mahasiswa STAI Tasikmalaya, 2000
Abu Wihdan Hidayatullah, Kesatuan Ummat Menurut Sunnah Rasulullah Dan Khulafaur Rasyidin , makalah Diskusi Mahasiswa ITB, di GSG ITB, Bandung 1998.
Ahmad Warson Munawir, “Kamus Al-Munawir” , Pustaka Progressif, Surabaya, cet. 14, 1997, hal 657
Amin Muhammad Jamaluddin, Umur Umat Islam, Imaam Mahdi dan Dajjal, Cendekia Sentra Muslim Jakarta 2001
A.Z. El Marzedek . Freemasonry Yahudi Melanda Dunia Islam, Gema Syahida Bandung 1993
Arif Hizbullah MA. Al-Jama’ah Wadah Kesatuan Muslimin, Ponpes Al-Fatah, Cilacap 1993
As-Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, Syirkah Nur Asia
Fathur Rahman, Dahlan Bandung
Harun Yahya, DR. Petaka Manusia Akibat Darwinisme, VCD
Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir MA. Menuju Jama’atul Muslimin, Rabbani Press, Jakarta, November 1990
Harun Yahya, Dr. “Keruntuhan Teori Evolusi” Dzikra Bandung 2000.
Imaam Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Toha Putra, Semarang
Imaam Muslim, Shahih Muslim, Toha Putra, Semarang
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, Toha Putra Semarang
Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik 60 Sahabat Rasulullah, CV. Diponegoro Bandung 1996.
Majid Ali Khan, “ Sisi Hidup Para Khalifah Shaleh” Risalah Gusti, Surabaya,  2000
Munawwar Khalil, KH. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, Bulan Bintang, Jakarta, 1969
Munawwar Khalil, KH. Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Bulan Bintang, Jakarta, 1956
Muhammad Ali Ishmah Al-Medani, Orang-orang Terasing, Majalah Salafi edisi V 1416 /  Dzulhijjah 1996
Makalah-makalah Konferensi Internasional Khilafah Islamiyyah, Hizbut Tahrir, Senayan Jakarta 2000.
Makalah-makalah Simposium Nasional Generasi Muda Islam, Asrama Haji,  Jakarta, 1996
Risalah Al-Jama’ah no 6/Th II/ JMD.ULA 1421 H. “ KHILAFAH” Solusi Penyatuan Muslimin Jakarta,  Agustus 2000 M
Sabili – Majalah Islam “Sejarah Emas Muslim Indonesia “, edisi khusus No. 9 Th. X 2003
SALAFY, Edisi Perdana/Sya’ban 1416/1995
Sulaiman Rasjid, H. “Fiqh Islam” PT. Sinar Baru Algesindo Bandung, 2000
Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, “SIRAH NABAWIYAH “, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2001
Suyuthi Pulungan, Dr. J. MA. Fiqh Siyasah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1999.
Sulchan Yasin , Drs. Kamus Lengkap B. Indonesia, CV Putra Kaya, t,t.
Taqyuddin An-Nabhani, “SISTEM KHILAFAH”, Khazanah Islam, Jakarta, Juni 1995.
Wali Al-Fattaah, Khilafah ‘Ala Minhaajin Nubuwwah, Al-Jama’ah, Bogor 1995.
Wamy, Lembaga Pengkajian dan Penelitian, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Jilid I dan II, Al-Ishlah Press, Jakarta 1995
Yusuf Al Qaradlawi, DR. Syaikh, Al-Ummah Al-Islamiyyah Haqiqah Laa Wahm” Maktabah Wahbah.
Z.A. Maulani  “Zionisme” Daseta Jakarta, 2002
Islam dan Khilafah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sejarah membuktikan, Muslimin menjadi terhormat dan berwibawa dalam peradaban umat manusia ketika di tengah-tengah ada pimpinan sentral.
Musuh-musuh Islam tahu, bahwa khilafah merupakan junnah (benteng/perisai) dan ra’in (pengayom/penggembala) bagi muslimin. Maka mereka terus melakukan penyerangan dengan berbagai cara untuk meruntuhkan khilafah atau kepemipinan sentral dunia islam. Puncaknya kaum kuffar berhasil meruntuhkan kepemimpinan sentral dunia Islam” Turki Utsmani” 1924. Sejak itulah muslimin kehilangan pemimpin dunia.
Kekhawatiran mereka juga diperlihatkan  dengan berbagai tuduhan teroris kepada hamba-hamba Allah yang sholih. Dari sinilah  isu terorime menjadi marak, dan fitnah itu mereka arahkan kepada muslimin. Padahal apa yang mereka lakukan itulah terorisme yang sebenarnya. Pembantaian di Afghanistan dan Irak adalah bukti teror dan kebiadaban AS dan Israel.
Berbagai gerakan Islam (harokah Islamiyyah) berusaha menegakkan kembali kepemimpinan khilafah. Sebagian diantara mereka bahkan ada yang telah mewujudkan /membai’at seorang Imaam/Khalifah, walau belum optimal dan sempurna.
Mengingat urgensi kepemimpinan sentral muslimin, maka jihad terbesar abad ini, adalah mewujudkan Khilafah ‘ala Minhaajin Nubuwwah untuk menegakkan syari’at Islam.
Buku ini sebagai bahan kajian dan alternatif sumber informasi tentang apa dan bagaimana urgensi khilafah di tubuh muslimin.
Wallahu a’lam bish showwaab