Selasa, April 15, 2008

Anjuran Untuk Menikah : Menikah Dapat Mengembalikan Semangat Kepemudaan

Anjuran Untuk Menikah : Menikah Dapat Mengembalikan Semangat Kepemudaan

ANJURAN UNTUK MENIKAH
Oleh : Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

[6]. Menikah Dapat Mengembalikan Semangat "Kepemudaan".
Nikah dapat mengembalikan kekuatan dan kepemudaan badan. Karena ketika jiwa merasa tenteram, tubuh menjadi giat.
Inilah seorang Sahabat yang menjelaskan hal itu kepada kita, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Alqamah Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Aku bersama ‘Abdullah (bin Mas’ud), lalu ‘Utsman bertemu dengannya di Mina, maka ia mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya aku mempunyai hajat kepadamu.’ Kemudian keduanya bercakap-cakap (jauh dari ‘Alqamah). ‘Utsman bertanya kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, maukah aku nikahkan engkau dengan seorang gadis yang akan mengingatkanmu pada apa yang dahulu pernah engkau alami?’ Ketika ‘Abdullah merasa dirinya tidak membutuhkannya, maka dia mengisyaratkan kepadaku seraya mengatakan: ‘Wahai ‘Alqamah!’ Ketika aku menolaknya, dia mengatakan: ‘Jika memang engkau mengatakan demikian, maka sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami: ‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah; karena puasa dapat mengendalikan syahwatnya.’” [9]
[7]. Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menganjurkan Suami Isteri Agar Melakukan Aktivitas Seksual Guna Memperolah Keturunan, Dan Menikah Dengan Gadis.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyalllahu ‘anhu, ia mengatakan: "Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: 'Aku benar-benar akan menggilir 70 isteri pada malam ini, yang masing-masing isteri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah.' Seorang sahabatnya berkata kepadanya: 'Insya Allah.' Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil kecuali satu orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Seandainya dia mengucapkan insya Allah, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah.'" [10]
Dalam riwayat Muslim (disebutkan): "Aku bersumpah kepada Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! 'Seandainya dia mengucapkan ‘insya Allah’, niscaya mereka berjihad di jalan Allah sebagai prajurit semuanya.'" [11]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah , ia mengatakan: "Aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan, ternyata untaku berjalan lambat dan kelelahan. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadaku lalu menegur: 'Jabir!' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau bertanya: 'Ada apa denganmu?' Aku menjawab: 'Untaku berjalan lambat dan kelelahan sehingga aku tertinggal.' Lalu beliau turun untuk mengikatnya dengan tali, kemudian bersabda: 'Naiklah!' Aku pun naik. Sungguh aku ingin menahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: 'Apakah engkau sudah menikah?' Aku menjawab: 'Sudah.' Beliau bertanya: 'Gadis atau janda?' Aku menjawab: 'Janda.' Beliau bersabda: 'Mengapa tidak menikahi gadis saja sehingga engkau dapat bermain-main dengannya dan ia pun bermain-main dengan-mu?' Aku menjawab: 'Sesungguhnya aku mempunyai saudara-saudara perempuan, maka aku ingin menikahi seorang wanita yang bisa mengumpulkan mereka, menyisir mereka, dan membimbing mereka.' Beliau bersabda: 'Engkau akan datang; jika engkau datang, maka demikian, demikian.' [12] Beliau bertanya: 'Apakah engkau akan menjual untamu?' Aku menjawab: 'Ya.' Lalu beliau membelinya dariku dengan satu uqiyah (ons perak). Kemudian Rasulullah n sampai sebelumku, sedangkan aku sampai pada pagi hari. Ketika kami datang ke masjid, aku menjumpai beliau di depan pintu masjid. Beliau bertanya: 'Apakah sekarang engkau telah tiba?' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau bersabda: 'Tinggalkan untamu lalu masuklah ke masjid, kemudian kerjakan shalat dua rakaat.' Kemudian aku masuk, lalu melaksanakan shalat. Setelah itu beliau memerintahkan Bilal agar membawakan satu uqiyah kepada beliau, lalu Bilal menimbangnya dengan mantap dalam timbangan. Ketika aku pergi, beliau mengatakan: 'Panggillah Jabir kepadaku.' Aku mengatakan: 'Sekarang unta dikembalikan kepadaku, padahal tidak ada sesuatu pun yang lebih aku benci daripada unta ini.' Beliau bersabda: 'Ambillah untamu, dan harganya untukmu.'" [13]
Ibnu Majah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda
"Nikahlah dengan gadis perawan; sebab mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur rahimnya, dan lebih ridha dengan yang sedikit." [14]
[8]. Anak Dapat Memasukkan Bapak Dan Ibunya Ke Dalam Surga.
Bagaimana anak memasukkan ayah dan ibunya ke dalam Surga? Mari kita dengarkan jawabannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi. Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
"Di perintahkan kepada anak-anak di Surga: 'Masuklah ke dalam Surga.' Mereka menjawab: 'Wahai Rabb-ku, (kami tidak masuk) hingga bapak dan ibu kami masuk (terlebih dahulu).' Ketika mereka (bapak dan ibu) datang, maka Allah Azza wa Jalla berfirman kepada mereka: 'Aku tidak melihat mereka terhalang. Masuklah kalian ke dalam Surga.' Mereka mengatakan: 'Wahai Rabb-ku, bapak dan ibu kami?' Allah berfirman: 'Masuklah ke dalam Surga bersama orang tua kalian.'" [15]
Sebagian manusia memutuskan untuk beribadah dan menjadi "pendeta" serta tidak menikah, dengan alasan bahwa semua ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Kita sebutkan kepada mereka dua hadits berikut ini, agar mereka mengetahui ajaran-ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keharusan mengikuti Sunnahnya pada apa yang disabdakannya. Inilah point yang kesembilan:
[9]. Tidak Menikah Karena Memanfaatkan Seluruh Waktunya Untuk Beribadah Adalah Menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Wahai saudaraku yang budiman. Engkau memutuskan untuk tidak menikah agar dapat mempergunakan seluruh waktumu untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, agama kita bukan agama "kependetaan" dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasi-kan hal itu kepada kita.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik, ia menuturkan: Ada tiga orang yang datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak berarti. Mereka mengatakan: "Apa artinya kita dibandingkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan terkemudian?" Salah seorang dari mereka berkata: "Aku akan shalat malam selamanya." Orang kedua mengatakan: "Aku akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka." Orang ketiga mengatakan: "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya." Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lalu bertanya: "Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.'" [16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui Salman Radhiyallahu ‘anhu atas apa yang dikatakannya kepada saudaranya, Abud Darda' Radhiyallahu ‘anhuma yang telah beristeri, agar tidak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menjauhi isterinya, yaitu Ummud Darda’ Radhiyallahu ‘anha. Dia menceritakan kepada kita peristiwa yang telah terjadi.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Wahb bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda'. Ketika Salman mengunjungi Abud Darda', dia melihat Ummud Darda' mubtadzilah (memakai baju apa adanya dan tidak memakai pakaian yang bagus). [17] Dia bertanya: "Bagaimana keadaanmu?" Ia menjawab: "Saudaramu, Abud Darda', tidak membutuhkan dunia ini, (yakni wanita. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan: ‘Ia berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari’).”
Kemudian Abud Darda' datang lalu Salman dibuatkan makanan. "Makanlah, karena aku sedang berpuasa," kata Abud Darda'. Ia menjawab: "Aku tidak akan makan hingga engkau makan." Abud Darda' pun makan. Ketika malam datang, Abud Darda' pergi untuk mengerjakan shalat.
Salman berkata kepadanya: "Tidurlah!" Ia pun tidur. Kemudian ia pergi untuk shalat, maka Salman berkata kepadanya: "Tidurlah!" Ketika pada akhir malam, Salman berkata: "Bangunlah sekarang." Lantas keduanya melakukan shalat bersama.
Kemudian Salman berkata kepadanya: "Rabb-mu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, dan keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya, berikanlah haknya kepada masing-masing pemiliknya."
Kemudian Abud Darda' datang kepada Nabi n untuk menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: "Salman benar." [18]
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai ‘Abdullah, aku diberi kabar, bukankah engkau selalu berpuasa di siang hari dan shalat pada malam hari?" Aku menjawab: "Benar, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah. Sebab jasadmu mempunyai hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak atasmu.'" [19]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Foote Note
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5065) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1400) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2045) kitab an-Nikaah. Pensyarah kitab ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (VI/28-29) berkata: "Wahai Abu ‘Abdirrahman -kunyah Ibnu Mas’ud-, akan kembali kepadamu apa yang pernah engkau alami, akan kembali kepadamu apa yang telah berlalu dari semangatmu dan kekuatan muda-mu. Sebab, itu dapat membangkitkan kekuatan badan."
[10]. HR. Al-Bukhari (no. 3424), kitab Ahaadiitsul Anbiyaa'.
[11]. HR. Muslim (no. 1659), kitab al-Aimaan wan-Nudzuur.
[12]. Sebagian ahli ilmu menafsirkan al-kais al-kais dengan jima'. Sebagian lainnya menafsirkannya dengan memperoleh anak dan keturunan. Sebagian lain lagi menafsirkannya sebagai anjuran untuk berjima'.
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5079) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 715) kitab al-Aimaan, Ibnu Majah (no. 1860) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13710).
[14]. HR. Ibnu Majah (no. 1861) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat ‘Abdur-rahman bin Salim, yang dinilai oleh al-Bukhari bahwa haditsnya tidak shahih.
[15]. HR. Ahmad (no. 16523), dan para perawinya tsiqat kecuali Abul Mughirah, ia adalah shaduq.
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 5063) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1401) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3217) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13122).
[17]. Peristiwa ini sebelum turunnya ayat hijab, wallaahu a’lam.
[18]. HR. Al-Bukhari (no. 1968) kitab ash-Shiyaam, at-Tirmidzi (no. 2413).
[19]. HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Muslim (no. 1159).

Anjuran Untuk Menikah : Nikah Adalah Sunnah Para Rasul, Persetubuhan Dari Kalian Adalah Shadaqah


Anjuran Untuk Menikah : Nikah Adalah Sunnah Para Rasul, Persetubuhan Dari Kalian Adalah Shadaqah

ANJURAN UNTUK MENIKAH
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak memberikan anjuran untuk menikah.
Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita untuk melaksanakannya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran tentang ucapan Zakariya Alaihissalam
“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a.” [Ali ‘Imran: 38]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

"Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’” [Al-Anbiyaa’: 89]

Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan ke-turunan…” [Ar-Ra’d: 38]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...” [An-Nuur: 32]
Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa." [1]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
"Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan dua perkara, niscaya ia masuk Surga: Apa yang terdapat di antara kedua tulang dagunya (mulutnya) dan apa yang berada di antara kedua kakinya (kemaluannya)." [2]
Jadi, masuk ke dalam Surga itu -wahai saudaraku- karena engkau memelihara dirimu dari keburukan apa yang ada di antara kedua kakimu, dan ini dengan cara menikah atau berpuasa.
Saudaraku yang budiman! Pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, liwath (homoseksual) dan selainnya. Penjelasan mengenai hal ini akan disampaikan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita -dengan sabdanya- untuk menikah dan mencari keturunan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu.
"Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani." [3]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita dalam banyak hadits agar menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.
Saya kemukakan kepadamu, saudaraku yang budiman, sejumlah hadits yang menunjukkan hal itu.
[1]. Nikah Adalah Sunnah Para Rasul.
Nikah adalah salah satu Sunnah para Rasul, lantas apakah engkau akan menjauhinya, wahai saudaraku yang budiman?
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah." [4]
[2]. Siapa Yang Mampu Di Antara Kalian Untuk Menikah, Maka Menikahlah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita demikian, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan: "Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:
"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'" [5]
[3]. Orang Yang Menikah Dengan Niat Menjaga Kesucian Dirinya, Maka Allah Pasti Menolongnya.
Saudaraku yang budiman, jika engkau ingin menikah, maka ketahuilah bahwa Allah akan menolongmu atas perkara itu.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin memelihara kesucian, dan pejuang di jalan Allah." [6]
[4]. Menikahi Wanita Yang Berbelas Kasih Dan Subur (Banyak Anak) Adalah Kebanggaan Bagimu Pada Hari Kiamat.
Saudaraku yang budiman, jika kamu hendak menikah, carilah dari keluarga yang wanita-wanitanya dikenal subur (banyak anak) dan berbelas kasih kepada suaminya, karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam membanggakanmu mengenai hal itu pada hari Kiamat.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan: ‘Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu riwayat lain (disebutkan), ‘memiliki kedudukan dan kecantikan’), tetapi ia tidak dapat melahirkan anak (mandul); apakah aku boleh menikahinya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian dia datang kepada beliau untuk kedua kalinya, tapi beliau melarangnya. Kemudian dia datang kepada beliau untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ‘Nikahilah wanita yang berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat yang lain.’” [7]
[5]. Persetubuhan Salah Seorang Dari Kalian Adalah Shadaqah.
Saudaraku semuslim, aktivitas seksualmu dengan isterimu guna mendapatkan keturunan, atau untuk memelihara dirimu atau dirinya, maka engkau mendapatkan pahala; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, bahwa sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendapatkan banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, dan mereka dapat bershadaqah dengan kelebihan harta mereka."
Beliau bersabda: "Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian shadaqahkan. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma'ruf adalah shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan isterinya) adalah shadaqah."
Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?"
Beliau bersabda: "Bagaimana pendapat kalian seandainya dia melampiaskan syahwatnya kepada hal yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya kepada hal yang halal, maka dia mendapatkan pahala." [8]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Foote Note
[1]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 625).
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 2411) dan ia mengatakan: “Hadits hasan gharib,” al-Hakim (IV/357) dan ia mengatakan: “Sanadnya shahih” dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 150).
[3]. HR. Al-Baihaqi (VII/78) dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah dengan hadits-hadits pendukungnya (no. 1782).
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan shahih.”
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah.
Pensyarah kitab Tuhfatul Ahwadzi berkata: “Al-baa-u asalnya dalam bahasa Arab, berarti jima’ yang diambil dari kata al-mabaa-ah yang berarti tempat tinggal. Mampu dalam hadits ini memiliki dua makna, mampu berjima’ dan mampu memikul beban nikah.” Demikianlah maksud dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah, hal. 12 dari kitab Tuhfatul Ahwadzi. Kemudian para ulama berkata: “Adapun orang yang tidak mampu berjima’, maka ia tidaklah butuh berpuasa. Jika demikian, maka makna kedua lebih shahih.”
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 1352) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1512) dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykaah (no. 3089), Shahiih an-Nasa-i (no. 3017), dan Shahiihul Jaami’ (no. 3050).
[7]. HR. Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, dan para perawinya tsiqah (terpercaya) kecuali Mustaslim bin Sa’id, ia adalah shaduq, an-Nasa-i (no. 3227), kitab an-Nikaah, dan para perawinya terpercaya selain ‘Abdurrahman bin Khalid, ia adalah shaduq.
[8]. HR. Muslim (no. 1006). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: "Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah,’ dimutlakkan atas jima. Ini sebagai dalil bahwa perkara-perkara mubah akan menjadi ketaatan dengan niat yang benar. Jima’ menjadi ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak isteri dan mempergaulinya dengan baik sebagaimana Allah memerintahkan kepadanya, atau diniatkan untuk mendapatkan anak yang shalih, atau memelihara dirinya.” Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jika manusia mati, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang senantiasa mendo’akan-nya.” (HR. Muslim).

Rabu, April 09, 2008

DEFINISI ZAKAT

DEFINISI ZAKAT

Zakat menurut etimologi
Zakat menurut etimologi berarti, berkah, bersih, berkembang dan baik. Dinamakan zakat karena, dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari bahaya. Menurut Ibnu Taimiah hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi.

Zakat menurut terminologi
Zakat menurut terminologi berarti, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wata'ala. untuk diberikan kepada para mustahik yang disebutkan dalam Al-quran. Atau bisa juga berarti sejumlah tertentu dari harta tertentu yang diberikan untuk orang tertentu. Lafal zakat dapat juga berarti sejumlah harta yang diambil dari harta orang yang berzakat.
Zakat dalam Alquran dan hadis kadang-kadang disebut dengan sedekah, seperti firman Allah subhanahu wata'ala. yang berarti, "Ambillah zakat (sedekah) dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah buat mereka, karena doamu itu akan menjadi ketenteraman buat mereka." (Q.S. At Taubah, 103). Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. ketika memberangkatkan Muaz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda, "Beritahulah mereka, bahwa Allah mewajibkan membayar zakat (sedekah) dari harta orang kaya yang akan diberikan kepada fakir miskin di kalangan mereka." (Hadis ini diketengahkan oleh banyak perawi.

Rukun Zakat
Zakat adalah rukun ketiga dari rukun Islam yang lima yang merupakan pilar agama yang tidak dapat berdiri tanpa pilar ini, orang yang enggan membayarnya boleh diperangi, orang yang menolak kewajibannya dianggap kafir. Zakat ini diwajibkan pada tahun kedua hijrah.
Legitimasinya diperoleh lewat beberapa ayat dalam Alquran, antara lain firman Allah subhanahu wata'ala. yang berarti, "Dirikanlah salat, bayarlah zakat dan rukuklah bersama orang yang rukuk." (Q.S. Al-Baqarah, 43) Juga dalam firman Allah subhanahu wata'ala. yang berarti, "dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia hak tertentu buat orang yang meminta-minta dan orang yang tidak bernasib baik." (Q.S. Al Ma'arij, 24-25)

Waktu Pembayaran Zakat
Zakat harus segera dibayar bila telah memenuhi semua syarat wajibnya, tidak boleh ditunda apalagi telah memiliki kemampuan melaksanakannya. Jika hartanya masih berada di pihak lain (gaib) maka pembayarannya dapat ditunda sampai harta itu sampai di tangan pemiliknya. Para amil yang mengurus pemungutan dan penyaluran zakat juga dilarang menundanya. Jika amil telah mengetahui orang-orang yang mustahik zakat dan dapat membagikan secara merata kepada mereka namun tidak juga dibayar hingga harta zakat itu rusak, maka amil tersebut bertanggung jawab menggantinya.
Kewajiban zakat tidak gugur dengan kematian pemilik harta, tetapi tetap menjadi utang yang harus dilunasi dari harta peninggalan baik diwasiatkan ataupun tidak.
Kewajiban zakat juga tidak gugur dengan lewat masa waktunya (kedaluarsa). Jika seorang pembayar zakat terlambat membayar zakat hartanya di akhir haul dan telah memasuki tahun baru (haul baru), maka ketika menghitung zakat tahun kedua harus dikurangi sebesar kewajiban zakat yang harus dibayar untuk tahun pertama dan sisanyalah yang harus dizakati pada tahun berikutnya. Orang itu tetap berkewajiban membayar zakat tahun pertama karena dianggap utang yang harus dilunasi.
Bila harta yang akan dizakati itu rusak setelah mencukupi haul, maka kewajiban zakat akan gugur dengan dua syarat:
a. Harta itu rusak sebelum mampu membayar zakatnya.
b. Tidak karena kelalaian pemilik harta.
Apabila hasil pertanian atau buah-buahan rusak sebelum dipetik karena suatu sebab (hama, musibah), maka kewajiban zakatnya gugur, kecuali jika masih tersisa kuantitas yang mencapai nisab, dari sisa itulah harus dibayar zakat.
Wajib bagi seorang amil yang bertugas memungut dan mendistribusikan zakat untuk menjaga harta zakat itu sebaik-baiknya, tetapi bila rusak tidak karena kelalaiannya maka ia tidak berkewajiban menjamin (mengganti)

Cara Membayar Zakat
Kewajiban muzakki dalam membayar zakat adalah:
1. Berniat untuk membayar zakat.
2. Menghitung semua kekayaan yang wajib dizakati
3. Membayarkan zakat kepada Badan Amil Zakat
4. Meminta doa dari petugas penerima zakat di Badan Amil Zakat

Mentransfer Zakat Keluar Daerah Pemungutan
Walaupun zakat merupakan salah satu dasar terciptanya solidaritas sosial di seluruh wilayah negara Islam dan juga sebagai sumber dana untuk dakwah dan usaha mempekenalkan hakikat ajaran Islam selain untuk membantu para tentara yang berjuang merebut kemerdekaan negeri Islam namun telah menjadi ketentuan pokok berdasarkan hadis dan sunah para khulafaurrasyidin untuk memulai menyalurkan harta zakat itu kepada orang-orang mustahik yang ada di dalam wilayah pemungutannya. Kemudian sisanya baru dialihkan ke wilayah lain kecuali bila terjadi musibah kelaparan, bencana alam atau kebutuhan yang sangat mendesak, maka ketika itu zakat boleh dialihkan kepada yang lebih membutuhkan. Prinsip ini dapat diterapkan pada tingkat perorangan maupun kelompok masyarakat.
Pengalihan zakat dari suatu wilayah ke wilayah lain itu berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut ini:
Pada dasarnya zakat disalurkan di tempat harta yang dizakati, bukan di tempat si pembayar zakat sehingga harta itu boleh dialihkan dari tempatnya untuk kemaslahatan yang lebih besar .

Di antara maslahat pengalihan zakat itu adalah:
a. Dialihkan ke wilayah-wilayah tempat terjadinya perang fisabilillah.
b. Dialihkan ke lembaga-lembaga dakwah dan pendidikan maupun pusat kesehatan yang termasuk delapan golongan yang berhak menerima zakat
c. Dialihkan ke negara-negara Islam manapun yang mengalami musibah kelaparan dan bencana alam
d. Dialihkan ke kaum kerabat si pembayar zakat yang berhak menerima zakat (mustahik)

Mengalihkan zakat keluar wilayah pemungutan selain dalam kondisi yang disebutkan di atas tidak menghalangi sahnya pembayaran zakat tetapi makruh dengan syarat harta itu tetap disalurkan kepada orang-orang di antara delapan kelompok masyarakat yang mustahik.
Yang dimaksud dengan daerah pemungutan zakat ialah daerah tempat zakat itu dipungut dan negeri-negeri lain yang ada di sekitarnya yang jauhnya kurang dari jarak salat kasar (kurang lebih 82 kilometer) karena hal itu dianggap termasuk wilayah satu negeri.

Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan dalam pengalihan harta zakat:
a. Mempercepat pembayaran zakat sebelum akhir haul, selama masa waktu yang dibutuhkan untuk pendistribusian zakat tersebut kepada mustahik, terhitung mulai dari haul itu sempurna jika harta itu telah memenuhi syarat wajib
b. Menunda pembayaran selama masa waktu yang dibutuhkan untuk mengalihkan zakat tersebut

Zakat Dan Pajak
Pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah tidak bisa dijadikan sebagai pembayaran zakat karena perbedaan yang terdapat antara keduanya. Seperti perbedaan pihak yang mewajibkan, tujuan, jenis harta, volume yang wajib dibayar serta penyalurannya.
Pajak tidak boleh dipotong dari volume zakat yang wajib dibayar tetapi dari total jumlah harta yang terkena kewajiban zakat. Pajak yang harus dibayar kepada pemerintah selama haul dan belum dibayar sebelum haul, dipotong dari harta yang harus dizakati tersebut karena termasuk kewajiban yang harus dilunasi.
Peraturan pajak seharusnya disesuaikan sehingga memungkinkan pengambilan volume zakat yang wajib dikeluarkan dari volume pajak untuk memudahkan mereka yang membayar zakat tanpa batas selama yang bersangkutan dapat mengajukan bukti yang kuat bahwa ia telah membayar zakat.
Mewajibkan pajak solidaritas sosial atas penduduk non muslim di negara Islam sebesar volume zakat sebagai sumber dana untuk menciptakan solidaritas sosial secara umum yang mencakup seluruh rakyat yang hidup di negara Islam.

KATEGORI MUSTAHIK ZAKAT

Fakir
Fakir adalah orang yang penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer) sesuai dengan kebiasaan masyarakat tertentu. Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan penghasilan yang halal dalam pandangan jumhur ulama fikih, atau yang mempunyai harta yang kurang dari nisab zakat menurut pendapat mazhab Hanafi. Kondisinya lebih buruk dari pada orang miskin. Ada pula pendapat yang mengatakan sebaliknya.
Perbedaan pendapat ini tidak mempengaruhi karena kedua-duanya, baik yang fakir dan yang miskin sama-sama berhak menerima zakat.
Orang fakir berhak mendapat zakat sesuai kebutuhan pokoknya selama setahun, karena zakat berulang setiap tahun. Patokan kebutuhan pokok yang akan dipenuhi adalah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan pokok lainnya dalam batas-batas kewajaran, tanpa berlebih-lebihan atau terlalu irit.
Di antara pihak yang dapat menerima zakat dari kuota fakir, (bila telah memenuhi syarat membutuhkan, yaitu tidak mempunyai pemasukan atau harta, tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya) adalah; anak yatim, anak pungut, janda, orang tua renta, jompo, orang sakit, orang cacat jasmani, orang yang berpemasukan rendah, pelajar, para penganguran, tahanan, orang-orang yang kehilangan keluarga dan tawanan

Miskin
Miskin adalah orang-orang yang memerlukan, yang tidak dapat menutupi kebutuhan pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Miskin menurut mayoritas ulama adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai pencarian yang layak untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Imam Abu Hanifah, miskin adalah orang yang tidak memiliki sesuatu. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, keadaan mereka lebih buruk dari orang fakir, sedangkan menurut mazhab Syafii dan Hambali, keadaan mereka lebih baik dari orang fakir.
Bagi mereka berlaku hukum yang berkenaan dengan mereka yang berhak menerima zakat.

Amil Zakat
Yang dimaksud dengan amil zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan dan penyaluran harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang mustahik, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta zakat .
Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syariat Islam. Oleh karena itu petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian kuasa (karena berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain muslim, laki-laki, jujur, mengetahui hukum zakat. Ada tugas-tugas sekunder lain yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi sebagian syarat-syarat di atas, seperti akuntansi, penyimpanan dan perawatan aset yang dimiliki lembaga pengelola zakat dan lain-lain.
Para pengurus zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas walaupun mereka tidak bukan orang fakir dengan penekanan supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat (12,5%).
Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada mustahik lain.
Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah baik dalam bentuk uang atau pun barang. Memperlengkapi gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan yang diperlukan bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau sumbangan lain, maka dapat diambil dari kuota amil sekedarnya dengan catatan bahwa sarana tersebut harus berhubungan langsung dengan pengumpulan, penyimpanan dan penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah zakat.
Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan izin beroperasi suatu badan zakat berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk meneladani sunah Nabi saw. dalam melakukan tugas kontrol terhadap para amil zakat. Seorang amil zakat harus jujur dan bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di tangannya dan bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat kecerobohan dan kelalaiannya.
Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum, seperti penyantun dan ramah kepada para wajib zakat dan selalu mendoakan mereka begitu juga terhadap para mustahik, dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial serta menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahik.

Muallaf
Pihak ini merupakan salah satu mustahik yang delapan yang legalitasnya masih tetap berlaku sampai sekarang, belum dinasakh. Pendapat ini adalah pendapat yang diadopsi mayoritas ulama fikih (jumhur). Sehingga kekayaan kaum mualaf tidak menghalangi keberhakan mereka menerima zakat.
Di antara kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat dari kuota ini adalah sebagai berikut:
Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam: sebagai persuasi terhadap hati orang yang diharapkan akan masuk Islam atau keislaman orang yang berpengaruh untuk kepentingan Islam dan umat Islam.
Orang-orang yang dirayu untuk membela umat Islam: Dengan mempersuasikan hati para pemimpin dan kepala negara yang berpengaruh baik personal atau lembaga dengan tujuan ikut bersedia memperbaiki kondisi imigran warga minoritas muslim dan membela kepentingan mereka. Atau untuk menarik hati para pemikir dan ilmuan demi memperoleh dukungan dan pembelaan mereka dalam permasalahan kaum muslimin. Seperti membantu orang-orang non-muslim korban bencana alam, jika bantuan dari harta zakat itu dapat meluruskan pandangan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih memerlukan bantuan dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka meskipun tidak berupa pemberian nafkah, atau dengan mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang akan melindungi dan memantapkan hati mereka dalam memeluk Islam serta yang akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru mereka baik moril dan materil.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyalurkan zakat kepada pihak ini adalah sebagai berikut:
Terealisasikannya maksud dan kebijaksanaan hukum Islam hingga tercapai tujuan yang didambakan syariat Islam.
Menyalurkan harta zakat kepada pihak ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan mudarat terhadap para mustahik yang lain dan tidak berlebihan kecuali kalau memang dibutuhkan.
Ditekankan agar dalam menyalurkan kuota ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian untuk menghindari dampak negatif yang tidak dapat diterima dalam pandangan syariat atau menghindari reaksi yang kurang baik dalam diri kaum mualaf dan menjauhkan perkara lain yang dapat menimbulkan mudarat terhadap Islam dan kaum muslimin.
Disarankan agar menggunakan sarana-sarana dan fasilitas modern agar lebih efektif dan dapat tercapai tujuan dari penyaluran harta zakat ini

Orang Yang Berutang (Gharim)
Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat golongan ini ialah:
Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan
b. Utang itu melilit pelakunya
c. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya
d. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang
Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.
Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain di mana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.
Orang yang berutang untuk pembayaran diat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja, bila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut, begitu pula kas negara.
Pembayaran diat itu dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun diat pembunuhan yang disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat. Namun demikian tidak boleh mempermudah pembayaran diat dari dana zakat karena banyaknya kasus pembunuhan tidak sengaja karena para mustahik zakat yang lain juga sangat membutuhkannya. Untuk itu dianjurkan membuat kotak-kotak dana sosial untuk meringankan beban orang yang menanggung diat seperti karena kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Juga sugesti membuat kotak-kotak dana sosial keluarga atau profesi untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak keluarga yang ikut menanggung diat pembunuhan tidak sengaja) sesuai dengan tuntutan zaman

Mustahik Fisabilillah
Yang dimaksud dengan mustahik fi sabilillah adalah orang berjuang di jalan Allah dalam pengertian luas sesuai dengan yang ditetapkan oleh para ulama fikih. Intinya adalah melindungi dan memelihara agama serta meninggikan kalimat tauhid, seperti berperang, berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam, menolak fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam, membendung arus pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Dengan demikian pengertian jihad tidak terbatas pada aktifitas kemiliteran saja.
Kuota zakat untuk golongan ini disalurkan kepada para mujahidin, dai sukarelawan serta pihak-pihak lain yang mengurusi aktifitas jihad dan dakwah, seperti berupa berbagai macam peralatan perang dan perangkat dakwah berikut seluruh nafkah yang diperlukan para mujahid dan dai.
Termasuk dalam pengertian fisabilillah adalah hal-hal sebagai berikut:
Membiayai gerakan kemiliteran yang bertujuan mengangkat panji Islam dan melawan serangan yang dilancarkan terhadap negara-negara Islam.
Membantu berbagai kegiatan dan usaha baik yang dilakukan oleh individu maupun jemaah yang bertujuan mengaplikasikan hukum Islam di berbagai negara, menghadapi rencana-rencana jahat musuh yang berusaha menyingkirkan syariat Islam dari pemerintahan.
Membiayai pusat-pusat dakwah Islam yang dikelola oleh tokoh Islam yang ikhlas dan jujur di berbagai negara non-muslim yang bertujuan menyebarkan Islam dengan berbagai cara yang legal yang sesuai dengan tuntutan zaman. Seperti mesjid-mesjid yang didirikan di negeri non-muslim yang berfungsi sebagai basis dakwah Islam.
Membiayai usaha-usaha serius untuk memperkuat posisi minoritas muslim di negeri yang dikua dikuasai oleh non-muslim yang sedang menghadapi rencana-rencana jahat pengikisan akidah mereka

Ibnu Sabil
Orang yang dalam perjalanan (Ibnu Sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo, atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengingkari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak menerima

SYARAT WAJIB ZAKAT

Merdeka
Maka tidak diwajibkan zakat kepada hamba sahaya, karena hamba itu tidak memiliki harta secara sempurna ( almilikuttam), majikannyalah yang memiliki harta yang dimiliki hambanya

Islam
Bagi non muslim tidak wajib berzakat, karena zakat itu adalah suatu ibadah yang mensucikan atau membersihkan harta. Menurut Imam Syafie seorang murtad wajib mengeluarkan zakatnya seperti dia Islam, sepanjang harta tersebut diperoleh sebelum dia murtad/ kafir. Sedangkan menurut Imam Hanafi kewajiban zakat bagi murtad gugur

Aqil baligh
Menurut pendapat jumhur ulama ( kebanyakan ulama ), diwajibkan membayar zakat atas harta anak-anak dan orang gila, karena zakat itu tidak melihat kepada keadaan orangnya, tetapi melihat kepada hartanya. Pihak yang wajib mengeluarkan zakat adalah walinya. Menurut pendapat Abu Hanifah anak-anak dan orang gila tidak wajib berzakat karena mereka keluar dari katagori kewajiban seperti kewajiban ibadah sholat dan puasa

Milik Sempurna
Yang dimaksud dengan milik sempurna (milik 100 %) adalah kemampuan pemilik harta mentransaksikan barang miliknya tanpa campur tangan orang lain. Hal ini disyaratkan karena pada dasarnya zakat berarti pemilikan dan pemberian untuk orang yang berhak, ini tidak akan terealisir kecuali bila pemilik harta betul-betul memiliki harta tersebut secara sempurna. Dari sinilah, maka harta yang telah berada di luar kekuasaan pemilik (harta dhimar) atau cicilan mas kawin yang belum dibayar tidak wajib zakat.
Hal ini sesuai dengan hadis yang diriiwayatkan oleh sekelompok sahabat yang berarti: "Tidak ada zakat pada harta dhimar, tidak ada zakat pada cicilan maskawin yang tertunda, karena wanita tidak dapat menggunakannya, tidak ada zakat pada piutang atas orang yang kesulitan. Bila sudah berada di tangan, baru wajib dizakati untuk satu tahun berjalan saja, meskipun piutang itu, atau maskawin tersebut telah berada di tangan orang lain/ suaminya bertahun-tahun, demikian juga piutang atas orang yang susah dari sejak beberapa tahun."

Berkembang Secara Real Atau Estimasi
Dengan artian bahwa harta tersebut harus dapat berkembang secara real atau secara estimasi. Yang dimaksud dengan pertumbuhan real adalah pertambahan akibat kelahiran, perkembang biakan atau niaga.
Sedangkan yang dimaksud dengan pertumbuhan estimasi adalah harta yang nilainya mempunyai kemungkinan bertambah seperti emas, perak dan mata uang yang semuanya mempunyai kemungkinan pertambahan nilai dengan memperjualbelikannya, sebab itu, semua jenis harta di atas mutlak harus dizakati, berbeda dengan lahan tidur yang tidak dapat berkembang baik secara real maupun secara estimasi, maka tidak wajib dizakati

Sampai Nisab
Nisab adalah jumlah harta yang ditentukan secara hukum, di mana harta tidak wajib dizakati jika kurang dari ukuran tersebut. Syarat ini berlaku pada uang, emas, perak, barang dagangan dan hewan ternak.
Dalam sebuah hadis Nabi saw. bersabda, "Tidak ada kewajiban zakat atas harta emas yang belum sampai 20 dinar (1 dinar= 4,25 gram, jadi 20 dinar=85 gram). Apabila telah sampai 20 dinar, maka zakatnya adalah setengah dinar. Demikian juga perak tidak diambil zakatnya sebelum sampai 200 dirham (1 dirham=2,975 gram, jadi 200 dirham=595 gram) yang dalam hal ini zakatnya adalah 5 dirham."
Nisab emas adalah 20 mitsqal=85 gram emas murni. Nisab perak adalah 200 dirham=595 gram perak murni. Nisab zakat barang dagangan adalah senilai 85 gram emas murni. Barang-barang zakat lainnya sudah ditetapkan juga nisabnya masing-masing. Termasuk dalam barang zakat adalah barang yang telah lengkap satu nisab berikut kelebihannya.
Adapun barang yang kurang dari satu nisab, tidak termasuk barang yang wajib dizakati. Kesempurnaan nisab dilihat pada awal dan akhir haul, kekurangan dan kelebihan di antara awal dan akhir haul tidak mempengaruhi nisab. Harta zakat beserta penghasilannya digabungkan di akhir haul. Pendapat ini dianut mazhab Hanafi, Maliki dan mayoritas ulama dan cara ini nampaknya lebih mudah diterapkan.
Pengaruh Penggabungan Harta Terhadap Kadar Yang Wajib Dibayar
Harta campuran adalah harta milik beberapa orang yang diperlakukan sebagai harta seorang, dengan alasan kesamaan sifat dan kondisi, seperti kesamaan tempat penggembalaan, tempat minum dan kandang hewan ternak, kesamaan jaminan, urusan dan pembiayaan pada harta perusahaan. Prinsip percampuran ini pada dasarnya diterapkan pada zakat hewan ternak, namun sebagian mazhab menggeneralisasikannya pada selain hewan ternak seperti pertanian, buah-buahan dan mata uang.
Bila kaidah ini diaplikasikan pada harta perusahaan, Anda akan memperlakukan seolah-olah harta itu harta satu orang, baik dalam perhitungan nisab dan kalkulasi kadar yang wajib dibayar. Bila diaplikasikan pada nisab kekayaan ternak, Anda akan mengatakan bahwa nisab hewan ternak yang dimiliki oleh tiga orang, masing-masing memiliki 15 ekor domba telah memenuhi satu nisab, karena jumlah kekayaan ternak 45 ekor, telah melebihi nisab, yaitu 40 ekor kambing. Dalam hal ini, wajib dibayar satu ekor kambing sebagai zakat, di mana jika diaplikasikan secara perorangan, maka nisabnya tidak mencukupi dan tidak wajib dibayar zakatnya

Melebihi Kebutuhan Pokok
Barang-barang yang dimiliki untuk kebutuhan pokok, seperti rumah pemukinan, alat-alat kerajinan, alat-alat industri, sarana transportasi dan angkutan, seperti mobil dan perabot rumah tangga, tidak dikenakan zakat. Demikian juga uang simpanan yang dicadangkan untuk melunasi utang (akan dijelaskan kemudian), tidak diwajibkan zakat, karena seorang kreditor sangat memerlukan uang yang ada di tangannya untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman utang.
Oleh sebab itu, maka harta yang dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan pokok tidak wajib dizakati

Cukup Haul
Haul adalah perputaran harta satu nisab dalam 12 bulan kamariah. Jika terdapat kesulitan akuntasi karena biasanya anggaran dibuat berdasarkan tahun syamsiah, maka boleh dikalkulasikan berdasarkan tahun syamsiah dengan penambahan volume (rate) zakat yang wajib dibayar, dari 2,5 % menjadi 2,575 % sebagai akibat kelebihan hari bulan syamsiah dari bulan qamariah
Khusus hasil pertanian, tidak disyaratkan haul, sesuai dengan firman Allah swt. yang artinya, "Bayarlah zakatnya pada waktu panen." (Q.S. Al An`am,141). Demikian juga kekayaan tambang dan barang galian juga tidak disyaratkan haul, sesuai konsensus para ulama

Tidak Terjadi Zakat Ganda
Apabila suatu harta telah dibayar zakatnya kemudian harta tersebut berubah bentuk, seperti hasil pertanian yang telah dizakati kemudian hasil panen tersebut dijual dengan harga tertentu, atau kekayaan ternak yang telah dizakati kemudian dijual dengan harga tertentu. Dalam hal ini, harga penjualan barang yang telah dizakati di akhir haul tidak wajib dizakati lagi agar tidak terjadi zakat ganda pada satu jenis harta. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw. yang berarti, "Tidak ada ganda dalam zakat". (H.R. Bukhari dan Muslim)

Harta Umum, Wakaf Dan Kebajikan Sosial
Harta umum tidak wajib dibayar zakatnya, karena harta itu dimiliki oleh orang banyak, mungkin di antara mereka terdapat fakir miskin. Dalam hal ini tidak terdapat pemilik khusus, sehingga tidak ada urgensinya pemerintah mengambil zakat dari hartanya sendiri untuk disalurkan kepada pihaknya juga.
Hal yang sama berlaku pula untuk harta wakaf yang diperuntukkan buat kepentingan umum, seperti untuk para fakir miskin, mesjid-mesjid, yatim-piatu dan lain sebagainya, mengingat karena pemilik harta tersebut telah mewakafkannya untuk kepentingan umum. Demikian juga tidak wajib dizakati harta yayasan bakti sosial, karena harta tersebut adalah milik sekelompok orang-orang fakir yang hanya disalurkan kepada orang-orang yang memerlukan di samping harta tersebut tidak dimiliki oleh satu orang tertentu

Bebas dari hutang
Orang yang mempunyai hutang mengurangi nishab yang harus dibayar pada waktu yang sama

Zakat Maal

Pengertian Maal (Harta)
1. Menurut bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali sekali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya.

Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim).

a. Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, dikuasai
b. Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak, dll

Syarat-syarat Kekayaan yang Wajib di Zakati

1. Milik Penuh (Almilkuttam)
Yaitu : harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh. Harta tersebut didapatkan melalui proses pemilikan yang dibenarkan menurut syariat islam, seperti : usaha, warisan, pemberian negara atau orang lain dan cara-cara yang sah. Sedangkan apabila harta tersebut diperoleh dengan cara yang haram, maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib, sebab harta tersebut harus dibebaskan dari tugasnya dengan cara dikembalikan kepada yang berhak atau ahli warisnya
2. Berkembang
Yaitu : harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang
3. Cukup Nishab
Artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'. sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari Zakat
4. Lebih Dari Kebutuhan Pokok (Alhajatul Ashliyah)
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM), misal, belanja sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb
5. Bebas Dari hutang
Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat
6. Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)
Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedang hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul

Harta (maal) yang wajib di Zakati

1. Binatang Ternak
Hewan ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba) dan unggas (ayam, itik, burung)

2. Emas Dan Perak
Termasuk dalam kategori emas dan perak, adalah mata uang yang berlaku pada waktu itu di masing-masing negara. Oleh karena segala bentuk penyimpanan uang seperti tabungan, deposito, cek, saham atau surat berharga lainnya, termasuk kedalam kategori emas dan perak. sehingga penentuan nishab dan besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak.
Demikian juga pada harta kekayaan lainnya, seperti rumah, villa, kendaraan, tanah, dll. Yang melebihi keperluan menurut syara' atau dibeli/dibangun dengan tujuan menyimpan uang dan sewaktu-waktu dapat di uangkan. Pada emas dan perak atau lainnya yang berbentuk perhiasan, asal tidak berlebihan, maka tidak diwajibkan zakat atas barang-barang tersebut.

3. Harta Perniagaan
Harta perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dll. Perniagaan tersebut di usahakan secara perorangan atau perserikatan seperti CV, PT, Koperasi, dsb
4. Hasil Pertanian
Hasil pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan, dedaunan, dll
5. Kekayaan Laut ( Ma din )
Ma'din (hasil tambang) adalah benda-benda yang terdapat di dalam perut bumi dan memiliki nilai ekonomis seperti emas, perak, timah, tembaga, marmer, giok, minyak bumi, batu-bara, dll. Kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut seperti mutiara, ambar, marjan, dll
6. Rikaz
Rikaz adalah harta terpendam dari zaman dahulu atau biasa disebut dengan harta karun. Termasuk didalamnya harta yang ditemukan dan tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya

Hikmah Zakat
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain:

1. Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah papa dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.Dengan kondisi tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT

2. Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya
3. Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi hati
4. Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: Ummatn Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat, dan dan kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Takaful Ijti'ma (tanggung jawab bersama)
5. Menjadi unsur penting dalam mewujudakan keseimbanagn dalam distribusi harta (sosial distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat
6. Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat dengan yang lemah
7. Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera dimana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram, aman lahir bathin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi kekhawatiran akan hidupnya kembali bahaya komunisme 9atheis) dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji Allah SWT, akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibun wa Rabbun Ghafur.

Jumat, Maret 28, 2008

Al-Quds akan Tetap Milik Ummat Islam Walau Dinodai dan Dikhianati

Al-Quds akan Tetap Milik Ummat Islam Walau Dinodai dan Dikhianati

Oleh : Nasher al-Fadlolah

Harian Akhbar al-Kholij Bahrain24/7/2005

Utusan pemerintah Amerika bergerak cepat menuju Israel dalam rangka proyeksi legalisasi perampokan tanah Palestina oleh Israel. Lebih khusus al-Quds yang merupakan gambaran nyata dari bentuk penganiayaan terhadap agama dan sejarah rakyat Palestina khususnya dan bangsa Arab pada umumnya.

Apa yang terjadi di al-Quds merupakan penodaan terhadap Masjid al-Aqsha sebagai kiblat pertama bagi kaum muslimin dan merupakan tindakan profokatif terhadap simbol agama Islam. Amerika maupun yang lainnya sama sekali tidak berhak mengambil sebagian wilayah kaum muslimin untuk diberikannya kepada para penjajah dan pencaplok permukiman.

Palestina adalah tanahnya para Nabi, Ibrahim, Dawud, Sulaiman, Musa, zakaria, Yahya dan Isa Alaihim Salam. (Ibrahim bukanlah yahudi, bukan juga Nashrani, akan tetapi dia itu adalah seorang yang lurus dan Islam, bukan juga ia termasuk orang-orang musyrik.(al-Imran 67)).

Tanah Palestina yang di tengah-tengahnya ada Masjid al-Aqsha merupakan waqaf bagi semua generasi kaum muslimin. Allah telah mewaritskan tanah ini berikut apa yang ada diatasnya. Keadaanya tidak boleh dirubah, apakah itu oleh kongres Amerika, keputusan pemerintah Amerika yang zionis ataupun oleh pemerintah penjajah Israel. Sesuatu yang pasti tanah itu adalah tanah yang diberkahi, tanah Palestina.

Sikap pemerintah Amerika melalui utusannya menunjukan keberpihakan mereka terhadap entitas zionis dan melambangkan koailisi yang abadi antara zionis dan Amerika. Sikap seperti ini satu bentuk dari perang dan permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin, tempat-tempat sucinya. Inilah siyarat yang jelas bagi setiap orang yang menggadaikan hidupnya kepada politik Amerika, apakah itu dari bangsa Palestina, Arab atau yang lainya. Tidak ada penggadaian pada Amerika karena mereka telah menampatkan posisinya untuk memerangi Arab dan kaum muslimin, yang telah mengangkat anak kesayaangan, menyokong dan melindungi musuh yang paling berbahaya yaitu Yahudi laknatullah.

Setiap hari bangsa Palestina dibunuhi dengan senjata Amerika. Akan tetapi senantiasa Amerika menutupi aksi teroris ini secara politis, apakah itu ditingkat PBB atau ditingkat kongres Amerika sendiri. Pada saat dimana mereka menyatakan keseriusannya terhadap keputusan-keputusan PBB secara bohong dan dusta.

Apakah ini tidak cukup untuk membangunkan dunia Arab dan Islam dari mati surinya? Agar mereka bangkit dan menyadari tentang pertempuran hakiki yang sedang berlangsung?.dan agar mereka bersatu padu di bawah bendera Islam.

Apakah belum tiba masanya bagi pemerintahan Arab dan Islam untuk mengambil sikap yang jelas dan mengemban tanggung jawabnya menghadapi penghinaan terhadap tempat-tempat suci Islam, tempat isra nya Rasulallah Shallallahu ’alaihi wa sallam. Apakah tidak layak bagi Liga Arab dan OKI untuk berbuat sesuatu dan mengambil peran yang nyata sebagai ganti dari sikapnya yang diam dan membisu??

Seharusnya dunia Arab dan Islam bersama rakyat mengambil langkah-langkah berikut ini. Kembali kepada Allah. Beriman bahwa Islam adalah pijakan pokok dalam menghadapi masalah Palestina dan dengan Islamlah kita menghadapi semua perkembangan terbaru ini. Mendidik ummat dan generasi penerusnya agar mempersiapkan secara ilmiah, pendidikan mereka dan ekonomi mereka, untuk menghadapi tantangan masa kini serta bahaya di sekeliling. Mendirikan sekolah-sekolah yang bebas dari intervensi Amerika dengan segala bentuknya. Dengan demikian akan terciptalah para pemimpin yang jujur yang dan berakhlak Rabbany yang sangat dibutuhkan oleh ummat sekarang ini, untuk mengembalikan kemuliannya.

Hal-hal diatas harus harus didukung pula dengan SDM, pendanaan dan penyebaran informasi kepada seluruh rakyat Palestina. Pada saat yang sama kekuatan perlawanan nasional dan Islam muncul dan bangkit menghadapi semua kecongkakan dan kebiadaban Israel hingga di berikan kemanangan oleh Allah.

Pada saat ini tidak layak bagi bangsa Palestina untuk memunculkan aliansi permusuhan atau serangan-serangan opini yang menampakan keputus asaan dan menyerah terhadap keadaan. Kemengan itu dijanjikan bagi kaum muslimin, insya Allah. Hal itu sudah diberitakan oleh hadits-hadits Nabi. Berita kemenangan bagi kaum muslimin tidak terbatas waktu, agar para mujahid terus berjuang sampai kemenangan diraihnya. Jika tidak hari ini mungkin besok.

Agar bisa diketahui bersama, bahwa musibah itu adalah cobaan dari Allah untuk menguji kaum muslimin: (Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini , sehingga Dia menyisihkan yang buruk dari yang baik . Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya . Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar).

Bersabarlah wahai ummat ini, beramallah, bersiaplah dan bertakwalah kepada Allah, insya Allah kemenangan akan datang.(asy).

Kedudukan al-Aqsha Dalam Islam

Kedudukan al-Aqsha Dalam Islam

Semenjak lama aku menyibukkan diri dalam pembahasan reorintasi yaitu mengembalikan segala sesuatu atau segala pekerjaan kepada awalnya.

Sepanjang pengamatanku, kesalahan prilaku sebagian kaum muslimin dalam pekerjaanya atau ketidak tekunan mereka dalam pekerjaan, dikarenakan niat awal ketika mereka bekerja adalah ingin mendapatkan gaji yang sesuai dengan jenis pekarjaannya.

Kita sering mendengar, ketika seseorang dikritik karena lalai atau tidak teliti dalam pekerjaanya, ia selalu mengaitkan alasannya itu dengan gaji yang ia terima setiap bulan. Ia berkata, “Aku bekerja sesuai dengan jumlah gajiku”. Perkataan ini sering kita dengar bahkan sudah menjadi hal yang biasa di antara sebagian pekerja kita.

Kalaulah kita setuju dengan alasan mereka, kemudian kita teliti dan menghitung-hitung waktu yang digunakan oleh mereka dalam pekerjaanya, pasti kita akan menemukan bahwa, mayoritas mereka menghabiskan waktunya dengan ngobrol-ngobrol di telepon tidak karuan atau hanya sekedar minum teh. Bahkan banyak diantara mereka keluar dari kantor hanya untuk menghisap rokok karena mungkin ia seorang pecandu rokok. Ia tidak sabar untuk keluar menunggu hingga waktu pekerjaanya selesai.

Kalau kita teliti waktu yang dipakai untuk bekerja oleh sebagian pegawai kebanyakannya dipakai sia-sia atau dipakai sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dari sini akan terungkap urgensinya reorientasi dalam prilaku akhlaq atau pekerjaan, supaya kita bisa terhindar dari kesalahan atau bisa tekun dalam pekerjaan. Sehingga kalaupun seandainya gaji kita ini pas-pasan, sebagaimana diungkapkan oleh sebagian pegawai kita, maka ketahuilah disana ada balasan yang akan diberikan oleh Allah, yaitu keberkahan dalam kesedikitan, kecukupan pada keluarga dan anak, ketentraman jiwa dan ketenangan hati.

Itulah mukaddimah yang panjang yang mesti saya utarakan sebagai pengantar bagi masalah yang menjadi sentral pembicaraan ini, yaitu masalah Palestina dan Masjid al-Aqsha serta usaha-usaha yang dilakukan secara terus menerus oleh kelompok Yahudi radikal untuk menghancurkan al-Aqhsa dan membangun diatasnya Haikal.

Dari awal saya katakan, masalah ini kalau kita mau mengurut ke pokok pangkalnya (reorientasi) adalah apa yang diucapkan oleh Yasir Arafat ketika ia menang dalam pemilu dan mau mendirikan negara Palestina. Ia mengatakan, dirinya sangat berkeinginan untuk menjadikan negara Palestina itu sebagai negara sekuler.

Tapi coba lihat, katika Yahudi mau mendirikan negaranya, reorientasinya atas dasar agama. Oleh karena itu mereka menamakan negaranya dengan nama salah satu Nabi yang mulia, Ya’qub (Israil) alaihi salam. Inilah perbedaan cara pandang masalah Palestina menurut Yahudi dan Arab.

Kalau seandainya masalah ini dikembalikan pada asalnya (awal pembebasan Palestina oleh Uamr bin Khottob atau pembebasan kembali oleh Shalahuddin al-Ayubi), maka bangsa arab tidak akan kehilangan sejengkal pun dari tanah Palestina yang penuh berkah ini.

Dibawah ini ada beberapa hal yang akan mengembalikan masalah al-Aqsha ini kepada asalnya :

1. Dari awal al-Qur’an telah memuat dokumen khusus tentang kepemilikan Palestina. Allah berfirman : “ Maha suci (Allah) yang telah mengisrakan hambanya pada waktu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang diberekahi sekelilingnya untuk kami lihatkan ayat-ayat kami, bahwasanya Dia itu Maha Mendengar dan Maha Melihat” (al-Isra ayat 1). Ayat yang mulia ini dibaca ketika shalat dan ketika kita membaca al-Qur’an. Hal ini menegaskan tidak sedikitpun keraguan bahwa Allah Ta’ala memberikan amanat kepada kaum muslimin untuk menjaga rumahNya yang suci ini, karena mereka mengakui semua nabi-nabi dan rasulNya atas Nabi kita alaihi shalatu wa salam. Sebagaimana mereka (kaum muslimin) mengimani semua kitab yang diturunkan sebelum terjadi perubahan oleh mereka. Allah telah memberikan amanah tanggung jawab, pemeliharaan, dan penjagaan dari setiap penodaan dan perubahan kepada kaum muslimin. Maka ayat ini merupakan dokumen yang selalu dibaca setiap hari dan malamnya, yang megingatkan kaum muslimin akan tanggung jawabnya terhadap Masjid al-Aqsha dan sekitarnya.

2. Al-Aqsha adalah kiblat pertama bagi kaum muslimin, sebelum Allah memerintahkan mereka merubah arah kiblatnya ke Masjid al-Haram. Sebab yang paling kuat disyari’atkannya shalat menghadap Bait al-Maqdis adalah adanya berhala dan patung di Baitullah. Hingga suatu saat Allah memberikan idzin untuk menghadap ke Masjid al-Aqsha. Sebagaimana diriwayatkan tarikhnya dari Qotadah ia berkata : “ Dulu mereka dan Rasulalallah shalat mengahadap baet al-Maqdis sewaktu berada di Makkah sebelum Hijrah. Setelah hijrah Rasulallah shalat menghadap Bait al-Maqdis selama 16 bulan, kemudin Beliau shalat menghadap ka’bah (Baitullah al-Haram).

3. Masjid al-Aqsha berada pada posisi ketiga dalam kedudukan dan keutamaannya di dalam Islam, setelah Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid al-Nabawi di Madinah. Shalat di masjid tersebut pahalanya sama dengan 500 kali shalat di masjid biasa. Rasulalla bersabda : “Shalat di Masjid al-Haram sama dengan 100.000 shalat di amsjid lainya, dan shalat di Masjidku (masjid al-Nabawi) sama dengan 1000 shalat di masjid lainnya dan shalat di Masjid al-Aqsha sama dengan 500 shalat di Masjid lainnya (hadits Hasan riwayat al-Thabrani).

4. Masjid al-Aqsha adalah salah satu masjid yang diperbolehkan niat khusus untuk melakukan ibadah di tempat itu, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, Ibnu majah dan Abu Dawud dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “ Telah bersabda Rasulallah SAW. “Tidak boleh mengkhususkan melakukan perjalan kecuali kepada tiga masjid. yaitu, Masjid al-Haram, Masjid al-Nabawi dan Masjid al-Aqsha”. Hadits ini menunjukan ketinggian Masjid al-Aqsha di dalam Islam. Hadits itu juga menekankan pentingnya kaum muslimin memperhatikan Masjid al-Aqsha serta menekankan tanggung jawab dalam membela dan menjaga masjid tersebut. Tidak boleh membiarkan atau melalaikan Masjid al-Aqsha dikuasai oleh musuh.

5. Dalam reorientasi masalah al-Aqsha, kita kembali menguak apa yang dilakukan Khalifah kedua, Umar Ibnu al-Khottob, yang telah melakukan perjalanan ke Palestina, ketika penduduk negeri itu mensyaratkan, bahwa yang menerima penyerahan Palestina harus Umar sendiri. Inilah satu-satunya negeri yang pada zaman Khalifah al-Rasysidin, penyerahan daerah penaklukannya diterima oleh seorang Khalifah secara langsung. (Filistin Dirasat Manhajiah fi al-Qodhiyah al-Filistiniyah/ DR. Muhsin Muhammad Shalih/hal.22). Umar Bin Khottob mengadakan perjanjian tertulis “al-Ahdah al-Umariyah” bahwa orang Nashrani telah mengamanahkan kepada Umar diri mereka, harta mereka, gereja mereka, keturunan mereka, orang-orang yang sakit diantara mereka, orang yang sembuhnya, dan semua kepercayaan di sana, untuk dijaga dan pelihara oleh pemerintahahan Islam (ibid hal.22)

6. Komandan perang Shalahuddin al-Ayubi telah berjanji kepada dirinya, tidak akan tersenyum selama hidupnya sebelum membebaskan Bait al-Muqaddas dari kekuasaan tentara Salibis. Maka ia mempersiapkan niatnya itu pada tahun 583 H./4 Juli 1187. dan pada tanggal 27 Rajab tahun 573 H./2 Oktober 1187 Bait al-Maqdis dapat dibebaskan kembali dari penjajahan tentara Salibis, yang telah menjajahnya selama 88 tahun. Pemerintahan Islam telah berlaku di Palestina selama 1200 tahun, yaitu hingga tahun 1917. Masa terpanjang bagi suatu pemerintahan manapun di dunia ( ibid. hal. 25)

7. Palestina adalah tempat dimana para shahabat Nabi, para tabi’in dan para ahli fiqh berdiam disana, diantara para shahabat adalah, Ubadah bin Shamit, Syadad bin Uwes, Usamah bin Zaid bin Haritsah, Dihyah al-Kalbi, Uwes bin Shamat. Diantara para tabi’in adalah, Raja bin Hayawiyah al-Kindi, salah seseorang keturunan Bisan (yang diisyaratkan oleh Sulaiman bin Abdul Malik sebagai orang yang loyal kepada kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz) diantara para tabi’in lain adalah Ubadah bin Nasi al-Kindi, Malik bin Dinar, dan al-Auza’i. Diantara para fuqoha misalnya, Ibrahim bin Adham, Laits bin Sa’ad (ulama Mesir), Abu Bakar al-Thurthusi, Abu Bakar al-Jurjani, Ibnu Qudamah al-Muqoddasi. Yang termasuk keturunan Palestina misalnya, Musa bin Nushair al-Lakhmi sang penakluk Andalusia. Ulama pertama yang ahli dalam ilmu kimia adalah Kholid bin Yazid al-Umawi (ibid. hal. 25-26).

Inilah tulisan yang sangat ringkas tentang kedudukan al-Aqsha di dalam Islam serta tanggung jawab kaum muslimin terhadapnya, dimasa lalu ataupun masa sekarang.


Tulisan Abdurrahman Ali al-Banfalah

Harian berita al-Khalij al-Bahrain 15/5/2005

Kamis, Maret 27, 2008

Tata Cara Pernikahan Dalam Islam : MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA

Tata Cara Pernikahan Dalam Islam : MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA

4. Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]
Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”[2]
2. Hadits dari Abu Waail.
Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [3]
Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.
Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [4]
Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]
Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
"Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:
"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...” [Al-Baqarah : 223]
Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh". [7]
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".[8]
Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja
• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]
• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi' radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi' berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.
"Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]
• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemudian beliau bersabda,
"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]
Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]
Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
Allah Ta’ala berfirman:
"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]
Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Ali.
"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]
• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]
• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]
• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh).” [19]
• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,
"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu') untuk shalat.” [21]
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.
Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]
• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.
Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.” [23]
Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya". [25]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).
[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).

Ditulis oleh : Mr. Adi pukul : 16.56