Rabu, Juli 18, 2012

Tafsir QS. Al Baqarah : 30

Tafsir
Firman Allah Subhanahu Wata’ala:



وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ اِنِّى جَاعِلٌ فِىْ الاَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَا لاَتَعْلَمُوْنَ {البقرة: 30}.



“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu berkata kepada para Malaikat:’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi . Mereka bekata:’Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu  ketahui ” (QS.Al-Baqarah: 30)

Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam (pimpinan).

Selanjutnya Ibnu Katsir menukilkan  kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:


وَمَا لاَ يـَتـِمُّ اْلـوَاجـِبُ إِلاَّ بِهِ فَهـُوَ وَاجـِبٌ.

“Sesuatu yang menyebabkan kewajiban tidak dapat terlaksana dengan sempurn,maka dia menjadi wajib adanya”.

Ayat lain yang menjadi dalil wajibnya menegakkan khilafah adalah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ {النساء: 59}

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, (QS.An-Nisa: 59).

Pada ayat ini Allah memerintahkan agar orang yang beriman mentaati Ulil Amri. Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri adalah pemimpin yang memerintah umat Islam. Tentu saja Allah tidak memerintahkan umat Islam untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga jelaslah bahwa mewujudkan kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani.



Kewajiban menegakkan khilafah juga didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara lain:

لاَ يَحـِلُّ لـِثَلاَثـَةِ يَكـُوْنـُوْنَ بـِفـَلاَةِ مـِنْ فـَلاَةِ اْلاَرْضِ إِلاَّ اَنْ يـُؤَمـِّرَ عـَلـَيْهـِمْ اَحَـدَهُـمْ {رواه أحمد}.

“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pimpinan” (HR.Ahmad).

Asy-Syaukani berkata:”hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan adanya pimpinan umat Islam akan tehindar dari perselisihan sehingga terwujud kasih sayang diantara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak menurut pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Di samping itu kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan”.

Sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ  نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ {رواه البخاريعن ابى هريرة}.

 "Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah,  apa  yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Hadits ini di samping menginformasikan kondisi Bani Israil sebelum Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir yangs selalu dipimpin oleh para Nabi, juga merupakan Nubuwwah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan dialami umat Islam sepeninggal beliau.

Nubuwwah adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan terjadi.

Pada hadits ini Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam menjelaskan  bahwa sepeninggal beliau umat Islam akan dipimpin oleh para khalifah, seperti Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Para khalifah ini akan memimpin umat Islam seperti para Nabi memimpin Bani Israil hanya saja mereka tidak menerima wahyu.

Oleh karena itu Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w.450 H) mendefinisikan Imaamah (kepemimpinan umat Islam) sebagai

موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا.

“Kedudukan yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia).



Kata السياسة  yang merupakan masdar dari kata ساس- يسوس , menurut An-Nawawi dalam “Syarh Muslim” mempunyai pengertian :

القيام على الشيئ بما يصلحه.       

 “Mengatur sesuatu dengan cara yang baik”

Ketika menjelaskan hadits di atas Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata:”Di dalamnya mengandung petunjuk tentang keharusan adanya pemimpin bagi masyarakat (Islam) yang akan mengatur urusan mereka dan membawanya ke jalan yang baik serta melindungi orang-orang yang teraniaya”.

Para ulama mengomentari kewajiban menegakkan khilafah (kepemimpinan umat Islam) sebagai berikut

a.      Asy Syaikh Muhammad  Al-Khudlri Bik

Di dalam “Itmam Al-Wafa” mengatakan bahwa umat Islam telah sepakat tentang wajibnya menegakkan khilafah (kepemimpinan Islam) setelah Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam.

b.      Al-Jurjani


“Mengangkat Imam adalah salah satu dari sebesar-besar maksud dan sesempurna-sempurnanya kemaslahatah ummat”.

c.       Al-Ghazali.

“Ketentraman dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya pimpinan yang ditaati oleh karenanya orang mengatakan:’Agama dan pimpinan adalah dua saudara kembar’. Dan karenanya pula orang mengatakan:’Agama adalah sendi dan pimpinan adalah pengawal. Sesuatu yang tidak ada akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada pengawal akan tersia-sia.





d.      Ibnu Khaldun
“Mengangkat Imam adalah wajib. Telah diketahui wajibnya pada syara’ dan ijma’ sahabat dan tabi’in. mengingat bahwa para sahabat segera membai’at Abu Bakar stelah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat dan menyerahkan urusan masyarakat kepadanya. Demikian pula pada tiap masa sesudah itu tidak pernah masyarakat diabiarkan dalam keadaan tidak berpemimpin. Semuanya merupakan ijma’ yang menunjukkan kewajiban adanya Imam.

e.      Al-Mawardi
“Andaikata tidak ada Imam, masyarakat tentu menjadi kacau balau (anarkhis) dan tidak ada yang memperhatikan kepentingan mereka.

f.        Yusuf Al-Qardhawi

“Disebutkan dalam “Mandzumah Al-Yanharah”

وواجـب نـصـب امام عادل #  بالـشـرع فاعـلم لابحـكـم العـقـل.

“Kewajiban mengangkat Imam yang adil # adalah ketentuan syara’ buakan ketetapan akal”.

Oleh karena itu muslimin yang tidak memiliki Imam atau Khalifah, maka mereka semuanya menanggung dosa. Karena mereka telah melalaikan satu kewajiban, yaitu fardlu kifayah yang menjadi tanggung jawab mereka bersama untuk melaksanakannya.






















Periodisasi Kepemimpinan Umat Islam

Dari Nu’man bin Basyir Radiallahu ‘Anhu, Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ {رواه احمد}.

”Adalah masa Kenabian itu  ada di tengah tengah  kamu sekalian, adanya atas kehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehandak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit  (Mulkan ‘Adldlon),  adanya atas kehendak Allah.   Kemu- dian Allah mengangkatnya apabila Ia meng hendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyom bong (Mulkan Jabariyah),  adanya atas kehendak Allah. Kemu dian  Allah mengangkatnya, apabila Ia menghen daki untuk mengang katnya.  Kemudian adalah masa  Khilafah yang menempuh jejak  Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).” Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR.Ahmad).

Menurut hadits ini kepemimpinan umat Islam akan mengalami 4 periode:

1.       Masa Kenabian

Yaitu masa umat Islam dipimpin oleh Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam, masa kenabian ini selama 23 tahun

2.       Masa Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah

Yaitu masa umat Islam dipimpin oleh para khalifah yang mengikuti jejak Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam. Masa ini dimulai dengan dibai’atnya Abu Bakar As-Siddiq sebagai Khalifah setelah Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam wafat. Oleh karena itu Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulullah (pengganti Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam). Selanjutnya Umar bin Khattab, sebagai Khalifah kedua menyebut dirinya sebagai Khalifah Khalifah Rasulullah (penggantinya pengganti Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam). Khalifah ketiga, Utsman bin Affan, karena sebutannya terlalu panjang, hanya disebut Khalifah. Mulai sejak itu sebutan Khalifah dipakai secara populer. Sebutan tersebut terus dipakai sampai ke masa Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah keempat.

Masa Khilafah ‘Ala Mihajin Nubuwwah ini berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam:


الْخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ  {رواه ابو داود والترمذي}
“Masa pada ummatku itu tiga puluh tahun kemudian setelah itu masa kerajaan”

(HR.Abu Dawud dan Tirmidzi).

3.       Masa Mulkan

Yaitu masa umat Islam dipimpin oleh para raja. Sebagai raja pertama adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan (w. 60 H).

Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad, Mu’awiyah bin Abu Sufyan pernah berkata kepada Abdurrahman bin Abi Bakrah:

اَتَـقـُوْلُ اْلمُلـْكُ؟ فَقَدْ رَضِيـْنـَا بِاْلمـُلـْكِ.
“Apakah kamu berkata kami raja? Sungguh kami ridha dengan kerajaan”.

Masa Mulkan (kerajaan) ini terdiri dari dua periode yaitu Mulkan Adlan (kerajaan yang mengigit) dan Mulkan Jabariyah (kerajaan yang menyombong). Para ahli sejarah mencatat bahwa masa mulkan ini berakhir dengan diruntuhkannya Dinasti Utsmaniyah di Turki oleh Mustafa Kamal Pasya pada tahun 1342 H / 1924 M.

4.       Masa Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah

Yaitu masa umat Islam akan kembali dipimpin oleh para Khalifah yang mengikuti jejak kenabian setelah berlalunya masa Mulkan (kerajaan).

Usaha Menegakkan Khilafah Setelah Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah di Turki.

Usaha menegakkan khilafah yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam telah dimulai sejak melemahnya Dinasti Utsmaniyah. Upaya ini diawali dengan dibentuknya Pan Islamisme di akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897).

Tujuan utama Pan Islamisme adalah mengembalikan kekhalifahan tunggal bagi dunia Islam sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin. Walaupun Pan Islamisme tidak memperlihatkan hasil konkrit namun telah menyadarkan umat Islam di berbagai tempat tentang pentingnya kesatuan dan kekhalifahan Islam.

Pada tahun 1919 di India telah dibentuk “All India Khilafah Conference” yang secara rutin mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan dan mengusahakan penyatuan ummat dan tegaknya khilafah. Pada tahun 1921, di Karachi diadakan lagi konferensi yang kedua dengan tujuan yang sama. Pada tahun 1926 di Kairo, Mesir diselenggarakan Kongres Khilafah yang diprakarsai oleh para ulama Al-Azhar.

Di samping itu masih banyak kongres-kongres lain yang diselenggarakan untuk menegakkan kembali khilafah di tengah kaum muslimin, namun belum membuahkan hasil yang mendasar
Di Indonesia usaha menegakkan khilafah juga dilakukan oleh beberapa Organisasi Islam yang akhirnya terbentuk Komite Khilafah pada tahun 1926 yang berpusat di Surabaya. Tokoh-tokoh Islam Indonesia yang mempunyai perhatian besar terhadap penegakkan khilafah antara lain, HOS.Cokroaminoto, KH.Mas Mansur, KH.Munawar Khalil, Abdul Karim Amrullah dan Wali Al-Fatah.

Di antara tokoh-tokoh tersebut Wali Al-Fatah (1326H-1396H / 1908M-1976M) adalah salah seorang yang konsisten dan secara transparan menda’wahkan wajibnya umat Islam menegakkan Khilafah dan mengangkat Imam.

Wali Al-Fatah menyatakan adanya Imam adalah wajib bagi umat Islam. Pelanggaran atas hal tersebut adalah dosa  besar dan ini berarti suatu anarkhi, suatu perbuatan sendiri-sendiri yang tidak ada contohnya dalam syari’at Islam yang akan mengakibatkan timbulnya perpecahan di mana masing-masig kelompok atau golongan mengaku benarnya sendiri.

Wali Al-Fatah mengingatkan bahwa umat Islam akan dapat bersatu apabila mereka mempunyai Imam (pimpinan).

Satu umat tanpa pimpinan bukan umat namanya, tetapi hanya segundukan manusia yang masing-masing mengaku sebagai muslim tetapi tidak ada yang memimpin dan yang mengontrol.

Oleh karena itu Wali Al-Fatah mengajak para ulama untuk segera bangkit menelaah masalah kepemimpinan umat Islam dan mengangkat Imam sehingga kesatuan umat Islam dapat terwujud.

Namun ajakan ini kurang mendapat sambutan. Mereka menganggap ajakan ini bagaikan memutar jarum sejarah dan mengajak umat Islam kembali ke zaman unta bahkan ada yang berpendapat bahwa tidak mungkin umat Islam dapat disatukan.

Mengingat pentingnya masalah kepemimpinan umat Islam ini, Wali Al-Fatah bersedia memikul beban untuk dibai’at menjadi Imaamul Muslimin. Pembai’atan ini dilaksanakan di Jakarta pada 10 Dzulhijjah 1372H / 20 Agustus1953M.

Setelah pembai’atan dilakukan, kemudian selama beberapa  tahun diumumkan ke seluruh dunia untk mencari informasi apakah di tempat lain sudah ada Imam yang lebih dahulu dibai’at.

Sebagai konsekwensi apakah sudah ada Imam yang  lebih dahulu dibai’at maka Wali Al-Fatah bersedia menjadi ma’mum karena tidak boleh ada dua Imam dalam satu masa bagi dunia Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا {مسلم}



“Apabila dibai’at dua khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya. (yaitu yang terakhir).”  (HR. Muslim).

Sampai dengan Wali Al-Fatah meninggal dunia pada tahun 1396H / 1976M tidak didapat informasi bahwa di tempat lain sudah ada Imam yang dibai’at lebih dahulu. Maka sebelum jenazahnya dikuburkan, pada hari Sabtu 28 Dzulqa’dah 1396H / 20 November 1976M dibai’atlah sebagai penggantinya, hamba Allah Muhyiddin Hamidy menjadi Imaamul Muslimin hingga sekarang.

Mungkinkah Umat Islam Bersatu?

Menjawab keraguan orang tentang kemungkinan bersatunya umat Islam di bawah seorang Imam (khalifah), Dr.Yusuf Al-Qardhawi dengan tegas mengatakan bahwa kesatuan umat Islam adalah realita dan pasti akan terwujud bukan sebuah khayalan (utopia).

Di dalam risalahnya yang berjudul “Al-Ummah Al-Islamiyah Haqiqah la Wahn” beliau menyebutkan 6 (enam) criteria tentang kepastian terwujudnya kesatuan umat Islam:

1.  Menurut Logika Agama

Al-Qur’an di dalam beberapa ayat menyatakanbahwa kaum muslimin adalah امة balikan امة واحدة bukan امما (beberapa umat). Hal ini dapat dilihat pada Surat Al-Baqarah: 143, Ali-Imran: 110, Al-Anbiya: 92, Al-Mu’minun: 52.

Sedang di dalam sunnah NAbi Shalallahu alaihi wa Sallam banyak sekali hadits yang menjelaskan pengertian umat sebagaimana yang disebutkan di atas, misalnya:

كان امتي يدخلون الجنة إلا من ابى {البخاري}.

“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang tidak mau” (HR. Bukhari)

2.          Menurut Logika Sejarah

Umat Islam pernah bersatu di bawah seorang khalifah dalam masa hampir seribu tahun dan meliputi daerah yang sangat luas mulai dari Cina di sebelah Timur dan Andalusia (Spanyol) di sebelah Barat. Walaupun pernah pula muncul beberapa khalifah dan ada sebagian wilayah yang memisahkan diri namun secara umum umat Islam tersebut masih merasa bahwa mereka adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari umat yang satu. Hal ini dikarenakan tujuan mereka satu, musuh mereka satu maslahah mereka satu dan beberapa unsure lain yang mengharuskan mereka tetap bersatu.




3.  Menurut Logika Geografis

Dengan kehendak Allah, umat Islam menempati negeri-negeri yang saling berdekatan dan sambung menyambung antara satu dengan yang lainnya mulai dari Jakarta di sebelah Timur hingga Rabbath Al-Fath di sebelah Barat. Atau mulai dari Samudra Pasifik ke Samudra Atlantik.

4.          Menurut Logika Realita

Secara realita umat Islam adalah umat yang satu. Hal ini kita lihat ketika sebagian umat Islam menderita maka sebagian yang lain ikut merasa penderitaan itu.

Dalam kasus Masjid Al-Aqsha (Palestina) misalnya, kita lihat seluruh umat Islam di mana saja bangkit memberikan bantuan kepada Mujahidin yang berusaha membebaskan masjid Al-Aqshadari cengkeraman Zionis Yahudi.

Begitu juga kasus Bosnia-Herzigovina, dengan penuh perhatian kaum muslimin seluruh dunia mengikuti perkembangan perjuangan muslimin Bosnia dari hari ke hari dan memberikan bantuan apa saja yang mereka butuhkan

Setelah dunia Arab kalah dalam pertempuran melawan Israel pada tahun 1967, maka ketika dibuka pendaftaran sukarelawanuntuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Isarel, orang yang paling banyak mendaftarkan adalah kaum muslimin dari Pakistan. Sementara itu dalam jihad di bumi Afghanistan melawan komunis Rusia, kebanyakan mujahidin yang datang adalah kaum muslimin Arab, Afrika, Eropa dan Amerika.

Sampai saat ini para khatib seluruh dunia Islam senantiasa memanjatkan do’a pada setiap Jum’at untuk kebaikan, kesejahteraan dan kemuliaan negeri-negeri Islam seluruh dunia.

Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengecualikan kesatuan menurut logika realita ini dari kelompok pemimpin yang otoriterdan para pemikir yang mengekor Barat karena mereka ini adalah individu muslim yang telah terpisah dari nurani umat dan mereka tidak pernah mau merasakan derita yang menimpa umat Islam.

5.  Menurut Logika Non Muslim

Orang-orang non muslim tidak pernah menjadikan realita perpecahan dan perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam sebagai bukti bahwa umat Islam telah terpecah belah. Mereka tetap menganggap bahwa umat Islam itu adalah satu umat. Apabila terjadi perpecahan hanyalah perpecahan lahiriyah saja tetapi perasaan mereka tetap satu.






6.    Menurut Logika Maslahat dan Tuntutan Zaman.

Seandainya perwujudan umat Islam dalam arti yang sebenarnya tidak ada menurut logika agama, sejarah, geografis, realitas kehidupan dan persepsi orang non muslim, maka sesuai logika maslahat dan tuntutan zaman wajib bagi kita menciptakan dan mengusahakan kesatuan umat Islam. Karena mustahil umat Islam akan mampu bersaing di era tekhnologi canggih ini secara sendiri-sendiri sementara itu kita saksikan negara-negara industri maju berkerja sama untuk menciptakan produk-produk tercanggih yang sejalan dengan tekhnologi terkini.

Pada masa lalu umat Islam memiliki seorang khalifah yang dapat mengajak umat Islam untuk bertindak bersama-sama dalam mengatasi problematika yang mereka hadapi. Mereka yang lemah dapat meminta pertolongan kepada khalifah  apabila ada yang mengganggu. Hal ini menyebabkan musuh-musuh Islam berfikir panjang apabila hendak mengganggu umat Islam. Namun hari ini umat Islam tidak memiliki seorang khalifah yang melindungi mereka. Umat Islam telah melakukan kesalahan besar dengan menyia-nyiakan institusi khilafah dan tidak mampu mewujudkan gantinya. Aib (kesalahan) ini adalah kesalahan umat Islam bukan kesalahan Islam karena Islam telah mempersatukan umatnya dan mensyria’atkan tuntunan yang dapat mewujudkan kesatuan mereka dan memelihara keselamatan mereka.

Demikian sebagian uraian Dr. Yusuf Al-Qardhawi tentang kriteria yang memperkuat bukti akan terwujudnya kesatuan umat Islam. Namun kesatuan itu tidak akan datang begitu saja. Untuk mewujudkannya perlu kerja keras dan perjuangan yang berkesinambungan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kerja keras dala menggapai cita-cita, sebagaimana firman-Nya:

إن الله لايغير ما بقوم حتى يغيروا ما بانفسكم {الرعد: 11}.

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada mereka sendiri” (QS.Ar-Ra’d: 11).

Usaha yang paling fundamental untuk mewujudkan persatuan umat adalah dengan menegakkan institusi khilafah / imaamah. Karena hanya dengan adanya seorang khalifah / imam umat Islam dapat bersatu.

Dengan dibai’atnya Wali Al-Fatah sebagai Imaamul Muslimin berarti umat Islam telah memiliki Imam kembali. Apabila pada pembai’atan tersebut atau pada  perjalanan keimaamahan sesudahnya dipandang terdapat berbagai kekurangan maka tugas umat Islam bersama untuk menyempurnakannya. Karena masalah Imam, bukan masalah yang harus diperebutkan tetapi masalah kewajiban syari’at.

Siapapun yang dibai’at, asal memenuhi syarat maka yang lain wajib membai’atnya dan mentaatinya
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إن امر عليكم عبد مجدع (حسبتها قالت) أسود يقودكم بكتاب الله فاسمعوا له وأطيعوا {مسلم عن يحي بن حصين}.

“Apabila diangkat untuk memimpin kamu seorang budak yang terpotong hidungnya –say (Yahya bin Hushain) mengira, dia (Ummu Hushain) berkata-yang hitam, selama memimpin kamu dengan kitab Allah maka dengarlah dan taatilah (HR.Muslim dari Yahya bin Hushain).

Wallahu A’lam Bissawwab


Maraji’



1.       Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Toha Putra, Semarang, t.t.

2.       Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, Dar Al-Fikr, t.t.

3.       An-Nawawi, Syarh Muslim, Dahlan, Bandung, t.t.

4.       Asy-Syaukani,  Nail Al-Authar, Dar Al-Fikr, t.t.

5.       Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Al-Nas’ani Al-Halabi, 1326H.

6.       Muhammad Al-Khudlri Bik, Itmam Al-Wafa’, Maktabah Tsaqafiyah, Beirut, 1402H.

7.       Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ummah Al-Islamiyah Haqiqah la Wahn, Maktabah Wahbah, t.t.

8.       Wali Al-Fatah, Khilafah “Ala Minhajin Nubuwwah, Amanah, Bogor, 1415H.

9.       Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Khilafah, Terjemah.Muhammad Al-Khaththath, dkk, Khazanal Islam, Jakarta, Cetakan I, 1416H.

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cetakan VI, 1999.






Tafsir Qur’an Surat Ali Imran ayat 103

واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً  فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ  فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ  مِنَ النَّاِر فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ تَهْـتَدُونَ ’{ال عـمران 103}

Artinya :
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah   dan janganlah kamu sekalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu  maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya  agar kamu mendapat petunjuk” 

(Q.S. Ali Imron ayat 103)

A.           MAKNA LAFDZI


Maka kamu menjadi    فَأَصْبَحْتُمْ   
Dan berpegang teguhlah kamu sekalian وَعْتصِمُواْ
Dengan nikmat-Nya     بِنِعْمَتِهِ   
dengan tali allah    بِحَبْلِ الله
Bersaudara    إِخْوَاناً   
seraya berjama’ah    جَمِيْعًا
Sedangkan kamu semua    وَكُنْتُمْ   
dan janganlah kamu sekalian berpecah belah    وَلاَ تَفَـرَّقوُا
Di tepi jurang    عَلىَ شَفاَ خُفْرَةٍ     
dan ingatlah kamu semua    وَاذْ كـُرُوا
Api Neraka    مِنَ النَّاِر   
Nikmat Allah    نِعْمَتَ الله
Maka Allah menyelamatkan kamu dari padanya    فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا   
Atas kamu    عَلَيْكُمْ
Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu    كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ   
Ketika kamu (dahulu) bermusuh-musuhan    إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً
Ayat-ayatnya اَيَاتِهِ   
Maka Dia menjinakkan antara hati-hati kamu    فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ 
Agar kamu mendapat petunjuk     لَعَلـَّكُمْ تَهْتَـدُونَ   
    




B. MAKNA GLOBAL
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu sekalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu  maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka , maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya  agar kamu mendapat petunjuk”

C. PENJELASAN KALIMAT.
Yang dimaksud “tali Allah” adalah Al-Qur’an sesuai dengan hadits Harits Al A’war dari Ali yang diriwayatkan secara marfu’ tentang sifat Al-Qur’an disebutkan bahwa,

"هُوَ حَبْلُ اللهِ المَتِيْنُ وَصِرَاطُهُ الْمُسْتَقِيْمَ"

(Al-Qur’an itu adalah tali Allah yang kokoh dan jalan-Nya yang lurus. )

Dalam hadits Abdullah yang di riwatkan oleh Ibnu mardawaih, bahwasannya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa salam bersabda:

" اِنََ هَذاَالْقُرْأَنَ هُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَتِيْنُ وَهُوَ النُّوْرُ الْمُبِيْنُ  وَهُوَ الشِّفاَءُ النَّافِعُ عِصْمَةَ لِمَنْ تَمَسَّكَ بِهِ وَنَجَاةً لِمَنِ اتَّبَعَهُ "

(“Sesungguhnya Al-Qur’an adalah tali Allah yang kokoh, cahaya yang menerangi, penawar yang memberi manfaat, sebagai penjaga bagi orang yang berpegang teguh dengannya dan penyelamat bagi yang mengikutinya“)

Abu Ja’far Ath-Thobari meriwayatkan hadits ‘Athiyyah bin Abi Sa’id, bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda:

"كَتَبَ اللهُ هُوَ حَبْلُ اللهُ المَمْدُودُ مِنَ السَّـمَاءِ اِلَى الآَرْضِ"

(“Kitab Allah itu adalah tali Allah yang di ulurkan dari langit ke bumi “) Tafsir Ibnu Katsir I/388-389.

Menurut Ibnu Mas’ud, yang dimaksud “tali Allah” adalah Al-Jama’ah, Al-Qurthubi menyatakan, sesungguhnya Allah memerintahkan supaya bersatu padu dan melarang berpecah belah, karena perpecahan itu adalah kerusakan dan persatuan (Al-Jama’ah) itu adalah keselamatan. (Tafsir Qurthubi IV/159)

Sebagian Ulama ada yang mengatakan bahwa “tali Allah” itu adalah Dinnullah, menurut sebagian Ulama yang lain; Taat kepada Allah, Ikhlas dalam bertaubat, janji Allah. Al-Imaam Fakhrur Razi menyimpulkan bahwa seluruh penafsiran tersebut pada hakekatnya saling melengkapi, karena Al-Qur’an, janji Allah, Dinnullah, taat kepada Allah dan Al-Jama’ah dapat menyelamatkan orang yang berpegang teguh dengannya supaya tidak terjatuh kedalam dasar Neraka Jahannam, maka hal-hal tersebut dijadikan sebagai tali Allah agar mereka berpegang teguh dengannya (Tafsir Al-Kabir VIII/162-163).

·   Lafadz Jami’an جَمِيْعًا adalah sebagai “Haal” yang menjelaskan tentang cara berpegang teguh kepada tali Allah, yaitu dengan cara bersatu padu (berjama’ah) (Tafsir Abi Su’ud Juz I/66). Hal ini disesuaikan dengan :

1.       sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Salam.

" تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْـلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ "

“Tetaplah kamu pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka “(Muttafaq alaih dari Hudzaifah bin Yaman)

2.       Makna yang di berikan oleh para Mufasirin, diantaranya sahabat Abdullah bin Mas’ud menyebutkan bahwa yang di maksud adalah “Al-Jama’ah” (Tafsir Qurthubi Juz III/159, Tafsir Jami’ul Bayan Juz IV/21).

3.   Az-Zajjaj berkata: “kalimat  “Jami’an جَمِيْعًا” adalah dibaca nashob karena menjadi “haal” (Tafsir Jadul Masir juz I/433).

4.       Adanya Qorinah lafdziyah, yaitu “wala tafarroqu” yang jatuh setelah kalimat “Jami’an”, Ibnu Katsir berkata bahwa yang dimaksud adalah Allah memerintahkan kepada mereka dengan berjama’ah dan melarang mereka berfirqoh-firqoh (berpecah belah) (Tafsir Ibnu Katsir juz I/189) 

Tidak semua kalimat Jami’an dalam Al-Qur’an artinya bersama-sama (berjama’ah/bersatu padu), sebagaimana pula tidak semua kalimat “jami’an” berarti keseluruhan/semuanya. Sedikitnya ada empat ayat yang dalam Al-Qur’an kalimat “jami’an“ yang harus diartikan berjama’ah (bersama-sama/bersatu padu), yaitu surat Ali-Imran ayat 103, surat An-Nisa ayat 71, surat An-Nur ayat 61 dan surat Al-Hasyr ayat 14.

Yang dimaksud dengan " وَلاَ تَفَرَّقُوْا " (Janganlah kamu bercerai berai yaitu berpecah belah dalam agama,sebagaimana berpecah belahnya orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam melaksanakan agama mereka). Disebutkan dalamam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Hurairoh, bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda: 

" تَفَرَّقَتِ الْيَهُودُ عَلَى اِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً اَوِثْنَـتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَالنَّـصَارَى مِثْلُ ذَالِكَ وَتَفْـتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْـعِيْنَ فِرْقَـةً كُلَّهَا فِى النَّـارِ اِلاَّ وَاحِـدَةً وَهِيَ الجَمَاعَةُ "

“Orang-orang Yahudi telah berpecah belah menjadi 71 golongan atau 72 golongan dan orang-orang Nasrani demikian juga, sedang umatku berpecah belah menjadi 73 golongan semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu Al-Jama’ah.”

·  Ni’mat Allah yang disebut dalam ayat ini yang terbesar adalah Islam yang mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa salam, sesungguhnya ni’mat ini dapat menghilangkan permusuhan dan perpecahan, sehingga ada kasih sayang dan persatuan.

· Yang dimaksud “kamu berada di tepi jurang api neraka, maka Dia (Allah) menyelamatkan kamu darinya” Bahwa kaum Muslimin ketika masih berada dalam masa jahiliyah, dimana mereka saling bermusuh-musuhan dan senantiasa melakukan berbagai macam kemaksiatan, pada saat yang demikian itu mereka berada di ambang pintu neraka. Namun ketika mereka bertaubat dengan memeluk Islam dan meninggalkan perilaku-perilaku Jahiliyah, maka mereka diselamatkan dari ancaman api neraka dan dijauhkan dari pintu jahannam.

D. KANDUNGAN AYAT.

Disebutkan dalam Tafsir Al-Manar bahwa, ayat ini sebagai jalan keluar untuk memenuhi perintah Allah supaya bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa yang di sebutkan pada ayat sebelumnya dan untuk menjauhi larangan agar tidak meninggal atau mati kecuali dalam keadaan Islam. (Q.S. Ali Imran : 102). Agar perintah dan larangan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka hendaklah orang-orang yang beriman berpegang teguh (mengamalkan) Al-Qur’an dengan berjama’ah (bersatu padu) (Tafsir Al-Qur’anul Hakim juz III/19).

Dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala mewajibkan supaya berpegang teguh kepada Qur’an dan Sunnah nabi-Nya dan agar menyelesaikan permasalahanya berdasarkan keduanya. Allah juga memerintahkan agar berjama’ah dalam mengamalkan islam, sebab dengan cara damikian maka akan ada kesepakatan dan kesatuan yang merupakan syarat utama bagi kebaikan dunia dan agama. (Tafsir Al-Qurthubi juz IV/163).

Ayat ini melarang berpecah belah (berkelompok-kelompok) dalam agama, sebagaimana berpecah-belahnya ahli kitab atau orang-orang jahiliyah yang lain. Ayat ini juga melarang melaksanakan segala sesuatu yang dapat menimbulkan perpecahan dan menghilangkan persatuan. (Tafsir Abi Su’ud juz I/66)

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini mengisahkan tentang keadaan suku Aus dan Khajraj. Pada masa Jahiliyah kedua suku tersebut saling bermusuhan dan berperang selama 120 tahun. Setelah mereka memeluk Islam Allah menyatukan hati mereka sehingga mereka menjadi bersaudara dan saling menyayangi. Ketika orang-orang Aus dan Khajraj sedang berkumpul dalam satu majlis, kemudian ada seorang Yahudi yang melalui mereka, lalu ia mengungkit-ungkit permusuhan dan peperangan mereka pada bani BU’ATS. Maka permusuhan diantara kedua suku tersebut mulai memanas kembali, kemarahan mulai timbul, sebagian mencerca sebagian lain dan keduanya saling mengangkat senjata, lalu ketegangan tersebut disampaikan kepada nabi shallallahu alaihi wa salam. Kemudian beliau mendatangi mereka untuk menenangkan dan melunakkan hati mereka, seraya bersabda:

“Apakah dengan panggilan-panggilan jahiliyah, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian?.” Lalu beliau membacakan ayat ini. Setelah itu mereka menyesal atas apa yang telah terjadi dan berdamai kembali seraya berpeluk-pelukan dan meletakan senjata masing-masing.

والله أعـلم بالصواب

Tidak ada komentar: