KHILAFAH 'ALA MINHAJIN NUBUWWAH
1. Landasan
1.1. Al Quran
a. surat Al Anbiyaa : 107 ( Misi Islam rahmatan lil A’alamin)
b. surat Saba : 28 (Misi Islam rahmatan bagi segenap manusia)
c. surat Ali Imran : 102 – 103 ( kewajiban menegakkan Islam secara berjama’ah)
d. surat Asy Syuraa : 13 ( perintah menegakkan dien dan larangan berpecah belah)
e. surat Al Mujadalah : 22 (Kedudukan hizbullah)
f. surat Al Maidah : 54, 55, 56 (Kriteria Hizbullah)
g. surat An Nisaa : 59 ( Kewajiban ta’at pada Allah, RasulNya dan Ulil Amri kalangan ummat beriman )
h. surat Ar Rum : 31( berfirqah firqah dalam dien termasuk musyrik)
i. surat An Nuur : 55 ( Allah menjanjikan berdominasinya fase kekhilafahan bagi yang beriman dan amal sholeh )
j. surat At taubah : 111 ( Melaksanakan Islam, konsekwesinya harus bertransaksi dengan Allah dalam bentuk bae’at untuk menjual diri dan harta dalam jihad di jalan Allah yang akan ditukar dengan sorga Allah )
1.2. Al Hadits
a. Sabda Rasulullah SAW ketika akan mengutus duta duta kepada para raja dan penguasa : :Sesungguhnya aku diutus untuk sekalian manusia dan rahmat bagi sekalian alam”
b. “Wajib bagi kalian mengikuti pola (sunnah) ku dan pola (sunnah) Khulafaa Ar Rasyidin Al Mahdiyyin ( HR. Ahmad dari ‘Irbadl bin Sariyah, Musnad Ahmad juz IV, Sunan Abu dawud Juz IV : Kitabus Sunnah)
c. Al Khilafah di kalangan ummatku 30 th. ( HR. Abu Dawud da Tirmidziy , Jami’ush Shohieh, kitabul Fitan, bab : Maa Jaa-a fil khilafah)
d. Datangnya periode kekhilafahan berpola kepada sunnah kenabian ( Musnad Ahmad, juz IV, bab Al indzar wa tahdzir)
e. Lima perintah Allah kepada Nabi Muhammad Shallalaahu ‘alaihi wa sallam : Bil jama’ah, bis sam’I,wat tha’ah, wal hijrah wal jihad fi sabiilillah ( HR. Ahmad, Musnad Ahmad , juz IV)
f. Perintah luzumul jama’ah ( HR. Al Bukhoriy, Muslim,Ibnu Majah, kitabul Fitan)
g. Ancaman meninggalkan system berjama’ah : mati jahiliyyah (Shohieh Bukhory dan Muslim, dari Ibnu Abbas bab amr bi luzumil jama’ah/kitabul Fitan )
1.3. Atsar Shahabat
Sahabat ‘Umar bin Khoththab : “Tidak terwujud Islam kecuali dengan berjama’ah”.
2. Pengertian
2.1. Secara bahasa
Al Khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah
Khilafah : pergantian, estafet kelanjutan
Al Khilafah : pergantian dengan batasan tertentu
‘ala : berdasarkan
minhaj : pola, methode, jejak
Nubuwwah : bersifat kenabian
2.2. Secara istilah
Al Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah
Periode atau system kepemimpinan pelanjut dari system kepemimpinan sesudah wafatnya Nabi Muhammad Shallalaahu ‘alaihi wa sallam yang berpola mengikuti / atas dasar pola sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
3. Aplikasi
3.1. Dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana nabi nabi sebelumnya, membina ummatnya dengan mengikuti perintah Allah, yakni melaksanakan dan menegakkan dienul Islam dalam system kesatuan yang tidak terpecah belah (QS. Asy Syura: 13, hadits Nabi SAW: Lima perintah Allah kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam: berjama’ah, mendengar, mentha’ati, hijrah dan jihad fi sabilillah).
Pola berjama’ah secara otomatis terwujud dengan adanya seseorang yang dibae’at oleh ummat sebagai pimpinan untuk dita’ati dimanapun mereka berada sebagai satu kesatuan atas dasar ibadah kepada Allah dan sepanjang keta’atannya tidak menyalahi Allah subhanahu wa ta’ala. Keharusan ummat Islam melebur dalam kehidupan berjama’ah ini telah berlaku semenjak masih periode Makkah, Madinah dan seterusnya sebagaimana yang dilaksanakan oleh para kholifah Rasyidin yang empat. Wasiat rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Khudzaefah bin Yaman merupakan pegangan bagi ummat agar muslimin tetap konsisten dengan pola berjama’ah : “talzamu jama’atal muslimina wa imaamahum”
3.2. Dimasa Khulafaa Ar Rasyidin
Di masa empat kholifah rasyidin al mahdiyyin (Abu Bakr Ash Shiddiq, ‘Umar bin Al Khoththob, Utsman bin Affan dan ‘Aly bin Abi Tholib ra) pola kepemimpinan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dilanjutkan dengan tidak merubah sedikitpun system yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jama’ah, sekalipun kawasan kepemimpinan di masa itu sangat luas dan pembagian amanah sangat rinci seperti yang dirintis oleh kholifah Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma.
3.3. Dimasa Mulkan
Di masa kekholifahan Aly bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu , ummat Islam mengalami ujian perpecahan. Klimaks dari perpecahan yang disulut oleh hasutan oknum Yahudi yang pura pura berbae’at kepada kholifah adalah prahara terbunuhnya kholifah Utsman radhiallahu ‘anhu.
Di Syam, Muawiyyah bin Abi Sufyan berhasil memanfaatkan situasi fitnah ini untuk menanamkan pengaruhnya di kalangan muslimin. Tuntutan mengadili pembunuh Utsman, secara efektif digunakannya untuk menggalang kekuatan dalam menentang kholifah Aly radhiallahu ‘anhu yang berakhir dengan suatu peperangan (perang Shiffin) dan dilanjutkan dengan peristiwa Tahkim yang mema’zulkan Aly sebagai Kholifah. Dalam peristiwa ini sahabat Aly radhiallahu ‘anhu terbunuh secara curang. Selanjutnya Muawiyyah mengumumkan diri sebagai raja pertama dalam Islam dengan menetapkan anak keturunannya sebagai “kholifah” pengggantinya kelak. Muawiyyah mengenyampingkan pola kenabian dan kekhilafahan yang diamalkan empat Kholifah pendahulunya. Pola yang diterapkan dalam memimpin ummat mirip pola kerajaan
3.4. Sesudah fase Mulkan.
Sejak terpimpin dalam system kerajaan, kondisi ummat Islam semakin merosot. Perebutan kekuasaan dalam intra dan antar dinasti telah menimbulkan fitnah pembunuhan yang sangat mengerikan. Permusuhan yang tidak dibenarkan syariat berjalam secara turun temurun. Ummat Islam jatuh kembali ke zaman jahilliyah. Penggunaan gelar kholifah atau sulthan pun marak digunakan dinasti dinasti kecil yang berdiri sendiri sendiri.
Akhir perjalanan panjang pola kepemimpinan dibawah bentul dan pola kerajaan berakhir pada dinasti Turki Utsmani pada tahun 1924 M. Dalam suatu hadits Rasulullah menyebut fase ini sebagai fase Mulkan Adldlon dan mulkan jabbariyyah.
Rasulullah juga menyatakan bahwa setelah dua fase tersebut di atas akan ada fase berikutnya yang disebut fase Khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah, dimana ummat Islam kembali pada pola kepemimpinan yang mengikuti jejak kenabian dan khulafaur rasyidin al mahdiyyin.
4. Proses kehadiran kembali Jama’ah Muslimin (Hizbullah)
Keruntuhan dinasti Turki Utsmani ditandai dengan diumumkannnya penghapusan symbol kekholifahan dikalangan muslimin oleh Mustapa Kemal Pasya ‘ Attaturk’ - salah seorang kader didikan Barat - pada 3 Maret 1924.
Sejak saat itu kepemimpinan ummat yang bersifat sentral terhapus dari kehidupan muslimin. Kevakuman kepemimpinan ini menjadikan dunia Islam semakin tercabik-cabik dan disekat-sekat oleh kolonialisme Barat. Ummat Islam digiring kedalam bentuk kepemimpinan baru, nasionalisme modern yang kita kenal saat ini.
Usaha penyatuan muslimin setelah keruntuhan dinasti Utsmaniyyah ini, senantiasa diperjuangkan oleh para pemuka ummat di seluruh dunia. Beberapa kali konferensi Islam internasional diselenggarakan, namun usaha tersebut selalu berakhir pada kebuntuan.
Sebagaimana di dunia Islam lainnya, para pemuka ummat di Indonesia, termasuk Wali Al-Fattaah(i) melakukan usaha yang sama. Diantaranya pada bulan Desember 1924, atas prakarsa H. Oemar Said Tjokroaminoto, menyelenggarakan Kongres yang bersifat nasional bagi penyatuan ummat, yang kemudian melahirkan utusan muslimin Indonesia ke Kongres Islam se dunia yang direncanakan akan dilaksanakan di Mesir pada Maret 1925. Namun hal tersebut baru terealisir pada Juni 1926 di Mekkah, karena adanya pengunduran waktu dan perubahan tempat kongres akibat terbunuhnya Sir Lee Tack di Cairo (19 November 1924).
Kongres ini tidak berhasil melahirkan kata sepakat tentang format khilafah, karena sebagian besar utusan mendahulukan kepentingan nasional (politik) mereka sebagai basis perjuangan menegakkan syariat. Dalam hal ini pihak Saudi lebih menyetujui pembicaraan persoalan khilafah sebagai bukan persoalan politik, tetapi syariat Islam untuk mempersatukan ummat
Kegagalan demi kegagalan untuk menyatukan ummat Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional, telah membangkitkan semangat introspeksi para pemuka ummat terhadap asas fondasi gerak perjuangannya.
5. Diamalkannya kembali sistem khilafah ‘ala minhajin nubuwwah
Pergulatan perjuangan intensif Wali Al-Fattaah dalam menemukan jalan penyatuan ummat yang seutuhnya (kaffaah) dan berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah, telah menghantarkannya kepada kesimpulan, bahwa “Apabila organisasi-organisasi Islam, baik yang berpolitik ataupun tidak, kembali kepada pimpinan Allah dan Rasul-Nya, Insya Allah mereka itu akan bersatu. Akan tetapi kalau perjuangan mereka itu hanya dengan mengutamakan pendapat sekalipun katanya ikhlas, juga tidak ikhlas, sehingga gelap gulita di kelilingi ummat, menyebabkan mereka mencari jalan-jalannya sendiri-sendiri, mencoba mencari pendapat-pendapat lain yang lebih baik. Oleh karenanya saya harap, marilah kita bersatu dengan berpegang pada tali Allah dan Rasul-Nya. Kalau hanya dengan pendapat saja, kita tidak akan mencapai persatuan itu.”
Untuk mencapai derajat sebaik-baik ummat dan mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, Wali Al-Fattaah menyeru kepada Muslimin agar kembali sepenuhnya kepada Allah dan Rasul-Nya (Kitabullah wa sunnatu Rasulillah) dengan mengamalkan kembali kehidupan berjama’ah dengan satu imaamnya, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan khulafaur rasyiddin al mahdiyyin, Abu Bakar ash-shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin 'Affan, dan 'Ali bin abi Thalib radliallahu ‘anhum.
Dan sebagai muslim yang harus mempertanggung jawabkan seluruh aktifitasnya di dunia ini kepada Allah subhanahu wa ta'ala di akhirat kelak, dan setelah berupaya secara maksimal menemukan pengamal khilafah ‘ala minhajin nubuwwah sebagai wujud kongkrit talzamu jama’atal Muslimina wa imaamahum, maka dengan penuh rasa takut dan tawadlu, Wali Al-Fattaah menerima pembai’atannya sebagai Imaamul Muslimin.
Prosesi pembai’atan Wali Al-Fattaah oleh umat Islam yang meyakini saat itu , termasuk diantaranya seorang ahli hadits Syeikh Muhamad Ma’sum, dilaksanakan pada 10 Dzulhijjah 1372 H/20 Agustus 1953 M di Gedung Adhuc Staat, Menteng Raya, Jakarta (sekarang gedung Bappenas Republik Indonesia). Setelah Wali Al-Fattaah wafat (Banyumas, 27 Dzulqa’dah 1396 H/19 November 1976), maka dibai’atlah sebagai penggantinya Bapak Muhyiddin Hamidy pada tgl. 28 Dzulqa’dah 1396 H/20 November 1976 M).
(1)
Wali Al Fattaah, tokoh muslim yang tidak terlalu asing di
Tahun 60-an, di saat muslimin bergairah dengan mendirikan pertai partai politik untuk perjuangan Islam, beliau justru mengundurkan diri dari Masyumi yang ketika itu sebagai partai mayoritas. Latar belakangnya adalah karena menyadari melalui kajian mendalam bertahun tahun sebelumnya mengenai hakekat perjuangan menegakkan syare’at Islam secara murni. Beliau sampai pada kesimpulan bahwa Islam adalah suatu ajaran Allah yang kaffah. Berasal dari wahyu Allah yang tidak butuh lagi formulasi teori kenegaraan atau filsafat apapun untuk mengatur system kepemimpinan ummatnya. Wujud kepemimpinan ummat dalam keadaan bagaimanapun adalah al jama’ah. Rasulullah , secara lengkap menyebut: Jama’ah Muslimin. Bukan sistem kepartaian yang dapat ditelusuri secara histerologi siapa penggagas awalnya. Keyakinan inilah yang beliau sosialisasikan dan diskusikan terus. Thema da’wah beliau ini semakin mengkristal dan terkumpullah hari demi hari umat Islam ikut meyakini dan mengamalkan da’wah beliau ini. Pada th 1953 / 1372 beliau didaulat dan dibae’at menjadi Imaam. Beliau menempatkan kalimat Hizbullah (QS. Al Maidah 54,55,56 dan Al Mujadalah 22 ) sebagai identitas khusus untuk Jama’ah Muslimin yang dipimpinnnya, untuk menegaskan bahwa Jama’ah Muslimin yang pertama kali diamalkan kembali adalah yang ditetapi tgl 10 Dz.Hijjah 1372/20 Agustus 1953 itu. Sehingga dimasa mendatang bila timbul jama’ah muslimin – jama’ah muslimin yang lain, ummat tidak menjadi bingung dalam mengambil sikap sesuai hadits Rasulullah: Bae’atlah pada Imaam jama’ah yang pertama dan yang selanjutnya (HR. Muslim, Kitabul Imarah II/32) Ketika beliau wafat kaum muslimin membae’at H. Muhyiddin Hamidy sebagai penggantinya hingga saat ini.
6. Jama’ah Muslimin
Jama’ah Muslimin di masa rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dimulai semenjak beliau membina ummat di Makkah setelah diangkatnya beliau sebagai seorang Rasul. Dengan beberapa shahabat awal, Abu Bakr Ash Shiddiq, Aly bin Abi Tholib, Hamzah, Bilal, Amar bin Yasir, Anas bin Malik, zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, Fathimah binti Rasulullah, Hafsah binti Abu Bakr, dll – mereka mewujudkan persaudaraan jama’ah muslimin di bawah tekanan kafir Quraisy dan musyrikin Makkah. Namun jama’ah ini tetap survive bahkan semakin berkembang hingga hijrah ke Madinah dan terus dapat melintasi cobaan dan hambatan da’wah di masa-masa berikutnya. Pola kepemimpinan beliau tidak berganti setelah hijrah ke Madinah, tetap sebagai jama’ah muslimin. Tidak sampai 30 tahun semenjak kewafatan beliau, Jama’ah Muslimin telah melintasi jazirah Arab hampir keseluruhannya.
Jama’ah Muslimin ditangan kepemimpinan para kholifah rasyidah semakin menggetarkan dunia, semua imperium musuh bertumbangan dan rahmatnya kejayaan Islam semakin dirasakan masyarakat dunia. Hingga sampailah pola kepemimpinan jama’ah berganti menjadi pola dinasti kerajaan. Kejayaan dan kekayaan muslimin yang berlimpah ruah, serta peradaban keilmuan yang di miliki ummat Islam menjadi fitnah yang luar biasa di zaman dinasti Umawiyah dan Abbasyiyyah hingga Turki Utsmaniyyah. Muslimin menjadi berkeping keping dan tersekat sekat dalam firqah firqah tanpa daya dan digagahi oleh musuh musuh Islam.
Gerakan Islam “Hizbullah” yang berbentuk jama’ah, adalah satu gerakan ummat Islam yang timbul atas kesadaran terhadap khiththah Rasulullah dalam menjalankan hidup dalam naungan Islam, yaitu kekhilafahan di bawah satu pimpinan, Imaamul muslimin, sebagaimana di masa Nabi dan para sahabat Khulafa Ar Rasyidin.
Gerakan ini pertama kali dimaklumatkan oleh Waly Al Fattaah di gedung Aduch Staat, jln. Taman Surapati 1, Menteng Jakarta (sekarang gedung BAPPENAS) pada 10 Dzul Hijjah 1372 /20 Agustus 1953. Merupakan gerakan penegakan syare’at Islam secara kaaffah, setelah vakumnya kepemimpinan ummat Islam sedunia dalam bentuk jama’ah dan imamah.
Ruh ( visi dan misi ) gerakan ini adalah :
Hizbullah, berpedoman pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah
Hizbullah berjuang kerena Allah, dengan Allah, untuk Allah, bersama sama segenap kaum muslimin menuju mardlatillah
Dalam menghadapi suasana yang semakin bergolak maka Hizbullah menetapkan langkah langkah asasi (strategis) sebagai berikut ;
1. Pandangan, pendirian dan sikap hidup muslimin: yakin bahwa berpegang teguh dan ta’at melaksanakan pedoman Al Quran dan Sunnah Rasulullah adalah sunber segala kejyaan dan kebahagiaan.
2. Ukhuwwah Islamiyah : Kesatuan bulat bagi seluruh muslimin yang tidak dapat dibagi bagi, dipisah pisahkan, apalagi diadu dombakan, sebagai perwujudan ukhuwwah Islamiyah , baik di dalam kemudahan ataupun di dalam kesukaran dan di dalam perjuangan.
3. Kemasyarakatan : Berpihak pada kaum yang dlaif ( lemah, tertindas dan teraniaya) mempertegak keadilan.
4. Sikap terhadap lain lain golongan : Tegak berdiri di dalam lingkungan kaum muslimin di tengah tengah antara lain lain golongan , memyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada kebajikan dan mencegah dari perbuatan munkar.
5. Antara bangsa bangsa : Menolak tiap tiap fitnah penjajahan dan kedzaliman suatu bangsa atas bangsa yang lain dan mengusahakan ta’aruf antar bangsa bangsa.
Semenjak ditetapinya perjuangan Islam dengan system jama’ah yang dipelopori Wali Al-Fattaah, telah dua kali diselenggarakan musyawarah antar ummat Islam se
1. Musyawarah Ahlul Halli wal Aqdi I
Tanggal 15-18 Jumadil Awwal 1376/ 18 – 21 Desember 1956, di jalan Menteng Raya 56.Tujuan musyawarah ini adalah : Meninjau apakah muslimin sekarang ini dalam keadaan yang telah sesuai dengan yang dipimpinkan Allah dan rasulNya atau belum.
Dalam penelitian melalui musyawarah tsb. Menyimpulkan dan mengambil suatu keputusan : “Wajib adanya satu Jama’ah dan Imaamnya”
2. Musyawarah Ahlul Halli wal Aqdi II
Tanggal 27 – 29 Rajab 1378 / 6-8 Februari 1959, di masjid Petojo Sabangan ,
Dalam evaluasi forum itu, tidak ada satu sambutanpun dari tokoh tokoh kalangan Islam, ulama atau zu’ama kecuali hanya dua orang saja.
Keputusan Musyawarah Ahlul Halli wal Aqdi II memutuskan bahwa “Gerakan Islam Hizbullah adalah satu satunya Jama’ah Muslimin di dunia”
Keputusan ini disiarkan ke luar negeri dalam bahsa Arab via RRI.
3. Musyawarah Alim Ulama dan Zu’ama
Tanggal 25-27 Jumadil Awwal 1394 / 15-17 Juni 1974, yang bertujuan untuk mendapatkan kesatuan bulat umat Islam dengan contoh rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meuju ridla Allah Subhanahu wa ta’ala.
Hadir dalam musyawarah itu, sebagaimana pada Musyawarah Ahlul Halli wal Aqdi I dan II, selain dari Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sendiri, juga dihadiri tokoh tokoh muslim
Dalam akhir Musyawarah Alim Ulama dan Zuama itu, panitia perumus memutuskan sbb :
1. Menerima Jama’ah Muslimin ( Hizbullah ) sebagai satu satunya wadah bagi seluruh muslimin dengan Imaamnya Wali Al Fattaah, seraya mentha’atinya karena Allah Subhanahu wa ta’ala selama beliau menta’ati Allah dan RasulNya.
2. Menda’wahkan Jama’ah Muslimin sebagai tersebut pada nomor 1 kepada segenap ummat Islam, ( Ulama, Zu’ama, Organisasi organisasi Islam) untuk menetapinya kerena Allah semata.
3. Segala sesuatu yang timbul akibat keputusan ini, karena harus diselesaikan dengan dalil dalil qath’iy yakni Kitaballah dan Sunnah Rasul-Nya
7. Program kerja Jama’ah Muslimin ( Hizbullah) untuk ummat
Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dengan bertambahnya terus dari hari ke hari ummat yang melaksanakan syare’at wajibnya berjama’ah melaksanakan pembinaan dengan menempatkan pembantu pembantu Imaam dalam kegiatan sehari hari menyantuni ummat. Mereka terdiri dari pembantu Imaam di tingkat wilayah untuk penyantunan ummat dalam skala wilayah yang paling luas, yang didalamnya meliputi wilayah keniyabahan, keriyasahan dan kemundziran, suatu kelompok ummat yang berjumlah paling sedikit, minimal 3 orang. Disamping itu ada pembantu Imaam untuk bertanggung jawab thd penyantunan ummat dibidang bidang tertentu, misalnya : Bidang Kuttab (Kesekretariatan di tingkat pusat, wilayah, niyabah sampai riyasah dan kemundziran), begitu pula pada setiap tingkatan untuk urusan Maliyah (keuangan), Ukhuwwah (pembinaan jalinan persaudaraan islam), Da’wah, Tarbiyah wa Ta’lim. Masing masing pembantu Imaam telah memiliki program kerja yang selalu dikontrol oleh Imaam dan ummatnya, baik yang bersifat internal maupun eksternal dalam suatu suasana dan forum kekeluargaan atau musyawarah yang diselenggarakan secara teratur.
8. Saran dan Nasehat
Saran dan nasehat dari semua pihak sangat diharapkan sepanjang berdasarkan al Quran dan Sunnah, Jama’ah Muslimin (Hizbullsh) siap diluruskan. Di dalam kehidupan berjama’ah tidak dikenal tingkatan hierarkhis atau status sosial. Imaam adalah pengayom ummat, bukan penguasa ummat, kesejajaran ini tidak memberi peluang untuk setiap diri dalam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) merasa gengsi menerima nasehat dari makmum selemah apapun status ekonomi dan sosialnya.
9. Ikhtitam
Hanya karena kasih sayang sesama makhluq Allah di muka bumi ini, Jama’ah Muslimin (Hizbullah) merasa berkewajiban menyeru setiap diri untuk dapat menerima panggilan Islam secara kaaffah dengan mengamalkan perintah Allah dan RasulNya yaitu : “tetaplah engkau dalam jama’ah dan imaamnya”.
1 komentar:
HAHAHAHA.. JIKA ADA 2 ORANG PEMIMPIN BUNUH YG TERAKHIR,.
Posting Komentar